Luka di Balik Bisnis CPO
“Penggunaan pekerja paksa dalam proses produksi itu, membuat perusahaan-perusahaan mendapatkan keuntungan dari para pekerja yang rentan.”
JAKARTA - Minyak kelapa sawit merupakan minyak nabati yang digemari oleh masyarakat dibanding jenis lainnya.
Selain harganya ekonomis, minyak nabati juga dipercaya dapat menjadi alternatif minyak hewani yang lebih sehat.
Hampir seluruh dunia memproduksi dan mengkonsumsi minyak kelapa sawit.
Baca juga: Rompi Anti-Peluru dari Kelapa Sawit
Apa lagi, ia sering digunakan sebagai bahan untuk cat, kayu lapis, pestisida dan sebagainya.
Kelapa sawit juga bisa digunakan untuk pakan ternak, biofuel dan bahkan pembersih tangan.
Pohon kelapa sawit baik di produksi dalam suhu yang hangat, curah hujan tinggi, dan memiliki banyak sinar matahari, agar dapat memaksimalkan proses pembuatannya.
Namun, dibalik kegunaannya ternyata dalam produksi minyak sawit terdapat pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan oleh perusahaan produsen minyak kelapa sawit.
Baru-baru ini Amerika Serikat (AS) memboikot impor minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) dari Felda Global Ventures (FGV) Holdings Berhard, perusahaan kelapa sawit asal Malaysia, yang merupakan salah satu perusahaan terbesar di dunia.
Dalam situs perusahaan FGV, mereka memiliki 439.725 hektare kebun kepala sawit di Indonesia dan juga Malaysia.
Di Indonesia, kebun perusahaan tersebut ada di lima wilayah yang tersebar di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat.
Apa lagi, Malaysia dan Indonesia sendiri saat ini memproduksi kurang lebih sebanyak 85% dari pasokan minyak sawit di dunia dan memiliki nilai USD65 milliar.
Namun, di balik itu FGV dianggap Customs and Border Protection (CBP) AS melakukan pelanggaran terhadap HAM.
CBP menyebut, keputusan tersebut untuk menghentikan praktik kerja paksa yang dilakukan FGV.
Asisten Komisaris Eksekutif CBP, Brenda Smith mengatakan, pihaknya menemukan bukti nyata terhadap praktik kerja paksa yang dilakukan FGV.
Bukti itu dikumpulkan selama satu tahun, salah satunya juga didapat dari investigasi Associated Press yang melaporkan sejumlah pekerja dari beberapa wilayah termiskin di Asia mengalami eksploitasi.
Bahkan, menurut AP, terdapat pekerja anak yang berusia di bawah umur, pemerkosaan, hingga perbudakan.
AP sendiri sudah mewawancarai lebih dari 130 karyawan, serta mantan karyawan dari 24 perkebunan kelapa sawit di Malaysia dan Indonesia.
Pekerja yang diwawancarai kebanyakan berasal dari Indonesia, Malaysia, Bangladesh, India, Nepal, Filipina, Kamboja, dan Myanmar, serta Muslim Rohingya tanpa kewarganegaraan.
Selain itu, sejumlah perusahaan seperti Unilever, L'Oreal, Nestle, Procter & Gamble (P&G), Colgate-Palmolive, dan IKEA, serta beberapa nama bank raksasa, seperti Deutsche Bank, BNY Mellon, Citigroup, HSBC, dan Vanguard Group, dan Maybank, dinyatakan ikut terlibat dalam masalah pelanggaran ini.
“Penggunaan pekerja paksa dalam proses produksi itu, membuat perusahaan-perusahaan mendapatkan keuntungan dari para pekerja yang rentan. Perusahaan-perusahaan ini menciptakan persaingan tidak adil untuk bahan-bahan ini dan memberikan kepada publik produk yang tidak memenuhi standar etika,” ujar Smith seperti melansir BBC.
Akibat dari pemboikotan tersebut, saham FGV pun turun 8% pada Kamis (1/10) lalu.
Sementara itu, FGV pun memberikan pernyataan, akan berkomitmen penuh untuk menghormati HAM, serta tingginya standar pekerjaan perusahaan tersebut.
“Perlu ditekankan lagi bahwa FGV tidak mentolerir bentuk pelanggaran hak asasi apapun atau pelanggaran pidana dalam operasi kami,” kata perusahaan dalam pernyataan tertulis.
Mereka juga mengatakan, telah memperkuat prosedur perekrutan pekerja dan meningkatkan investasi sekitar USD84.000.000 untuk meningkatkan fasilitas perumahan di perkebunan mereka.
Perusahaan tersebut juga menolak tuduhan jika mereka menahan paspor para pekerja.
Mereka mengatakan telah memasang 32.000 loker di 68 kompleks untuk membantu pekerja menyimpan dokumen mereka.
Di lain pihak, pemerintah Malaysia lewat Kementerian Sumber Daya Manusia akan melakukan penyelidikan mendalam terkait pelanggaran HAM yang dilakukan FGV.
FGV sendiri mengakui, masalah buruh dalam tahun terakhir selalu menjadi bahan perdebatan publik.
Organisasi-organisasi lain sebelumnya juga menyatakan kekhawatiran mereka terkait praktik yang dilakukan FGV.
Baca juga: Spray Anti-Bau dari Kelapa Sawit
Seperti pada Januari lalu, badan terkait keberlangsungan minyak sawit, mencabut sertifikasi sejumlah perkebunan milik FGV.
Selain penyelidikan, menurut Menteri SDM, Datuk Seri M. Saravanan, pihaknya juga menerima informasi, perusahaan besar Malaysia lainnya juga kemungkinan akan menghadapi pemboikotan oleh AS.
“Sabar saja. (Tuduhan) ini melibatkan banyak pihak dan terlalu awal (untuk berkomentar). Saya perlu mendapatkan informasi lebih lanjut,” ujar Saravanan belum lama ini seperti mengutip kantor berita Bernama.