Perlunya Kedelai Estate di Indonesia
“Tentu di dalam menjalankan operasinya, estate kedelai ini perlu didukung sejumlah besar sumberdaya manusia, semua itu membutuhkan investasi yang tidak sedikit.”
JAKARTA - Meningkatnya harga kedelai impor menjadi kabar tidak baik bagi masyarakat Indonesia, yang gemar mengkonsumsi tahu dan tempe.
Harga kedelai lokal yang lebih mahal dibandingkan dengan kedelai impor, menyebabkan pengrajin tahu dan tempe lebih memilih produksi dengan kedelai impor.
Hal ini berakibat fatal, karena harga yang tidak dapat dikendalikan dapat menekan produsen tahu dan tempe lokal.
Baca juga: Cara Mendongkrak Produksi Kedelai Nasional
Melihat hal tersebut dosen dari Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan (ITSL), Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) University, Dr. Basuki Sumawinata turut memberikan pandangannya.
"Volume impor biji kedelai saat ini sudah demikian besar yakni 3.6 juta ton. Maka diperlukan lahan yang skalanya ratusan ribu atau juta hektar. Sementara itu, produksi kedelai Indonesia saat ini rata-rata berkisar 1.5 ton per hektar, berbeda dengan Amerika Serikat (AS) yang produksi kedelainya rata-rata 3 ton per hektar," ujar dosen yang juga Pengurus Pusat Himpunan Masyarakat Gambut Indonesia (HGI) ini dalam keterangannya.
Menurutnya, lahan pertanian di Pulau Jawa sudah tidak bisa dikembangkan lagi, sehingga perlu pengembangan kedelai estate yang mau tidak mau harus dilakukan di luar Pulau Jawa, dalam hal ini baru direncanakan di Sumatera dan Kalimantan.
Sementara itu, ada kendala berupa tanah yang masam serta lahan dengan tingkat kerawanan tinggi, yang menyebabkan kedelai memerlukan investasi yang jauh lebih besar dan kondisi produksi tidak optimal.
"Tentu di dalam menjalankan operasinya, estate kedelai ini perlu didukung sejumlah besar sumberdaya manusia, semua itu membutuhkan investasi yang tidak sedikit. Barangkali pemilihan pola tanam yang tepat dapat menghasilkan profit yang optimal yang memungkinkan estate ini tetap bertahan,” terangnya.
Ia juga menyebut, kedelai membutuhkan lama penyinaran yang cukup, maka pemilihan lokasi menjadi sangat penting.
Hal tersebut terjadi karena Indonesia merupakan negara tropis yang sering berawan, sehingga lama penyinarannya lebih pendek dibanding AS.
Karena itu, produksi kedelai di Indonesia pun belum bisa optimal.
Selain itu, hal lain yang perlu diketahui yaitu kelerengan lahan perlu dipilih dengan baik.
Hal ini karena kedelai yang akan dikembangkan secara skala estate tentu harus dipikirkan sejak awal, jika lahan tersebut akan dikerjakan secara mekanisasi.
Pekerjaan mengolah tanah, menanam benih, pemupukan sampai perawatan tanaman seperti pengendalian hama, serta pemanenan juga harus dikerjakan secara mekanisasi.
Begitu juga dengan sarana irigasi, yang perlu direncanakan untuk menghindari bahaya kekeringan.
Mengenai masalah kesuburan tanah, ada beberapa langkah awal produksi yang perlu ditangani sejak dini.
Yaitu masalah pH dan keracunan aluminium pada tanah.
Baca juga: Budidaya Kedelai demi Swasembada
Hal ini menurutnya, disebabkan tanaman kedelai termasuk tanaman yang peka terhadap keracunan aluminium.
Karena itu, tindakan meredam pengaruh buruk dari ion air tersebut perlu dilakukan, yaitu dengan cara mengendapkannya.
"Pemberian sisa tanaman, kompos pada lahan adalah tindakan yang harus dilakukan secara terus menerus. Selain itu, pemupukan nitrogen, fosfor, kalium serta unsur hara mikro perlu terus menerus dievaluasi, baik dari tanah maupun pada fase penanaman untuk mendapatkan hasil optimum," tutupnya.