“Penilaian manfaat lahan gambut tidak boleh hanya dilihat dari fungsi produksi atau fungsi ekonomisnya saja, tapi juga harus dilihat dari fungsi ekologisnya.”
JAKARTA - Lahan gambut Indonesia kerap terbakar dan makin rentan dalam tekanan perubahan iklim.
Salah satunya disebabkan, karena praktik bisnis yang tidak ramah lingkungan di lahan gambut.
Saat ini, masyarakat, pemerintah, ilmuwan, dan konservasionis bahu membahu membangun rencana berkelanjutan untuk lahan gambut.
Baca juga: Lahan Gambut untuk Produksi Pangan
Karena itu, International Trade Analysis and Policy Studies (ITAPS) Institut Pertanian Bogor (IPB) University bekerjasama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim (P3SEKPI) Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BLI), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), mencoba merumuskan model bisnis ketahanan pangan yang mendukung pengelolaan ekosistem gambut berkelanjutan di Provinsi Kalimantan Tengah.
Tim peneliti ITAPS IPB University, yang terdiri dari Dr. Widyastutik; Dr. Sahara; Dr. Suria Tarigan; Dr. Novindra; Farida Ratna Dewi, MM; Irza Ridwan, MSi; Dewi Setyawati, MSi; dan Siti Riska UH, SE; memutuskan untuk fokus meneliti lahan gambut di Kabupaten Pulang Pisau, tepatnya di lima desa, yakni Buntoi, Mantaren I, Garung, Pilang, dan Gohong.
“Penilaian manfaat lahan gambut tidak boleh hanya dilihat dari fungsi produksi atau fungsi ekonomisnya saja, tapi juga harus dilihat dari fungsi ekologisnya. Pada lahan gambut, tidak boleh semata-mata memaksimumkan produksi tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap jasa lingkungan lain seperti simpanan karbon dan kekayaan keragaman hayati (Kehati),” kata salah satu peneliti ITAPS IPB University, Novindra dalam keterangan resmi IPB University.
Bersama Suria Tarigan, ia kemudian meneliti valuasi ekonomi kerusakan lahan gambut berdasarkan empat komoditas pemanfaatannya, yaitu penggunaan lahan gambut dengan tanaman hutan atau paludikultur, agroforestry atau karet, tanaman sawit, serta tanaman pangan dan hortikultura.
Hasil penelitian mereka menunjukkan, tanaman perkebunan dan pertanian masyarakat pada lahan gambut semisal tanaman hortikultura dan padi, membutuhkan adanya drainase lahan gambut.
Adanya drainase tersebut akan mengakibatkan terjadinya emisi karbon dari lahan gambut.
Emisi terbesar juga terjadi akibat pemanfaatan lahan gambut dengan sawit, yang diikuti oleh penggunaan lahan gambut untuk hortikultura dan padi, kemudian agroforestry atau karet.
“Secara finansial, tanaman sawit memberikan keuntungan yang paling besar, namun karena perkebunan sawit membutuhkan drainase jika ditanam pada lahan gambut maka biaya lingkungan akibat emisi yang terjadi akan mengakibatkan biaya sosial karbon yang tinggi,” jelasnya.
Biaya sosial karbon yang tinggi itu, lanjut Novindra, dalam jangka pendek hingga jangka panjang, usaha perkebunan kelapa sawit di lahan gambut, menyebabkan kerugian ekonomi.
Begitu juga dengan usaha perkebunan karet atau agroforestry yang menyebabkan kerugian ekonomi, namun paling rendah dibandingkan perkebunan sawit dan usaha tani padi dan hortikultura.
Berbeda dengan usaha pertanian dengan metode paludikultur, menurutnya, secara finansial memberikan nilai tambah yang paling rendah, namun dalam jangka pendek hingga jangka panjang memberikan manfaat ekonomi yang paling besar.
Baca juga: Mencari Solusi Permanen Atasi Karhutla
Hal itu dikarenakan tidak menghasilkan emisi karbon atau menyerap karbon dan menurunkan biaya sosial karbon.
Dosen IPB University dari Divisi Ekonomi Pertanian, Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan ini menyatakan, jika manfaat finansial penggunaan lahan gambut dan biaya kerusakan dari pemanfaatan lahan gambut dikombinasikan, maka dalam jangka pendek hingga jangka panjang usaha tanaman paludikultur memberikan manfaat ekonomi yang paling besar dibandingkan agroforestry, padi dan hortikultura.
“Oleh karena itu, pemerintah perlu terus memfasilitasi masyarakat di lahan gambut, dalam melaksanakan usaha pertanian yang memberikan manfaat ekonomi paling besar dalam jangka pendek hingga jangka panjang. Yaitu usaha pertanian dengan metode paludikultur, seperti tanaman rotan, tanaman jelutong, kelakai, dan purun,” pungkasnya.