Beberapa petani anggur dari Kelurahan Boyaoge, Kecamatan Tatanga, Kota Palu, ingin membawa kembali kejayaan wilayahnya sebagai penghasil anggur.
PALU - Belasan tahun lalu, Kelurahan Boyaoge, Kecamatan Tatanga, Kota Palu, dulu sempat terkenal dengan wilayah penghasil buah anggur. Saat itu, budidaya buah tersebut sempat digeluti oleh sebagian besar warga. Jadi, tidak heran jika di wilayah yang berdekatan dengan kawasan eks likuifaksi Kelurahan Balaroa, Kecamatan Palu Barat itu dinamakan Jalan Anggur.
Namun, beberapa tahun terakhir ini minat bertani anggur di kawasan itu kian meredup, siring beralihfungsi lahan pertanian warga yang menjadi lokasi pemukiman. Saat ini, hanya terlihat beberapa warga saja yang masih memiliki kebun anggur.
Ridwan dan Wagisugiono merupakan petani anggur yang masih eksis hingga saat ini. Kedua pria tersebut masih mempertahankan kebun anggur milik mereka meski sudah memiliki pekerjaan lain. Walau begitu, di tengah lesunya minat para warga untuk bertani anggur di sekitar Jalan Anggur, ternyata menjadi peluang emas dengan pasar yang cukup menjanjikan.
Sebab, kualitas rasa buah anggur di wilayah itu sudah terkenal di Kota Palu, hingga sebagian besar pedagang buah di Kota Palu buah anggur memesan dari kawasan itu. Bahkan, untuk memasarkannya pun para petani anggur mengaku tidak kesulitan. Karena biasanya pedagang buah ecer mengambil langsung ke sejumlah petani anggur.
"Kita juga layani pembelian bagi warga yang ingin membeli langsung di sini (rumah, red)," terang Ridawan.
Untuk harga, Ridwan mengaku biasa menjualnya Rp50 ribu per kilogram. "Paling tinggi kami jualnya Rp50 ribu per kilogram, bisa di bawah harga semestinya jika kualitasnya kurang," kata pria yang juga berprofesi sebagai guru itu.
Sama halnya dengan Wagisugiono, petani anggur di Jalan Anggur IV. Sejak sebulan lalu, dia mulai memanen hasil kebun anggurnya yang kini berusia satu tahun dan memiliki 16 pohon anggur yang ditanaminya tepat di samping rumah. Wagisugiono juga mengaku jika ia mengelola kebun anggur miliknya itu dibantu ayah mertuanya, yang juga merupakan petani anggur pertama di kawasan Jalan Anggur itu.
Biasanya, di kebun miliknya, satu pohon miliknya bisa menghasilkan hingga 25 kilo per pohonnya. Anggur tersebut juga bisa dipanen sekitar empat bulan setelah pemangkasan. "Jika panen, satu pohon bersihnya kita dapat Rp1 juta, tinggal dikalikan berapa pohon yang kita tanam," tutur Wagisugiono.
Menurut Wagisugiono membudidayakan anggur merupakan pekerjaan yang gampang-gampang susah. Terutama, pada saat perawatan awal penanaman. Anggur harus mendapatkan perhatian khusus, karena hasilnya tergantung perawatan awal. Jika tidak, maka pertumbuhan pohon anggur akan bermasalah. Perawatan sejak ditanam, yakni sejak awak penggunaan pupuk organik sampai pada pemotongan pohon induk di waktu-waktu tertentu.
"Sedikit manja perawatan pohon anggur ini, tidak susah, tapi harus selalu dalam pemantauan," ujarnya.
Pada usia delapan bulan, harus dilakukan pemangkasan semua daun pohon anggur. Tindakan itu untuk mempersiapkan pertumbuhan tunas pohon baru yang diikuti buah, setelah beberapa minggu paskaa pemangkasan akan tumbuh daun dan diikuti buah anggur.
Ridwan dan Wagisugiono sesepakat menyatakan jika hasil bertani anggur di Kota Palu memang benar menjanjikan. Sebab, hampir rata-rata sekali panen, bisa meraup omset lebih dari Rp10 juta. Mereka mengaku akan terus mempertahankan lahan perkebunan anggur mereka meski kini marak alih fungsi lahan di kawasan itu.
Selain itu, para petani anggur ini mengaku masih kesulitan untuk memasarkan anggur ke daerah lain seperti Kabupaten Donggala dan Kabupaten Parigi Moutong. Selain karena ilmu pemasaran mereka yang masih minim, sejumlah petani anggur ini juga belum punya koneksi di daerah lain.
Namun, mereka terus berharap pemerintah setempat bisa membantu petani anggur untuk pemasaran luar daerah Kota Palu. Termasuk, menembus pasar modern seperti swalayan, restoran, hotel, hingga home stay. Sebab, kualitas anggur di petani Kelurahan Boyaoge itu sangat memenuhi syarat untuk dijual di pasar modern.
"Kalau ke swalayan belum ada, (karena) kita terkendala sertifikasi pangan," tutup Wagisugiono. (FS)