• 22 November 2024

Ini Alasan Harga Kedelai Naik

uploads/news/2021/01/ini-alasan-harga-kedelai-11202c2b315b796.jpg

Karena belanja Cina yang gila-gilaan, cadangan stok kedelai di banyak negara turun drastis.”

JAKARTA - Belakangan ini harga kedelai menjadi topik hangat di tengah masyarakat.

Langkanya pasokan tahu dan tempe di pasaran, disebabkan oleh aksi mogok produksi dari para pengrajin tahu dan tempe di Jabodetabek.

Dosen dari Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM), Institut Pertanian Bogor (IPB) University, Dr. Bayu Krisnamurthi, pun angkat bicara.

Baca juga: Langkah Kementan Tingkatkan Produksi Kedelai

Produksi kedelai dunia untuk tahun 2020, sebenarnya baik. Pertumbuhan produksi dunia berkisar antara dua sampai delapan persen tergantung negaranya. Jumlah produksi kedelai sekitar 362 juta ton di seluruh dunia,” ujar pria yang pernah menjabat sebagai Wakil Menteri Pertanian periode 2010-2012 dan Wakil  Menteri Perdagangan periode 2011-2014 ini.

Dalam keterang IPB University belum lama ini, ia menjelaskan, ada tiga faktor yang menjadi penyebab harga kedelai di Indonesia bahkan di seluruh dunia naik.

Pertama, belanja besar-besaran Cina selepas setengah tahun ‘berpuasa’.

Praktis selama awal tahun 2020 hingga April sampai Mei, Cina tidak membeli apa-apa. Namun pada bulan Juli, impor kedelai Cina naik 91 persen dibanding tahun 2019,” ungkap Prof Bayu.

Sementara, pada September, impor Cina juga naik 51% dibandingkan tahun sebelumnya.

Di samping itu, terjadi peningkatan permintaan yang besar dalam jangka waktu yang pendek sehingga menyebabkan kenaikan harga kedelai.

Kedua, karena belanja Cina yang gila-gilaan, cadangan stok kedelai di banyak negara turun drastis. Ini memberi sinyal kenaikan harga dalam tiga sampai enam bulan berikutnya. Industri akan berpikir dan memastikan tiga atau enam bulan lagi, apakah masih mendapatkan bahan baku atau tidak? Karenanya dia bikin future contract. Kontrak masa depan itu ada harganya. Kurangnya stok itulah akhirnya membuat harga kedelai di masa depan naik,” tuturnya.

Faktor ketiga, lanjutnya, dari 362 juta produksi kedelai dunia, Indonesia baru mengimpor sekitar 1,7-2 juta ton.

Angka ini, menurutnya sangat kecil jika dibandingkan dengan total perdagangan dunia yang mencapai 130 juta ton.

Implikasi dari hal itu, seringkali kita tidak jadi prioritas. Bukan hanya di produknya, tapi di alat angkutnya. Kalau Cina membeli besar-besaran, maka perusahaan kapal laut akan melayani. Sementara kita, dan tentu negara-negara lain yang melakukan impor dalam jumlah tidak banyak, kesulitan mendapatkan kontainer maupun kapal pengangkut. Tiga situasi inilah yang membuat harga kedelai di dunia saat ini naik,” paparnya.

Selain itu, Bayu juga mengomentari pernyataan Kementerian Perdagangan yang sebelumnya telah menjamin, jika stok kedelai masih aman.

Ia menyebut, kedelai yang dimiliki para pedagang merupakan barang lama yang didapatkan dengan harga yang relatif murah.

Yang menjadi masalah, jika pedagang menjual dengan harga sewaktu beli, maka dipastikan tidak akan cukup untuk belanja yang akan datang. Karenanya prioritas utamanya, kedelainya harus ada dengan harga yang juga disesuaikan,” katanya.

Ia menyatakan, untuk mencapai swasembada, pemerintah harus memiliki prioritas dan konsentrasi pada kedelai tertentu.

Menurutnya, jika melihat konsumsi kedelai di Indonesia, setidaknya ada dua tipe konsumsi.

Pertama konsumsi kedelai utuh, seperti pada pembuatan tempe.

Kedua, kedelai yang dihancurkan, seperti kecap, tahu, oncom dan sebagainya.

Kasus pada tempe, Bayu menilai, konsumen Indonesia saat ini semakin memilih.

Masyarakat sekarang, lanjutnya, ingin tempe yang kedelainya terlihat bagus, kuningnya sama, besarnya sama.

Baca juga: Budidaya Kedelai demi Swasembada

Sementara bagi petani, menurutnya, tidak mampu menghasilkan kedelai yang seragam.

Sementara pada kedelai hitam untuk kecap, kedelai untuk oncom atau tahu, Indonesia bisa memproduksi tanpa impor.

Semua itu merupakan kedelai dalam negeri, karena tidak masalah untuk tidak seragam.

Jadi kalau mau swasembada, konsentrasi pada kedelai yang dihancurkan. Atau kita promosikan bahwa tempe yang tidak seragam itu baik. Perlu saat ini membangun minat masyarakat untuk mau mengkonsumsi tempe yang kuningnya tidak ngejreng begitu, karena sunnatullah-nya kedelai tropis itu tidak seragam, dan justru kandungan gizi kedelai kita lebih baik dan lebih sehat,” tutupnya.

Related News