Mengenal Sugentan, Si Kedelai Super
Jika Argomulyo rata-rata baru dapat dipanen saat umur 86-87 hari, maka Sugentan sungguh super genjah karena hanya perlu waktu 67-68 hari agar bisa dipanen.
JAKARTA - Kedelai merupakan salah satu bahan pangan yang sangat dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.
Ditambah, kedelai terkait erat dengan makanan yang banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia, yaitu tempe, tahu, dan kecap.
Mengutip Pusat Data dan Informasi Pertanian milik Kementerian Pertanian (Kementan), rata-rata setiap tahunnya kebutuhan kedelai di Indonesia mencapai 2.800.000 ton.
Hal ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat konsumsi kedelai terbesar di dunia.
Baca juga: Menanti Tempe dari Kacang Tunggak
Namun, kebutuhan kedelai nasional masih dipasok dari impor.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), impor kedelai Indonesia sepanjang semester pertama 2020 mencapai 1.270.000 ton senilai USD 510.200.000 atau sekitar Rp 7,24 triliun pada kurs Rp 14.200 per dolar.
Amerika Serikat menjadi pemasok utama kedelai impor dengan jumlah 1.140.000 ton.
Pasokannya lainnya datang dari Brasil, Uruguay, dan Kanada.
Masih tingginya angka impor dapat terjadi lantaran produksi kedelai nasional masih berkutat di bawah 1.000.000 ton per tahun.
Pada periode 2015-2019, produksi kedelai nasional tumbuh rata-rata 2,3%.
Produksi tertinggi pada 2018 sebesar 982.500 ton disusul 2015 dengan 963.100 ton.
Sedangkan produksi terendah terjadi di 2019 ketika hanya mampu menghasilkan tak lebih dari 490.000 ton.
Menurut Forum Tempe Indonesia, produktivitas kedelai lokal pernah mencapai kejayaannya pada 1992.
Saat itu, Indonesia berswasembada kedelai dengan produksi nasional menyentuh angka 1.800.000 ton setahunnya.
Menurut Guru Besar Bidang Pangan, Gizi, dan Kesehatan IPB University Made Astawan, saat ini tingkat produktivitas kedelai lokal masih berkisar 1,5-2 ton setiap hektarnya.
Sedangkan pada lahan dengan luas sama, produksi kedelai di AS bisa sebesar 4 ton.
Faktor utama lebih tingginya produksi di AS, karena tanaman kedelai mendapat penyinaran matahari hingga 16 jam per hari.
Secara fisiologis, jam penyinaran matahari yang panjang itu membuat ukuran biji kedelai menjadi lebih besar.
Maka, kedelai impor itu umumnya ditandai oleh ukuran bijinya yang jauh lebih besar ketimbang kedelai lokal.
Langkah impor merupakan upaya tercepat yang dilakukan pemerintah untuk memenuhi permintaan masyarakat akan kedelai sebagai sumber protein nabati yang murah.
Namun, kemandirian dan kedaulatan pangan merupakan hal yang tetap perlu dilakukan agar tidak ada lagi ketergantungan terhadap kedelai impor.
Varietas Unggul Sugentan
Agar kedelai lokal bisa kembali menjadi tuan di rumahnya sendiri, beberapa upaya pun dilakukan, termasuk mengembangkan varietas-varietas unggulan lokal.
Seperti yang dilakukan oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), yang ikut berupaya membantu peningkatan produktivitas kedelai nasional melalui pengembangan varietas kedelai unggulan.
Dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 61 Tahun 2011 disebutkan, varietas unggul merupakan benih yang telah melewati fase pengembangan dan memiliki keunggulan dibandingkan varietas yang ada sebelumnya.
Dalam keterangannya belum lama ini, Kepala Batan, Anhar Riza Antariksawan, melalui Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi (PAIR), sebanyak 14 varietas unggul benih kedelai sudah dihasilkan dengan memanfaatkan teknologi nuklir radiasi gamma.
Batan pun mendapat dukungan penuh dari lembaga atom internasional (IAEA), melalui program kerjasama teknik untuk membantu peningkatan produksi pertanian berbasis teknologi nuklir.
Sebanyak 5 ton benih kedelai super berhasil diproduksi Batan sejak 2018 dan disalurkan kepada petani-petani di tanah air.
Benih-benih unggul tersebut berasal dari varietas Anjasmoro, Grobogan, dan Mutiara 1.
Ada pula varietas Kemuning 1 dan Kemuning 2 serta Sugentan 1 bersama Sugentan 2.
Varietas unggul Sugentan 1 dan Sugentan 2 merupakan hasil perbaikan varietas yang telah ada sebelumnya, yakni Argomulyo.
Dengan penyinaran radiasi gamma pada dosis 250 gray, didapatkan varietas baru yang mempunyai karakter lebih baik dibandingkan varietas induknya.
Termasuk ukuran biji yang lebih besar dan jumlah biji dalam polong lebih banyak.
Kedelai Sugentan sendiri merupakan singkatan dari ‘Super Genjah Batan.’
Kedelai super ini mempunyai beberapa keunggulan, seperti masa tanam terhitung pendek atau masa genjah tak sampai 80 hari.
Menurut peneliti PAIR Batan, Arwin, Sugentan jauh lebih cepat panen dibandingkan induknya, Argomulyo.
Jika Argomulyo rata-rata baru dapat dipanen saat umur 86-87 hari, maka Sugentan sungguh super genjah karena hanya perlu waktu 67-68 hari agar bisa dipanen.
Selain itu, Sugentan juga memiliki keunggulan seperti, usia matang kedelai yang lebih cepat dan produktivitas yang tinggi di tiap hektar lahannya.
Hal ini pun menjadi salah satu komponen penting yang dipertimbangkan petani dalam menanam kedelai, karena terkait dengan biaya produksi.
“Produktivitas Sugentan juga lebih tinggi yakni 3,01 ton per hektar dengan rata-rata 2,5 ton per hektar. Sedangkan induknya pada kisaran 2,2 ton sampai 2,4 ton tiap hektar,” kata Arwin.
Ia juga mengatakan, duet kedelai super Sugentan 1 dan Sugentan 2 sebagai varietas yang tahan terhadap penyakit karat daun, hama pengisap polong, dan hama ulat grayak.
Baca juga: Cara Mendongkrak Produksi Kedelai Nasional
Kedelai super genjah ini menurutnya juga cocok ditanam di lahan sawah atau tegalan.
Apalagi, proses penelitian dan pengembangan kedelai super ini telah dilakukan pada 2012.
Uji tanam juga telah dilakukan pihak Batan pada enam lokasi, yakni Sumatra Selatan, Sulawesi Selatan, Maluku, Bogor, Yogyakarta, dan di Citayam sebanyak dua lokasi.
Dari ketujuh lokasi tersebut, sebagian besar menunjukkan hasil yang baik, kecuali di Maluku yang hasilnya termasuk dalam kategori sedang.