Perlunya Perikanan Berbasis Ilmu Pengetahuan
“Maka untuk itu, setidaknya pembangunan perikanan kelautan harus dalam framing industri perikanan dan kelautan yang berkemajuan.”
JAKARTA - Dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) University dari Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Dr. Yonvitner menyebut pembangunan perikanan dan kelautan harus dilakukan dalam frame ekonomi yang kuat dan berbasis ilmu pengetahuan.
“Menjadi besar dan penghela ekonomi bangsa perlu energi besar bagi perikanan kelautan ke depan. Maka untuk itu, setidaknya pembangunan perikanan kelautan harus dalam framing industri perikanan dan kelautan yang berkemajuan,” ujar Yonvitner dalam keterangannya.
Untuk mencapai itu semua, lanjutnya, harus dimulai dengan penyediaan data yang presisi, sumber daya manusia yang mumpuni, dan teknologi yang adaptif.
Baca juga: Pekerjaan Rumah Besar Ekonomi Perikanan
Menurutnya, sektor perikanan dan kelautan butuh seorang pemimpin yang cakap, kuat, tegas, dan memiliki ketajaman visi ekonomi serta humble dengan nelayan.
“Presiden harus memahami ini, kalau benar-benar ingin membangun dan memajukan sektor perikanan dan kelautan sebagai prime mover ekonomi bangsa,” kata Yonvitner yang juga Kepala Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB University ini.
Ia pun menyinggung potensi perikanan dan kelautan yang belum dimanfaatkan secara maksimal.
Menurutnya, ada lebih dari 12.500.000 ton potensi perikanan dan kelautan nasional.
Bahkan, diperkirakan potensi ini bisa lebih besar lagi apabila praktik illegal fishing, transhipment, kerusakan karang dan mangrove, serta degradasi lingkungan berkurang dan dihilangkan.
Namun, angka tersebut seakan menjadi misteri karena pendugaan dan realitas yang sangat jauh perbedaannya.
“Berapa jumlah yang bisa ditangkap, dan berapa jumlah kapalnya yang dapat diizinkan masih belum mampu dijawab oleh potensi tersebut. Seolah ada keraguan jika penilaian yang dilakukan overshot atau undershot ketika izin diberikan,” imbuhnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, apabila ke depan industri penangkap perikanan dibangun dengan multi spesies maupun single spesies, intervensi kebijakan perizinan kapal harus terukur.
“Jangan sampai ketika izin diberikan, malah kita masih kesulitan bahan baku untuk 6.500-an UMKM dan 630-an industri perikanan kita,” tegasnya.
Menurutnya, fenomena saat ini dihadapi, katanya, yaitu tidak kunjung membaiknya kesejahteraan nelayan dan pembudidaya ikan.
Hal itu menjadi indikator, bahan baku sebenarnya tidak begitu besar atau nelayan yang sekarang beroperasi tidak mampu menangkap.
Karena, lanjutnya, secara logika ketika potensi membaik, tanpa menambah upaya, maka hasil tangkapan nelayan eksisting tidak akan meningkat begitu juga kesejahteraan.
Baca juga: Cara Mengembangkan Budidaya Lobster Nasional
“Jika peningkatan nilai tukar nelayan yang dijadikan indikator kesejahteraan yang digambarkan naik, memaksa kita harus melakukan kroscek ke lapangan secara lebih baik. Apakah realitas nilai tukar sama dengan pendapatan atau bagi hasil yang diperoleh nelayan? Mungkin kita bisa menggunakan indikator keterpenuhan KHM (kebutuhan hidup minimum) daripada nilai tukar untuk menggambarkan nelayan sejahtera,” jelas Yonvitner.
Keraguan lainnya yang ia rasakan yaitu ketika online single submission (OSS) yang digambarkan dapat membantu investasi perikanan yang selesai 1-2 hari.
Namun nyatanya, proses verifikasi secara teknis tetap menjadi kendala.
“Akibatnya industri perikanan kita tetap mengalami kekurangan bahan baku karena terbatasnya armada perikanan untuk menangkap potensi besar tadi. Jika fenomena impor masih terjadi di tengah potensi yang berlimpah, ini menjadi tanda tanya besar bagi kita. Ke mana sesungguhnya arah pembangunan perikanan akan diarahkan?” pungkasnya.