Sawah Bergelar Warisan Budaya Dunia
“Budaya di sini dalam artian subak di Bali, yang kental dengan upacara adatnya. Perairan sawah di sini semua dari subak. Walau kemarau, air tetap ada meski debitnya hanya sepertiga dari saat musim penghujan.”
DENPASAR - Tahukah Sahabat Tani, Indonesia memiliki sawah dengan predikat ‘Warisan Budaya Dunia?
Sawah memang erat hubungannya dengan Indonesia.
Selain karena beras merupakan makanan pokok masyarakat, Indonesia memang dikenal sebagai negara agraris dengan petani sebagai penyumbang terbesar dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Baca juga: Jalak Bali Bangkit Kembali
Di Bali, terdapat desa ditetapkan menjadi ‘warisan budaya dunia’ oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada 29 Juni 2012 silam.
Desa itu bernama Jatiluwih yang berasal dari kata ‘jaton’ dan ‘luwih’.
Jaton berarti Jimat, sedangkan luwih berarti bagus.
Jadi, dapat disimpulkan Jatiluwih berarti desa yang mempunyai jimat yang benar-benar bagus atau berwasiat.
Bertempat di Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali, terdapat area persawahan berundak yang dikelola mandiri oleh para petani lokal yang kini familiar dengan nama Jatiluwih rice terrace.
Bukan tanpa alasan, sawah ini pernah dikunjungi Presiden Amerika ke-44, Barack Obama, pada Juni 2017 lalu.
Sawah ini berbentuk terasering atau sengkedan dengan sistem pengairan irigasi tradisional, subak.
Terasering atau sengkedan merupakan metode konservatif dengan membuat teras-teras yang dilakukan untuk mengurangi panjang lereng, menahan air, sehingga mengurangi kecepatan dan jumlah aliran permukaan, serta memperbesar peluang penyerapan air oleh tanah.
Nama subak berasal dari kata “kasuwakan” atau saluran air.
Sementara sistem irigasi subak merupakan organisasi tradisional yang menggunakan konsep Tri Hita Karana yang bersumber dari ajaran Hindu.
Sistem subak merupakan salah satu bentuk sistem irigasi yang mampu mengakomodasikan dinamika sistem sosio-teknis masyarakat setempat.
Air irigasi dikelola dengan prinsip-prinsip keadilan, keterbukaan,harmoni dan kebersamaan, melalui suatu organisasi yang fleksibel yang sesuai dengan kepentingan masyarakat.
Sementara itu, keberadaan artefak pada sistem subak dibangun sedemikian rupa, sehingga mampu mendukung prinsip-prinsip sistem subak.
Ini berarti, sistem subak pada hakekatnya merupakan teknologi yang telah membudaya dalam dinamika kehidupan masyarakat Bali.
Sistem pengairan ini diatur oleh pemuka adat yang juga merupaakn seorang petani di Bali yang disebut dengan “Pekaseh”.
Menurut Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2012, subak merupakan organisasi tradisional di bidang tata guna air dan atau tata tanaman di tingkat usaha tani pada masyarakat adat di Bali yang bersifat sosio-agraris,religius, ekonomis yang secara historis terus tumbuh dan berkembang.
Ketua Kelompok Tani Jatiluwih, I Wayan Mustra mengatakan, di tempatnya ada banyak petani yang mengelola area persawahan berundak.
Dia menyebut, satu kelompok tani terdiri dari 10 hingga 20 petani.
Umumnya kegiatan petani di sawah masih menggunakan cara-cara dan alat-alat tradisional untuk menggarap sawahnya seperti: mencangkul, nampadin atau membersihkan pematang sawah, ngelampit atau membajak sawah, melasah atau meratakan tanah sawah, hingga nandur atau menanam padi.
"Di sini semua kepemilikan sawah pribadi semua. Pengairannya menggunakan subak. Kami kelompok tani, mengelola pupuk sendiri dan tidak menggunakan pestisida, makannya udaranya segar," kata Wayan.
Dalam pengelolaan sawah berundak di Jatiluwih, Wayan dan para petani ingin tetap menjaga kelestarian alam, baik dari sisi keasriannya maupun budayanya.
Hal itu wajar, karena sistem pengairan ini sudah didirikan sejak abad ke-11 dan diajarkan secara turun temurun.
"Budaya di sini dalam artian subak di Bali, yang kental dengan upacara adatnya. Perairan sawah di sini semua dari subak. Walau kemarau, air tetap ada meski debitnya hanya sepertiga dari saat musim penghujan," ucap Wayan.
Untuk mendukung sarana pariwisata di Jatiluwih juga terdapat penginapan, cafe, dan warung hingga restoran yang memiliki ciri khas menyajikan makanan dengan beras merah dari hasil pertanian di Jatiluwih.
Baca juga: Arti Sebenarnya Janur Kuning
Seperti tidak pernah kehabisan hasil tani, petani Desa Jatiluwih juga memaksimalkan lahan yang berdiri dari 303 hektare sawah, 597 hektare perkebunan, dan 24 hektare hutan lindung.
Salah satu pengunjung domestik yang datang bersama keluarga, Fitri (42) mengatakan, Desa Jatiluwih merupakan tempat kesukaannya untuk melepas penat di tempat tinggalnya, Kota Denpasar.
“Saya selalu datang sebulan sekali ke sini. Di musim kemarau atau pun hujan. Karena udaranya bersih, segar. Bagus untuk anak-anak juga soalnya proses bertaninya tidak menggunakan bahan kimia, jadi kalau anak-anak nyemplung main di sawahnya aman aja. Tapi memang favorit saya di sekitar bulan Februari sampai April, padi siap panennya cantik sekali,” imbuhnya.