• 29 November 2024

Jalan Panjang menuju Swasembada Gula

uploads/news/2021/01/jalan-panjang-menuju-swasembada-55317b8b2b3c57a.jpg

Oleh karena itu, swasembada ini tidak akan bisa dicapai meski dikerjakan hingga sepuluh tahun ke depan, Indonesia tidak akan sanggup.”

JAKARTA - Gula pasir atau gula tebu termasuk salah sumber pangan penting yang dibutuhkan masyarakat.

Menurut Prof. Dr. Nuri Andarwulan, pakar pangan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) University, kebutuhan gula konsumsi masyarakat Indonesia sekitar 6,5 juta ton per tahun, sementara produksi dalam negeri hanya mampu mencapai 2,3 juta ton.

Sehingga, demi mencukupi kebutuhan konsumsi, pemerintah Indonesia melakukan impor sebanyak 4,2 juta ton.

Baca juga: Molases Tebu Atasi Kelangkaan Alkohol

Di sisi lain, pemerintah memiliki rencana untuk swasembada gula.

Jika dilihat dari fakta dan data yang ada, mampukah Indonesia melakukan swasembada?

Lalu, upaya apa yang dapat dilakukan?

Prof. Nuri Andarwulan mengatakan, jika ingin swasembada gula, pemerintah harus punya program yang masif dan komprehensif, produksi harus digenjot luar biasa.

Di Indonesia, hanya ada tiga industri yang mampu memproduksi gula dengan kualitas yang baik dari 41 industri yang ada.

Nah, hal lain yang perlu dipikirkan yaitu, kebutuhan bibit unggul tanaman tebu yang menghasilkan produktivitas tinggi dan tahan kekeringan dan yang lebih penting lagi adalah ketersediaan lahan.

Oleh karena itu, swasembada ini tidak akan bisa dicapai meski dikerjakan hingga sepuluh tahun ke depan, Indonesia tidak akan sanggup. Untuk mengeluarkan izin bibit unggul transgenik pun membutuhkan 10-15 tahun,” ujarnya dalam keterangan resmi IPB University.

Varietas tanaman tebu unggul transgenik tahan kekeringan sudah mendapatkan izin di tahun 2019 dan harusnya ada program menanam, namun saat ini ada pandemi. Selain itu, kebutuhan akan lahan tahan kering juga menjadi tantangan. Harus pula dipikirkan teknologi pertaniannya, juga pabrik gula dengan  teknologi yang memadai untuk menghasilkan gula yang dengan kualitas mutu yang bagus atau setara gula impor,” tambahnya.

Terkait produk gula yang beredar di Indonesia, ia menyebut, gula banyak sekali jenisnya, akan tetapi yang telah memiliki Standar Nasional Indonesia (SNI) ada tiga.

SNI raw sugar, SNI untuk gula kristal putih dan SNI untuk gula putih rafinasi.

Selain itu, gula putih rafinasi dalam kebijakan Indonesia tidak boleh dijual untuk ritel, akan tetapi untuk kebutuhan industri, namun dengan sistem business to business (B to B).

Sementara itu, gula kristal putih mewadahi hasil produsen dalam negeri, gula jenis ini menurutnya boleh dijual retail termasuk di dalamnya untuk usaha kecil menengah (UKM).

Fakta di lapangan, gula kristal putih rafinasi juga disukai oleh retail dan juga UKM karena warna lebih putih dan kualitas lebih bagus, sehingga pengawasan kebocoran atau penjualan gula rafinasi ke pasar merupakan pekerjaan yang tidak sederhana,” tuturnya.

Untuk itu, program swasembada gula pasir seharusnya tidak menjadi kebijakan sesaat atau kebijakan lima tahunan.

Akan tetapi harus menjadi kebijakan jangka panjang, karena dilihat dari simpulnya yang berhubungan dengan hulu hingga hilir.

Baca juga: Manisnya Gula Cair dari Singkong

Mulai dari bibit, lahan, dan upgrading teknologi yang jika dilakukan tentu dengan biaya tidak sedikit.

Sementara, saat ini gula produk impor jauh lebih murah dari produksi dalam negeri.

Brasil dan Thailand bisa ekspor, karena negara tersebut sudah menerapkan budidaya dan teknologi proses yang efisien,” imbuhnya.

Related News