“Di alam jumlah mikroorganisme sangatlah banyak, bahkan lebih banyak dari yang manusia ketahui.”
JAKARTA - Di dunia ini, manusia selalu berdampingan dengan mikroorganisme atau mikroba.
Mikroorganisme atau mikroba sendiri merupakan organisme yang berukuran sangat kecil (dalam ukuran mikron), sehingga untuk mengamatinya diperlukan alat bantu.
Mikroorganisme banyak macamnya, diantaranya virus, bakteri, protozoa dan jamur mikroskopis.
Bentuk mereka juga bermacam-macam, virus ada yang berbentuk seperti bola atau bulat, tabung, dan ada juga yang seperti robot.
Baca juga: Trenggiling, Mamalia Terduga Pembawa Virus
Sedangkan bakteri, biasanya uniseluler atau bersel tunggal dengan berbagai variasi bentuk.
“Di alam, jumlah mikroorganisme sangatlah banyak, bahkan lebih banyak dari yang manusia ketahui,” ucap peneliti dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Sugiyono Saputra dalam keterangan tertulis belum lama ini.
Sugiyono menyatakan, untuk dapat melihat bakteri, dapat menggunakan bantuan mikroskop cahaya.
Tetapi, untuk dapat melihat virus, membutuhkan mikroskop elektron, karena ukuran virus yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan ukuran bakteri.
Apalagi, ukuran virus terbesar pun masih lebih kecil dari ukuran bakteri terkecil.
“Sebagai gambaran, mikroskop cahaya memiliki perbesaran hingga 2.000 kali, sedangkan mikroskop elektron tercanggih memiliki hingga lebih dari 1.000.000 kali perbesaran,” ungkapnya.
Sugiyono menjelaskan, meski banyak jenis mikroorganisme yang menyebabkan penyakit atau bersifat patogen, namun mikroorganisme yang menguntungkan juga jauh lebih banyak dan mereka memiliki peranan penting dalam tubuh inang dan lingkungan.
Walaupun begitu, manusia sering bersinggungan dengan bermacam-macam mikroba, namun tidak semuanya dapat menimbulkan penyakit.
Seperti virus, yang harus memiliki kecocokan reseptor dengan sel inang sebelum dapat menginfeksi dan menimbulkan penyakit.
Jika tidak ada kecocokan reseptor, maka mereka tidak bisa menginfeksi inangnya.
Terkait dengan timbulnya penyakit zoonosis, dirinya menjelaskan, salah satunya dipicu oleh ketidak seimbangan ekosistem di alam sebagai akibat dari deforestasi, penambangan, dan perburuan satwa liar.
Rusaknya habitat dan makin intensnya kontak manusia dengan satwa liar inilah yang memicu ekspansi satwa liar ke populasi manusia, sehingga makin meningkatkan risiko transmisi mikroorganisme yang dibawa oleh satwa liar tersebut.
“Salah satu pemicu timbulnya yang saat ini menjadi concern kita bersama adalah kebiasaan berburu satwa liar seperti ular, kelelawar, trenggiling untuk konsumsi dan obat tradisional. Kontak langsung dengan mereka adalah titik berbahaya dimana patogen berbahaya yang mereka bawa bisa saja ditularkan ke manusia,” tuturnya.
“Zoonosis merupakan ancaman bagi kesehatan manusia secara global. Diketahui sekitar lebih dari 60% penyakit infeksi di dunia merupakan zoonosis. Dari sekitar lebih dari 1.400 patogen, lebih dari 200 diantaranya merupakan virus dan lebih dari 500 diantaranya merupakan bakteri,” lanjutnya.
Baca juga: Mengenal Kelelawar, Si Pembawa Penyakit
Sugiyono juga menjelaskan, salah satu contoh dari penyakit yang merupakan zoonotic origin yaitu ebola, virus yang berasal dari kelelawar, demikian juga SARS-CoV-2 yang merupakan penyebab COVID-19.
Karena itu, menurutnya kemunculan penyakit infeksi baru merupakan suatu kemungkinan di masa depan dan manusia harus bersiap-siap untuk itu.
Dikarenakan kebanyakan penyakit infeksi tersebut merupakan zoonosis, maka sudah sepantasnya manusia meminimalisir risiko kemunculannya dengan cara, menjaga kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan.
“Keseimbangan ekosistem harus tetap dijaga, terutama populasi satwa liar yang membawa patogen berbahaya agar tetap berada dalam habitatnya, agar mikroorganisme berbahaya yang dibawanya tersebut tidak bertransmisi ke manusia,” pungkasnya.