• 26 November 2024

Cara Mengembangkan Budidaya Lobster Nasional

uploads/news/2020/11/cara-mengembangkan-budidaya-lobster-4024198e7d4c045.jpg

Untuk mengembangkan budidaya lobster nasional yang berdaya saing dan berkelanjutan, perlu roadmap yang bisa menjadi acuan bagi pemerintah, pelaku usaha, peneliti dan masyarakat. Roadmap tersebut mencakup 12 langkah berupa program di level on farm dan off farm.”

JAKARTA - Dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) University dari Departemen Budidaya Perairan (BDP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), Dr. Irzal Effendi menyatakan, budidaya lobster di Indonesia belum berkembang.

Dosen yang pernah meneliti agribisnis lobster pada 1995 di Papua dan pembudidayaannya pada 2004 dan 2018 di Nusa Tenggara Barat ini mengungkapkan, belum berkembangnya budidaya lobster di Indonesia berkaitan dengan masih adanya produksi lobster hasil tangkapan.

Hal ini pun memunculkan ungkapan, “buat apa bersusah payah budidaya lobster, sementara di alam masih tersedia.”

Karena itu, menurutnya usaha budidaya lobster belum kompetitif dibanding dengan penangkapan.

Baca juga: Antara Budidaya atau Ekspor Lobster

Untuk mengembangkan budidaya lobster nasional yang berdaya saing dan berkelanjutan, perlu roadmap yang bisa menjadi acuan bagi pemerintah, pelaku usaha, peneliti dan masyarakat. Roadmap tersebut mencakup 12 langkah berupa program di level on farm dan off farm,” ujar Ketua Program Studi Teknologi Produksi dan Manajemen Perikanan Budidaya Sekolah Vokasi, IPB University ini dalam keterangan resminya.

Menurut Irzal, 12 langkah yang dimaksud yaitu penentuan lokasi pengembangan, pendugaan stok lobster di alam, pengembangan teknologi dan manajemen pendederan serta pembesaran, pengembangan pembenihan (hatchery).

Selain itu, perlu juga pengembangan pasar dan agribisnis, pengembangan aspek legal, pengembangan sumber daya manusia dan kelembagaan, pengelolaan lingkungan perairan, penerapan standarisasi dan sertifikasi, pelepasliaran, pengembangan fasilitas produksi, serta pengembangan infrastruktur wilayah. 

Lokasi pengembangan budidaya harus sesuai berdasarkan pertimbangan biologis, ekologis dan bisnis serta dengan memperhatikan aspek sosial budaya, sehingga dicapai kelangsungan hidup, pertumbuhan dan produksi lobster yang maksimum serta efisiensi usaha yang tinggi,” ujarnya.

Pengkajian stok lobster berbagai stadia (ukuran) di alam harus dikerjakan guna memberi kepastian ketersediaan benih bagi usaha budidaya yang masih menggunakan benih alam. Hasil kajian ini juga bisa memberi informasi jumlah, ukuran, lokasi dan waktu (musim) benih yang boleh diambil dari alam secara lestari untuk keperluan input produksi budidaya,” tambahnya.

Irzal juga menyebut, teknologi dan manajemen pembenihan (hatchery), pendederan, serta pembesaran lobster perlu dikembangkan.

Hal tersebut sudah mencakup konstruksi wadah, benih, pakan, kesehatan, kualitas air, monitoring pertumbuhan dan populasi, panen dan pascapanen. 
Pengembangan ditujukan untuk meningkatkan keberlangsungan hidup dan memacu pertumbuhan sehingga diperoleh produksi dengan produktivitas yang tinggi. Kematian lobster yang tinggi merupakan akibat kanibalisme dan pertumbuhan lambat yang perlu diatasi dengan pengembangan teknologi lingkungan dan pakan,” ujarnya.

Lalu, pakan buatan lengkap yang lebih praktis dan bisa tersedia setiap saat, juga perlu dikembangkan.

Menurutnya, hatchery lobster perlu dibangun untuk menyediakan benih secara tepat waktu, tepat jumlah, tepat mutu, dan tepat harga atau disingkat 4T.

Hal itu juga bisa mengurangi ketergantungan kepada benih dari alam yang seringkali tidak 4T.

Riset yang mencakup pengelolaan induk, pemeliharaan larva dan benih, serta kultur pakan alami plankton perlu dilakukan dan dimulai secepat mungkin, mengingat pengembangan hatchery lobster bersifat jangka panjang.

Bisnis hatchery lobster awalnya belum menguntungkan mengingat lamanya stadia larva phyllosoma yang konon mencapai 3-9 bulan. Oleh karena itu, perlu peran pemerintah melalui lembaga penelitian dan perekayasaan terkait yang didukung oleh akademisi dari perguruan tinggi, untuk membuat percontohan hatchery lobster untuk pelaku usaha dan masyarakat,” tuturnya.

Ia juga menyebut, pembudidaya juga harus menguasai kondisi ekosistem perairan, sosial ekonomi budaya lokasi dan teknologi adaptasi benih restocking, serta metode restocking.

Hal itu termasuk rancangan monitoring dan evaluasi lobster yang di-restocking, sehingga tujuan restocking yakni menjaga kelestarian lobster bisa dicapai.

Aspek sosial ekonomi budaya kawasan restocking juga perlu diperhatikan, mengingat restocking dilakukan di perairan yang bersifat common property, open access, dan multiple purposes.

Pengembangan pasar dan agribisnis perlu dilakukan untuk menjamin ketersediaan pasar lobster ukuran konsumsi yang bersifat eksotik, dengan karakteristik pasar yang cenderung terkonsentrasi pada kawasan atau negara tertentu dan segmen kalangan menengah ke atas di kawasan metropolitan dunia. Perlu perluasan pasar dari sekedar ke Cina dan kawasan Asia Timur lainnya, yakni ke Uni Eropa, Amerika Serikat dan Timur Tengah melalui promosi, standarisasi/sertifikasi dan sebagainya,” tuturnya.  

Ia juga menyarankan, pemerintah bisa berperan dalam penetrasi pasar lobster dengan menekan biaya angkut produk ke mancanegara.

Pasar dalam negeri juga tidak boleh dikesampingkan, mengingat populasi penduduk Indonesia yang tinggi dan berkembangnya kawasan pertumbuhan yang mengarah kepada konsep megapolitan. 

Menurutnya, masa pandemi COVID-19 memang menekan pasar seafood global, namun akan bersifat sementara dan pasar laten tetap besar termasuk pasar domestik. 

Baca juga: Sentra Lobster di Telong Elong

Dewasa ini pasar global seafood, terutama Cina, mulai menggeliat dan bergerak meningkat secara signifikan. Diperkirakan tahun ini juga akan kembali normal bahkan melampaui tahun sebelum adanya COVID-19,” paparnya.

Melalui roadmap tersebut, ia memperkirakan dapat membutuhkan waktu sekitar 3-9 tahun untuk pengembangan dan 4-6 tahun untuk pemantapan akuakultur lobster nasional.

Target dan indikator capaian pada tahun ke-1, 2, 5, 10 atau 15 tahun disusun secara terukur yang mencakup variabel luas atau jumlah unit fasilitas produksi (karamba, hatchery, penampungan), jumlah pembudidaya/perusahaan, kinerja produksi dan bisnis serta pendapatan masyarakat dan ekonomi wilayah. Indonesia memerlukan perusahaan lobster yang memiliki visi yang kuat, memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi dan terdepan dalam Iptek budidaya,” pungkasnya.

Related News