“Selain harganya lebih murah daripada pakai genting, memang membuat sejuk saat siang, tapi malamnya hangat.”
DENPASAR - Ijuk bagi sebagian besar masyarakat Indonesia dikenal sebagai bahan utama pembuat sapu atau tali tambang.
Namun, belakangan ini ijuk banyak digunakan sebagai penyaring air karena seratnya yang bisa menghasilkan air jernih.
Ijuk sendiri merupakan serabut hitam dan keras pelindung pangkal pelepah daun enau.
Baca juga: Sawah Bergelar Warisan Budaya Dunia
Ijuk dihasilkan dari pohon aren yang telah berumur lebih dari lima tahun atau hingga bunganya keluar.
Pohon yang masih muda memproduksi ijuk kecil, sementara pohon yang mulai berbunga memiliki kualitas yang lebih baik.
Pemungutan ijuk sendiri biasanya dilakukan dengan cara memotong pangkal pelepah daun, kemudian ijuk yang bentuknya berupa lembaran anyaman itu lalu dilepas dengan menggunakan golok.
Lembaran anyaman ijuk yang baru dilepas dari pohon aren, yang masih mengandung lidi ijuk, dipisahkan dari serat ijuk dengan menggunakan tangan.
Setelah itu, serat ijuk dibersihkan dengan menggunakan sisir kawat dari berbagai kotoran.
Di Bali, ijuk sering digunakan sebagai atap bangunan pelinggih atau pura dengan atap bertingkat berjumlah ganjil.
Tingkatan pada pura sendiri paling sedikit tiga tingkatan dan paling banyak sebelas tingkatan, yang dipengaruhi oleh status bangunan suci tersebut.
Jika jumlah tingkatnya rendah, biasanya ditujukan untuk dewa lokal.
Sementara jumlah tingkat yang tinggi, ditujukan untuk dewa besar.
Salah satu tempat yang menyediakan kebutuhan masyarakat Bali akan ijuk tersebut yaitu di Banjar Getas Kangin, Desa Buruan, Kecamatan Blahbatu, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali.
Salah satu penyedia ijuk di Banjar Getas Kangin yaitu Adi.
“Saya menjual ijuk yang digunakan untuk atap pura dan bahan baku tali. Ijuk untuk atap pura juga bermacam-macam, ada yang sudah dirangkai dan siap pasang, ada juga yang masih berupa ikatan besar. Memang lebih murah yang masih diikat, harganya hanya ratusan ribu. Kalau mau terima beres, per tingkat atapnya bisa sampai Rp4.000.000-an. Jadi kalau ada tiga tingkat, harganya Rp12.000.000. Kebanyakan di desa ini memang menerima jual beli ijuk sebagai pekerjaan utama,” ujarnya kepada Jagadtani.id belum lama ini.
Adi mengaku ijuk jualannya banyak dicari untuk dibuat atap, karena ia juga melayani perbaikan atap dan bongkar pasang.
Ditambah lagi, ia juga menerima pembuatan keperluan rumah tangga dengan bahan ijuk seperti lampu taman dengan model khas Bali.
“Apa saja yang bahan dasarnya ijuk, saya kerjakan. Dari pengantaran, pembuatan, perbaikan, sampai bongkar pasang. Dari ijuk yang belum diolah, sampai yang sudah berbentuk barang. Seperti lampu taman beratap ijuk berukuran 30x30x65 sentimeter yang dikerjakan sekitar dua minggu, harganya di atas Rp500.000. Kalau tali tambang, per 30 meter saya jual dengan harga Rp40.000. Hari ini saya hanya kirim ijuk yang belum diolah satu mobil bak terbuka ke Denpasar,” tuturnya.
Baca juga: Jalak Bali Bangkit Kembali
Salah satu pengguna ijuk yang diperuntukan untuk pura, Gede Raka, menyebutkan keuntungan dan kekurangan menggunakan atap ijuk.
“Selain harganya lebih murah daripada pakai genting, memang membuat sejuk saat siang, tapi malamnya hangat. Lumayan tahan lama juga. Pura saya sudah pakai ijuk sekitar 18 tahunan dan belum diganti. Kekurangannya, kalau pas hujan deras, masih harus saya cek sekali-kali, karena cukup rawan bocor dan rawan terbakar pastinya,” imbuhnya.