• 25 April 2024

Sisi Lain Pertanian Organik

uploads/news/2019/10/sisi-lain-pertanian-organik-7704824bed7dd21.jpg

Sebuah riset menunjukkan sisi lain pertanian organik.

AUSTRALIA – Pertanian organik selama digadang-gadang sebagai produk yang lebih sehat dan berkelanjutan, karena menggunakan lebih sedikit pestisida, pupuk, dan herbisida. Para pendukungnya juga mengklaim jika metode ini mampu menghemat air dan mengendalikan erosi. Namun riset menunjukkan hal lain, pertanian organik ternyata lebih banyak menghasilkan emisi karbon.

Seperti dilansir ABC.net.au, Dalam penelitian terbaru yang diterbitkan dalam jurnal Nautre Communications pada (22/10) lalu, menyumpulkan jika mengubah pertanian menjadi organik ternyata akan menghasilkan lebih banyak emisi karbon dioksida. Namun, hal berbeda justru terjadi di Inggris dan di Wales yang secara hipotesis telah beralih ke 100% praktik pertanian.

Di sana para peneliti menemukan metode pertanian organik ternyata memiliki emisi nitro oksida dan karbon dioksida yang jauh lebih rendah per unit area yang ditanami para petani, berkat penggunaan tanaman pengikat nitrogen ketimbang pupuk. Metode ini diketahui juga mampu menyerap karbon tanah yang juga lebih tinggi pada tanaman organik, dibandingkan dengan non-organik.

Namun, penelitian ini juga mengungkapkan jika volume makanan yang ditanam per unit di area pertanian organik ternyata 40% jauh lebih kecil daripada di area pertanian konvensional. Sehingga, penghematan emisi yang terjadi tidak cukup untuk mengimbangi penurunan produktivitas.

“Pertanian organik tentu membutuhkan lebih banyak tanah untuk menghasilkan makanan dalam jumlah tertentu,” kata penulis utama studi tersebut, Guy Kirk dari Cranfield University.

Menurutnya, hal ini juga dipicu oleh kebutuhan untuk menanam kacang-kacangan selain tanaman utama untuk memperbaiki nitrogen di tanah daripada menggunakan pupuk. Ditengah menguatnya pemahaman mengenai pertanian organik yang lebih ramah lingkungan dalam segala hal, pakar iklim dan industri primer, Richard Eckard dari University of Melbourne menilai jika temuan itu sama sekali tidak mengejutkan.

“(Temuan ini) logis, penilaian yang adil, dan seperti yang sudah saya perkirakan. Ada garis pemikiran yang kuat, tentu saja di bidang yang saya tekuni, yang mengatakan bahwa konsekuensi metode pertanian organik ini harus diperhitungkan,” kata Richard.

“Jika semua orang melakukan pertanian organik, mungkin meskipun akan terjadi dampak lingkungan yang lebih sedikit (dari pertanian industri), namun metode ini tidak mampu menghasilkan sebagian kecil dari makanan yang mampu kita produksi saat ini,” tambahnya.

Walau tren keseluruhannya menyimpulkan jika makanan organik menghasilkan emisi gas rumah kaca yang lebih besar, namun secara perhitungan, emisi dari jenis makanan yang ditanam sebagian tetap lebih unggul. Tanaman seperti kubis, gandum, dan gandum hitam ternyata dapat menghasilkan lebih sedikit gas rumah kaca bila ditanam secara organik daripada yang lainnya.

Oleh karena itu, menurut Kirk, alih-alih menerapkan praktik pertanian organik secara keseluruhan, teknik ini harus disesuaikan dengan tanaman dan lingkungan tertentu.

Selain itu, dalam penelitian ini juga diungkapkan jika pengurangan emisi dapat dicapai dengan beralih ke metode pertanian organik dan non-organik, namun pengurangan emisi yang lebih signifikan justru bisa dilakukan dengan mengubah pola makan yaitu dengan mengurangi konsumsi daging.

"Mengingat kontribusi peternakan hewan yang jauh lebih besar terhadap emisi gas rumah kaca, dampak yang lebih besar dapat diperoleh dengan mengurangi konsumsi daging," kata penulis studi ini.

Hal ini juga berlaku di negara lain seperti Australia, di mana konsumsi daging merah mereka jauh di atas rata-rata global. Di Australia, pertanian berkontribusi sekitar 14% dari total emisi. Lebih dari 70% nya berasal dari ternak. Menurut Kirk, ternak merupakan penyumbang tinggi gas metana, yang lebih kuat daripada CO2 dalam hal potensi pemanasan.

"Memproduksi daging membutuhkan lebih banyak kalori tanah per makanan daripada tanaman, dan hewan pemamah biak juga menghasilkan metana yang per molekulnya mengandung lebih dari 20 kali efek pemanasan global CO2,” tutup Kirk.

Related News