• 28 November 2024

Dampak Pertanian dari Omnibus Law

uploads/news/2020/10/dampak-pertanian-dari-omnibus-5475222b65d7bf6.jpg

Tidak mudah mengambil alih lahannya, walaupun diganti dengan luasan memadai di daerah lain.

JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) telah mengesahkan omnibus law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja telah disahkan menjadi Undang-Undang (UU) melaui rapat paripurna, Senin (5/10) lalu.

Setelah mendapatkan persetujuan dari semua peserta rapat, Wakil Ketua DPR, Aziz Syamsuddin pun mengetuk palu sebagai tanda pengesahan.

Rapat paripurna kali ini bisa terbilang sangat cepat dan mengejutkan banyak pihak.

Baca juga: Lampung Berdayakan Petani lewat KPB

Pasalnya, rapat tersebut hanya berjarak dua hari sejak pengesahan tingkat pertama pada Sabtu (3/10) lalu.

Dalam rapat paripurna, sembilan fraksi di DPR kembali menyampaikan pandangan mereka soal RUU Cipta Kerja.

Dari sembilan fraksi, hanya dua fraksi yang tetap menolak seluruh hasil pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja, yaitu Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat.

Namun, RUU Cipta Kerja tetap disahkan menjadi UU, karena kesepakatan antara mayoritas fraksi di DPR dan pemerintah.

Di sisi lain, Konsorsium Pembangunan Agraria (KPA) menyoroti UU Cipta Kerja tersebut.

Menurut mereka, DPR RI menutup mata dan telinganya dengan tetap maraton secepat kilat dalam merumuskan landasan hukum bagi kemudahan berbisnis badan-badan usaha melalui RUU Cipta Kerja.

Disahkannya UU Cipta Kerja memberikan kepastian hukum dan kemudahan proses kepada investor dan badan usaha raksasa. Sehingga, lebih mudah merampas tanah rakyat, menghancurkan pertanian rakyat, merusak lingkungan, dan memenjarakan masyarakat yang mempertahankan hak atas tanahnya,” sebut KPA dalam keterangan resminya belum lama ini.

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Dr. Hermanto Siregar, M.Ec, Ph.D, menyoroti Pasal 122 yang merupakan pengganti Pasal 44.

Di dalam Pasal 122, Nomor 1, Ayat (2) berisi, “dalam hal untuk kepentingan umum dan/atau Proyek Strategis Nasional, Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dialihfungsikan, dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Baca juga: Parimo Bersiap Menyangga Ibu Kota

Menurut Prof. Hermanto, potensi konflik di dalam pasal tersebut sangat besar.

Apa lagi, usaha tani umumnya dijalankan oleh para petani secara turun temurun.

Tidak mudah mengambil alih lahannya, walaupun diganti dengan luasan memadai di daerah lain. Pindah ke daerah lain bagi petani tidak mudah, karena adaptasinya biasanya lama. Oleh sebab itu, peraturan turunan atau pelaksanaannya harus dibuat secara hati-hati, melibatkan petani dan disosialisasikan secara memadai” ujarnya dalam pesan singkat kepada Jagadtani.id belum lama ini.

Related News