Menghadapi Krisis Pangan dari Laut
“Hal ini dapat menimbulkan penurunan kualitas lingkungan dan stok sumber daya perikanan, sehingga kemampuan alam untuk mempertahankan kondisi optimal terhambat.”
JAKARTA - Untuk menghadapi krisis pangan di tengah Pandemi COVID-19, khususnya dalam membangkitkan produktivitas perikanan Indonesia, dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) University dari Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (MSP-FPIK), Dr. Fredinan Yulianda, mengungkapkan berbagai strategi.
Fredinan yang juga merupakan Ketua Program Doktor Pengelolaan Sumber Daya Pesisis dan Lautan IPB University ini mengatakan, ancaman krisis pangan tidak secara tiba-tiba datang menimpa bangsa Indonesia.
Baca juga: Potensi Sagu untuk Ketahanan Pangan
Namun menurut pakar di bidang pengelolaan sumber daya perairan, khususnya konservasi dan ekowisata perairan ini menyebut, hal tersebut ditentukan oleh tiga faktor utama.
Faktor pertama yaitu, pelaku perikanan.
Pelaku yang memanfaatkan kawasan perairan tawar, pesisir, dan laut untuk mengeksploitasi sumber daya perikanan.
Pelaku sekaligus pengguna yang berkontribusi terhadap krisis pangan melalui perilaku eksplotasi yang merugikan sumber daya dan lingkungan, pemilihan jenis komoditi yang tendensius,
Dan penangkapan dalam jumlah yang tidak terkontrol atau melebihi daya dukung.
Hal itu akan terlihat dari indikator jumlah tangkapan yang semakin menurun dan ukuran semakin kecil, serta pemilihan kawasan yang tidak berbasis distribusi spasial atau ruang yang seimbang.
“Hal ini dapat menimbulkan penurunan kualitas lingkungan dan stok sumber daya perikanan, sehingga kemampuan alam untuk mempertahankan kondisi optimal terhambat,” ujarnya dalam keterangan tertulis IPB University.
Faktor lainnya yaitu, suplai sumber daya perikanan yang berkaitan sekali dengan kemampuan alam untuk menyediakan stok populasi sumber daya secara maksimal.
Menurut Fredinan, saat ini kemampuan alam sudah mulai menurun seiring dengan terjadi penurunan kualitas lingkungan dan kemampuan resiliensi ekosistem atau populasi.
Hal ini menyebabkan ketersediaan sumber daya perikanan di alam mulai terganggu dan mengalami penurunan yang signifikan.
Sehingga, suplai sumber daya perikanan mengalami penurunan.
Indikator suplai yang terganggu dapat dilihat dari hasil tangkapan nelayan dan kondisi ikan di pasar ikan.
Selain itu, juga terdapat diversifikasi jenis komoditi perikanan dari jenis unggulan yang bergeser ke jenis non unggulan, jumlah tangkapan tidak sebanyak masa lampau, ukuran ikan makin mengecil, serta kualitas daging menurun yang diantaranya karena faktor pencemaran lingkungan.
Penurunan kemampuan alam sebagai suplai komoditi perikanan juga dipengaruhi oleh faktor pelaku dan faktor kebijakan.
Faktor kebijakan pemerintah menjadi alasan yang ketiga.
Kebijakan sektor perikanan cenderung berorientasi ekonomi yang menguntungkan komoditi perikanan komersial dan bernilai ekonomi tinggi.
Kebijkan ini sering mengabaikan keseimbangan tatanan sistem ekologi yang dapat merugikan komoditi perikanan lainnya.
Ketidakseimbangan ekologi terdiri dari gangguan rantai atau jaring makan, tingkat tropik, relung habitat, fungsi daerah pemijahan (spawning ground), fungsi daerah asuh (nursery ground), jalur migrasi, perlindungan pantai, jalur hijau (green belt), dan fungsi ekologi lainnya.
“Hal ini semuanya bermuara kepada gangguan ketersediaan stok sumber daya perikanan Indonesia. Kebijakan multi sektor sering menimbulkan benturan dan konflik terhadap sektor perikanan yang memerlukan kawasan yang tidak tercemar, tidak terganggu, dan luas yang ideal yang dibutuhkan untuk keseimbangan sistem ekologi,” tuturnya.
“Pemanfaatan ruang yang sama pada kawasan perairan tawar (daerah aliran sungai), pesisir dan laut untuk kepentingan berbeda, seringkali tidak memperhatikan keseimbangan sistem ekologi. Misalnya, pencemaran di perairan tawar, pesisir dan laut, konversi lahan, reklamasi pantai, penanganan limbah dan sampah di perairan masih lemah, penetapan jalur transportasi, dan penyusunan tata ruang yang belum maksimal mempertimbangkan keseimbangan ekologi,” tambahnya.
Melihat kendala yang ditimbulkan, Fredinan pun menyatakan perlunya strategi yang harus dijalankan untuk mempertahankan lingkungan tetap terjaga, agar produktivitas perikanan bangkit, optimal dan berkelanjutan.
Strategi dapat dilakukan dengan membuka peluang pemanfaatan multi jenis komoditi secara proporsional dan merata.
Selain itu, harus dapat menentukan daya dukung pemanfaatan dari setiap jenis komoditi perikanan.
Lalu, lanjutnya, perlu adanya pengontrolan dan penerapan sangsi secara hukum pada setiap pelanggaran pemanfaatan yang melebihi daya dukung, serta memberikan akses yang luas dan merata kepada nelayan sesuai ketentuan kelestarian sumber daya.
Strategi lainnya yang tidak kalah penting yaitu, harus mencegah kerusakan dan pencemaran lingkungan perairan, pantai dan ekosistem.
Selain itu, melakukan perbaikan dan restorasi bagi sumber daya yang mengalami gangguan, kerusakan dan proses kepunahan.
Baca juga: Antisipasi Krisis dengan Lumbung Pangan
Untuk itu, menurutnya pemerintah perlu membuat kebijakan yang memprioritas keseimbangan sistem ekologi perairan tawar, pesisir dan laut yang berorientasi pada sumber daya dan ekosistemnya.
“Kita juga harus dapat memetakan ekosistem atau kawasan skala prioritas, sebagai kawasan produksi perikanan unggul dari perspektif fungsi ekologi dan sumber produksi. Melihat permasalahan di atas, sudah saatnya Indonesia harus memiliki kebijakan payung dalam penggunaan ruang perairan tawar, pesisir dan laut yang berorientasi keseimbangan sistem ekologi,” pungkasnya.