“Samia memiliki warna yang lebih bervariasi dengan corak yang sangat beragam.”
JAKARTA - Jika berbicara ulat sutera, tentunya yang terbayang Sahabat Tani yaitu ulat putih halus dengan kokon (kepompong) putihnya yang kompak dari jenis Bombyx mori.
Bayangan ini tentunya tidak salah, karena jenis ulat sutera ini yang pertama dikenal sebagai ulat sutera budidaya dan produk suteranya memenuhi lebih dari 90% kebutuhan sutera dunia berdasarkan data dari International Sericultural Commission (Inserco).
Dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) University dari Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (IPTP), Fakultas Peternakan, Dr. Yuni Cahya Endrawati mengatakan, dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, hingga saat ini telah banyak jenis-jenis ulat sutra lainnya yang berhasil diidentifikasi.
Baca juga: Semut Rangrang Pendulang Uang
“Hasil identifikasi peneliti ulat sutra Ye & Hu pada tahun 1996, telah didapatkan lima famili sebagai keluarga dalam ulat sutera. Dapat dibayangkan jika dalam satu famili saja ada puluhan bahkan ratusan spesies selain jenis Bombyx mori,” ujar Yuni.
Ia melanjutkan, meskipun banyak jenis ulat sutera di dunia ini, namun hanya beberapa jenis saja yang sudah didomestikasi dan dibudidayakan untuk menghasilkan sutra.
Salah satu spesies yang dikembangkan dan menghasilkan sutera dengan karakteristik yang khas dan eksotis adalah Samia cynthia ricini yang masuk dalam family Saturniidae.
Ulat samia memang bukanlah asli Indonesia, sberasal dari India.
Ulat ini juga sangat berbeda dengan ulat bombyx, jika dilihat dari segi warna dan juga bentuk kokonnya.
“Samia memiliki warna yang lebih bervariasi dengan corak yang sangat beragam. Diketahui ada beberapa variasi warna samia. Di antaranya kuning, toska, biru, abu-abu dan putih dengan corak polos (plain), bintik hitam (spotted) dan zebra. Begitu juga dengan kokonnya yang berwarna-warni di antaranya putih, krem dan merah bata,” terangnya.
Variasi warna itu, lanjutnya, terjadi karena ulat ini dipelihara di tempat yang berbeda geografi, ketinggian, dan juga jenis pakannya.
“Jadi ulat samia yang dipelihara pada lokasi yang berbeda lingkungan fisik dan biologinya, dapat menghasilkan perbedaan fenotipiknya. Oleh karenanya, ada variasi warna ulat samia di Indonesia dan di negara asalnya, begitu juga dengan tingkat produktivitasnya,” imbuhnya.
Karakteristik produk sutera yang dihasilkan oleh ulat samia, tambahnya, memang sangat berbeda dengan ulat bombyx.
Jenis sutera yang dihasilkan oleh ulat bombyx memang lebih halus, namun sutera yang dihasilkan oleh ulat samia lebih eksotis dan sangat cocok untuk produk fashion kekinian.
Produk sutra yang khas ini dan dikombinasikan dengan cara pewarnaan yang menggunakan bahan alami, menghasilkan kain yang mewah, eksotis dan ramah lingkungan.
Tak hanya menghasilkan sutra untuk berbagai produk fashion modern, ulat samia juga dapat diolah menjadi produk kosmetik berbahan alami.
Sementara itu, pupanya bisa dijadikan pakan ternak maupun pangan manusia.
Hanya saja, pengembangan ulat samia di Indonesia masih menemui kendala, terutama terkait dengan teknik budidaya dan juga pasca panennya.
Yuni mengakui, ada banyak hal yang perlu dibenahi untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas sutera yang dihasilkan oleh ulat samia ini.
Baca juga: Waspada Hama Ulat Grayak
“Oleh sebab itu pengembangan ulat sutera jenis samia di Indonesia harus melibatkan banyak pihak termasuk perguruan tinggi, baik dari sisi budidaya maupun pasca panennya. Perlu ada tekad kuat untuk mengenalkan dan mengembangkannya, mengingat potensi dan prospek ekonomi yang luar biasa jika ditangani dengan serius,” kata Yuni.
Saat ini, Departemen IPTP, IPB University, telah menjalin kerjasama dengan Jantra Mas Sejahtera (Jamtra) untuk pengembangan budidaya dan teknologi pasca panen ulat samia.
Jamtra sendiri merupakan salah penggiat ulat samia yang telah aktif membina banyak pencinta ulat samia, agar dapat maju dan berkembang di tengah keterbatasan yang ada.
Yuni juga berharap nantinya semakin banyak lagi peran dari berbagai pihak demi memajukan persuteraan nasional.