“Jika 10% dijadikan agroforestri, maka dari lahan agroforestri dapat menghasilkan sekitar 4.350.000 ton gabah atau setara 2.727.450 ton beras.”
JAKARTA - Dosen Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor (IPB) University, Prof. Dr. I Nengah Surati Jaya, mengibaratkan hutan sebagai rumah besar dari semua proses biologis yang dapat menghasilkan hutan nabati dan hewani.
Dengan demikian, hutan dipastikan dapat menjadi sumber ketahanan dan penyediaan pangan.
Hal itu karena, hutan bisa secara langsung menyediakan karbohidrat yang berasal dari tumbuhan alami yang ada atau melalui penyediaan ruang untuk menjadi sumber produksi pangan dalam bentuk agroforestri, sylvofishery, maupun sylvopasture.
Baca juga: Di Balik Hari Pangan Sedunia
“Sebagai ilustrasi saat ini di Indonesia, ada luas hutan produksi sebanyak 29.000.000 hektare. Terkait dengan optimasi pemanfaatan lahan hutan, saat ini ada prospek multi-usaha. Di mana lahan hutan dapat dimanfaatkan secara optimal untuk berbagai macam bisnis kehutanan,” ujarnya dalam keterangan tertulis IPB University.
Prof. I Nengah juga mengatakan, bisnis kehutanan dapat meliputi hasil hutan kayu, hasil hutan bukan kayu, jasa lingkungan, dan wisata.
Menurutnya, apabila 10% dari areal dimanfaatkan untuk agroforestri, sylfopasture, sylvofisheris, maka ada sekitar 2.900.000 hektare lahan yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber pangan.
"Jika 10% dijadikan agroforestri, maka dari lahan agroforestri dapat menghasilkan sekitar 4.350.000 ton gabah atau setara 2.727.450 ton beras. Hasil ini dapat menghidupi sekira 65.000.000 penduduk per tahun dengan asumsi besaran konsumsi 114 gram per hari per orang. Itu baru dari agroforestri, belum lagi dari sumber karbohidrat yang secara alami ada di hutan seperti ubi kayu, talas, sagu dan lain-lain," paparnya.
Prof. I Nengah menambahkan, jika per hektare lahan bisa menyerap dua sampai tiga orang tenaga kerja, maka akan ada sekitar 5,8-8,7 juta tenaga kerja yang dapat diserap.
Serapan ini baru dari hutan negara, belum termasuk dari hutan atau kebun milik rakyat yang mendekati angka 1.500.000 hektare.
Jika hutan milik rakyat dimasukkan dan 25% digunakan sebagai agroforestri, maka akan ada tambahan sumber pangan untuk menghidupi sekitar 8.500.000 jiwa.
Sementara, sumber pangan lainnya dari hutan yang sudah terbukti potensinya yaitu sagu, nipah, biji kesambi, dan biji kepuh.
Bahkan, kini sagu sudah menjadi sumber pangan utama di masyarakat Indonesia bagian timur.
Ia menuturkan, selain kayu, hutan juga memiliki potensi lain, baik berupa hasil hutan bukan kayu (HHBK) nabati maupun hewani, yang dapat menjadi sumber pangan potensial.
HHBK nabati seperti damar, gaharu, kemenyan, getah tusam, minyak atsiri, cendana, kulit kayu manis, durian, kemiri, pala, vanili, buah merah, rebung bambu, kayu kuning, jelutung pinang, gambur, akar wangi, brotowali, anggrek hutan, rotan, dan kina.
Baca juga: Beternak di Lahan Bekas Tambang?
Produk tersebut belum termasuk HHBK hewani seperti babi hutan, kelinci, kanci, rusa, buaya, arwana, kupu-kupu, sarang burung walet, ulat sutera, dan lebah madu.
"Jadi, tidak bisa dipungkiri bahwa hutan sebagai sumber ketahanan dan penyedia pangan sudah sangat jelas bisa diwujudkan. Sebagian masyarakat kita bahkan masih mengandalkan sumber pangan dari hutan. Dalam perspektif ke depan, adanya kebijakan multi usaha kehutanan, sumber pangan dari hutan tidak semata-mata bisa diproduksi dalam skala kecil secara sub-sistem untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari saja, tetapi dapat menjadi skala bisnis," tandasnya.