“Segala sesuatunya jika kita mencintai serta hobi, itu tidak akan terasa sulit, justru akan menjadi santai, dan membuat kita tidak merasa terbebani akan hal apa yang kita kerjakan.”
TANGERANG SELATAN - Burung yang satu ini banyak di gemari oleh masyarakat Indonesia, khususnya para pecinta burung berkicau.
Ini karena suaranya yang merdu, sekaligus bentuk tatanan tubuhnya yang mempesona.
Ya, burung ini bernama Kucica Hutan (Copsyhus malabaricus) atau yang terkenal dengan nama Murai Batu.
Baca juga: Beternak Burung Merpati bagi Pemula
Ia termasuk ke dalam famili Muscicapidae atau burung cacing, yang tersebar di seluruh pulau Sumatera, Semenanjung Malaysia, dan sebagian pulau Jawa.
Salah satu penangkar murai batu yaitu, Dani (25) warga Kelurahan Cirendeu, Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang selatan, Provinsi Banten.
Sebagai penangkar, Dani bercerita jika awalnya ia hanya sekadar hobi mengikuti kontes burung kicau, hingga ia jatuh cinta pada burung ini.
“Saya mulai mengikuti kontes burung itu sejak 2005. Nah, dari situ saya mempunyai rasa keinginan tahu tentang burung murai batu, lalu saya mulai mempelajarinya secara autodidak dan Alhamdulillah, saya mendapatkan prestasi dari burung-burung saya,” ucapnya kepada Jagadtani.id belum lama ini di rumahnya di sekitar Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten.
Karena kicauannya, murai batu sering kali dilombakan oleh para kicau mania.
Namun, di beberapa daerah terdapat aturan khusus, jika burung terus menerus memenangkan kontes, maka tidak lagi diperbolehkan mengikuti kontes berikutnya.
“Di kontes itu jika burung sudah sering menang, tidak diperbolehkan mengikuti kontes oleh juri. Masa iya sih burung yang sudah saya rawat, dilepas begitu saja. Akhirnya di 2019 saya memutuskan untuk menangkarkannya,”ujarnya.
Seiring berjalannya waktu, peminat murai batu semakin banyak dan semakin berkembang pesat di kalangan pecinta burung atau pun kicau mania.
Penangkaran murai batu yang dimiliki oleh Dani pun semakin berkembang dengan berbagai permintaan dari para pelanggan.
Ia juga mengungkapkan, di tempatnya saat ini ia memiliki sekitar 27 pasang burung.
Di dalam penangkarannya juga terdapat sistem koloni yang terdiri dari satu penjantan dengan lima betina.
Sedangkan untuk pakan, Dani sering memberikan burungya jangkrik, kroto, dan ulat, serta penambah nutirisi berupa ikan cere yang diberikan dalam waktu dua kali sehari.
Porsi pakan murai batu juga tidaklah sama.
Biasanya untuk yang anakan bisa membutuhkan 10 jangkrik, demi mempercepat proses pertumbuhan, sedangkan indukan cukup tujuh jangkrik saja.
“Untuk merawat dan mengertinya saya belajar sendiri dengan kegagalan yang pernah saya lalui. Misalkan burung sakit biasanya kendalanya itu ada pada perawatan dan juga pakan yang diberikan kepada si burung,” tuturnya.
“Di (dunia) burung itu tidak ada yang namanya pakar. Seahli apa pun orang itu kalau dia tidak teliti, pasti ada saja kendalanya, namanya juga bergelut dengan nyawa,” tambahnya.
Dani lalu menerangkan proses perjodohan pertama.
Menurutnya, perawat harus mengetahui burung yang sedang birahi atau tidak.
Jika tidak sedang birahi, maka bisa menyebabkan kematian, karena karakter dari murai batu itu merupakan predator.
Proses selanjutnya, hanya menggabungkan antara pejantan dan juga betina sampai bertelur.
Biasanya, murai batu bisa mengeluarkan telur antara tiga hingga tujuh butir, sedangkan untuk waktu penetasan biasanya sampai 15 hari.
“Intinya sabar, teliti, ulet, dan juga konsisten. Serta yang terpenting sebisa mungkin burung itu nutrisinya tercukupi dan selalu terjaga,” jelasnya.
Baca juga: Jalak Bali Bangkit Kembali
Dalam satu bulan, Dani dapat memanen sekitar 35 burung dengan harga yang berbeda-beda, untuk anakan berkisar Rp2.000.000 ke atas dan untuk indukannya berkisar Rp7.000.000 ke atas.
Dari usaha penangkaran yang ia geluti, Dani bisa meraup omzet per bulannya mencapai Rp50.000.000.
“Segala sesuatunya jika kita mencintai serta hobi, itu tidak akan terasa sulit, justru akan menjadi santai, dan membuat kita tidak merasa terbebani akan hal apa yang kita kerjakan,” tutupnya.