Gurih Rumput Laut Nusa Lembongan
“Walaupun sedih karena pandemi, sisi baiknya, jadi kembali bertambah petani rumput laut di sini.”
BALI - Rumput laut dikenal sebagai ‘superfood’ karena gizi dan nutrisinya yang luar biasa.
Belum lagi kalorinya yang rendah, seringkali dibuat sebagai menu diet favorit.
Di Bali, rumput laut tidak hanya dijadikan menu diet, tetapi juga dijadikan bahan utama rujak dengan kuah rebusan ikan pindang.
Baca juga: Semerbak Wangi Bunga Gemitir
Rumput laut yang lebih dikenal dengan sebutan ‘bulung’ oleh penduduk lokal ini, sudah menjadi makanan ringan sehari-hari seperti rujak di Bali.
Terdapat dua jenis bulung yang digunakan sebagai menu rujak khas Bali ini, yaitu ‘bulung buni’ yang memiliki tekstur seperti daun pohon cemara, dan ‘bulung rambut’ yang bentuknya mirip rambut.
Kebanyakan, warung rujak bulung membeli bahan bakunya di pesisir yang memang membudidayakannya.
Salah satu lokasi budidaya rumput laut atau bulung ada di Bali yaitu di Nusa Lembongan.
Sekadar info, Bali merupakan satu dari sembilan provinsi penghasil komoditas rumput laut di Indonesia.
Sekitar 65% diantaranya dibudidayakan di tenggara Pulau Bali, yaitu Nusa Penida, Nusa Lembongan, dan Nusa Ceningan.
Ketiganya termasuk dalam Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung.
Sayangnya, industri rumput laut beberapa tahun belakangan ini menurun drastis.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Klungkung, pada 2014-2016 produksi rumput laut di Nusa Penida mencapai 83.000-100.000 ton.
Angka itu mengalami penurunan hingga 1.684 ton pada 2018 atau mencapai 99%.
Penurunan produksi rumput laut disebabkan lantaran banyaknya petani yang memilih bekerja pada bidang pariwisata yang dirasa lebih menjanjikan dengan gaji yang pasti.
Selain itu, para generasi muda juga lebih memilih untuk tidak bekerja menjadi petani rumput laut.
Data Dinas Kelautan dan Perikanan Bali menyatakan, 90% pertanian rumput laut di Bali berada di Kabupaten Klungkung.
Sementara, sisanya menyebar di beberapa wilayah seperti Kabupaten Badung dan Buleleng.
Tak heran, produksi yang merosot tajam juga mempengaruhi perekonomian di kabupaten tersebut.
Untuk luasan pesisirnya, setiap kepala keluarga hanya diizinkan mengelola maksimal 20 are dengan jumlah petani sekitar 500 kepala keluarga di Nusa Lembongan.
Hikmah di balik pandemi
Berhentinya industri pariwisata di Bali akibat pandemi COVID-19 di awal tahun ini memaksa petani rumput laut untuk kembali menghidupkan industri rumput laut, termasuk generasi muda mereka.
Salah satu warga Nusa Lembongan yang tidak berhenti mempromosikan rumput laut yaitu I Wayan Swarbawa (46).
“Walaupun sedih karena pandemi, sisi baiknya, jadi kembali bertambah petani rumput laut di sini. Dengan alasan apa pun, bertani rumput laut memang masih memiliki pasar seperti pedagang rujak, pedagang es, dan home industry yang membuat aneka oleh-oleh berbahan baku rumput laut, walaupun sedikit sekali,” ujarnya kepada Jagadtani.id belum lama ini.
“Karena biasanya tempat ini juga jadi tujuan wisata turis dan kebanyakan akan membeli langsung pada kami. Kalau oleh-oleh masih bisa dijual secara online dan nasional, makanya masih bisa memproduksi walaupun tidak sebanyak biasanya,” lanjutnya.
Untuk budidayanya sendiri sebenarnya tidak terlalu mahal, hanya saja butuh ketelatenan.
Harga jualnya pun berkisar antara Rp13.000-15.000 per kilogram dalam keadaan kering.
Rumput laut sendiri dikategorikan kering, apabila kadar airnya maksimal 30%.
Per hari bisa ia memanen hingga 60 kilogram dan butuh waktu beberapa hari agar menjadi kering.
“Modal tani rumput laut ini cukup sekali saja. Saya sendiri bermodal Rp15.000.000 untuk 450 bentang tali berisi bibit rumput laut. Per bentang tali panjangnya 5-7 meter. Panen pertama sekitar 2-2,5 bulan. Selanjutnya bisa panen setiap kurang dari 2 bulan,” jelasnya lagi.
Baca juga: Poh Bikul, Mangga Langka Buleleng
Menanam rumput laut juga memiliki risiko yang tidak dapat diprediksi.
Hal tersebut diamini oleh Caca (45), yang telah menjadi pemandu wisata lebih dari 20 tahun.
“Tadinya budidaya rumput laut ini sempat dicoba di Pantai Pandawa, di Kuta Selatan sekitar 10 tahun lalu. Saya sempat bawa turis ke sana, karena memang tujuan utamanya untuk wisata. Tapi tidak bisa bertahan lama, karena hasil rumput lautnya tidak sebagus yang di Nusa Lembongan, jadi turis juga sepi. Kata salah satu petaninya, penyebabnya yaitu arus, suhu, polusi yang menyebabkan bakteri di rumput laut. Jadi petani di Pandawa pindah ke Nusa Ceningan dan Nusa Lembongan,” tuturnya.