Memijah Kembali Udang Windu Afkir
“Pada teknologi ini, si induk udang yang harusnya diafkir (hanya dimanfaatkan untuk konsumsi) dapat dimanfaatkan kembali sampai tiga kali pemijahan lagi.”
JAKARTA - Dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) University dari Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan (MSP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), Prof. Dr. Etty Riani, meneliti teknologi pemanfaatan induk udang windu yang sudah afkir atau hanya dimanfaatkan untuk konsumsi.
Baca juga: Merosotnya Harga Udang Windu
Hasil risetnya menemukan, melalui permainan hormonal dan nutrisi, induk udang windu afkir yang dapat dikatakan sudah menjadi ‘limbah’ karena kualitasnya buruk, dapat kembali melakukan pemijahan hingga lima kali dengan kualitas yang baik.
Inovasi yang telah dipatenkan tersebut, akan menghasilkan anakan dan larva serta menahan ekploitasi induk udang windu yang merupakan udang Indonesia asli, sehingga kelestariannya di alam juga terjaga.
“Pada teknologi ini, si induk udang yang harusnya diafkir, dapat dimanfaatkan kembali sampai tiga kali pemijahan lagi. Sehingga yang tadinya dua kali pemijahan bisa menjadi lima kali. Nah ini salah satu inovasi yang dimanfaatkan untuk udang windu dari alam, sehingga kelestarian udang windu pada khususnya dan kelestarian lingkungan (ekosistem) secara umum tidak terlalu terganggu,” jelasnya.
Meski demikian, ia menyayangkan inovasi tersebut yang kurang dimanfaatkan oleh pemerintah, karena budidaya udang windu yang mulai ditinggalkan.
Menurutnya, banyak petambak udang yang beralih ke udang vaname yang terus menerus diimpor, sehingga ketergantungan terhadap budidayanya menjadi sangat tinggi.
“Belum lagi masalah lingkungan lainnya. Apabila udang vaname sampai lepas ke alam dan selanjutnya beranak pinak di ekosistem laut kita, maka bukan tidak mungkin udang windu yang serba pemilih dalam hal habitat dan makanan ini akan kalah bersaing dengan udang vaname. Kemungkinan udang windu akan mengalami nasib yang sama dengan keong gonad, yang pelan namun pasti habitatnya tergeser oleh keong mas (sebenarnya bukan keong mas tapi keong murbai, namun masyarakat terlanjur menyebutnya keong mas). Sehingga perlu adanya manajemen pemasaran yang baik agar produk lokal dapat bersaing dengan komoditi impor. Apalagi banyak komoditi lokal yang memiliki kelebihan tersendiri,” jelasnya.
Selain itu, ia juga menyayangkan sikap pemerintah yang kadang kurang sejalan dengan para peneliti akibat perbedaan kepentingan.
Sehingga, hal itu menjadi tantangan tersendiri bagi para peneliti untuk menyumbangkan ilmunya.
Menurutnya, sudah lama pemerintah bersikap memunggungi lautan, hingga periode saat ini.
Ia pun berharap, sektor perikanan sebagai prime mover atau penggerak perekonomian bangsa masih belum tercapai.
“Satu hal yang juga perlu pemikiran bersama diantaranya adalah kebijakan perikanan masih belum menjadi mainstream pemerintah kita. Masih belum sejalan dengan keinginan Presiden Jokowi pada saat menjadi Presiden periode pertama saat pidato pertama di depan MPR,” ungkapnya.
Yang menjadi catatan penting lainnya yaitu, permasalahan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) yang tak kunjung habisnya.
Menurutnya, perusahaan-perusahaan besar masih ada yang menjadikan wilayah perairan sebagai tempat pembuangan limbah.
Pencemaran plastik dan logam berat, misalnya di Teluk Jakarta, juga telah mencapai titik yang sangat mengkhawatirkan.
Sehingga, hal itu membuat hasil tangkapan laut menjadi pangan, yang apabila dikonsumsi dalam jumlah banyak dan dengan frekuensi yang sering, justru malah berpotensi membahayakan orang yang mengkonsumsinya.
Apa lagi, konsumsi makanan laut yang tercemar dapat berpotensi untuk meningkatkan risiko munculnya berbagai penyakit degeneratif, bahkan juga memicu munculnya penyakit kanker.
Sehingga, hasil lautan yang seharusnya menjadi penopang kesehatan karena kandungan gizinya yang sangat baik, malah dapat menjadi masalah untuk kesehatan dan keamanan konsumen karena lingkungan yang tidak terjaga.
Ia pun berharap, agar semua kegiatan perikanan, baik budidaya maupun penangkapan yang dilakukan dapat selalu menjaga kelestarian lingkungan perairan.
“Pada kegiatan budidaya jangan menggunakan antibiotik, namun gunakan prebiotik. Jangan sampai menimbulkan tekanan apalagi sampai mengganggu ekosistem fragile diwilayah pesisir dan sebagainya,” sebutnya.
Menurutnya, pada kegiatan penangkapan hendaknya dilakukan secara selektif, memperhatikan waktu pemijahan dan waktu anak-anak ikan tumbuh dan berkembang dengan baik.
Baca juga: Kunci Keberhasilan Budidaya Udang
Selain itu, jangan melakukan penangkapan dengan menggunakan racun, apalagi mengebom, sehingga sektor perikanan sebagai prime over ekonomi nasional dapat tercapai.
“Terlebih lagi biota laut pada umumnya memiliki kualitas gizi dan nutrisi yang relatif lebih baik sebagai sumber pangan maupun kosmetik dan obat, sehingga selain sebagai prime mover ekonomi nasional, juga akan mencerdaskan dan menyehatkan bangsa,” imbuhnya.