Menjaga Ketahanan Pangan lewat Bioteknologi
Selain sejalan dengan program Prioritas Riset Nasional (PRN), juga untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional dan makin meningkatkan kesejahteraan para petani di seluruh Indonesia.
JAKARTA - Beberapa tahun belakangan ini, lembaga-lembaga riset nasional mengambil peran penting untuk ikut mengembangkan penelitian dalam menciptakan bibit-bibit varietas unggul pertanian.
Seperti yang dilakukan para peneliti dari Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Sejak 2019, pusat penelitian bioteknologi yang berpusat di Cibinong, Bogor, Jawa Barat itu telah mengembangkan varietas-varietas produk pertanian unggulan.
Para peneliti dari lembaga riset yang didirikan pada 1967 itu telah berhasil mengembangkan tiga varietas padi gogo unggulan yaitu, Inpago LIPI Go1, Inpago LIPIGo 2, dan Inpago LIPIGo 4.
Baca juga: Empuknya Budidaya Beras Organik
Ketiga varietas tersebut, begitu perkasa berkembang di lahan kering dan mampu beradaptasi dengan lahan berkadar aluminium tinggi, di samping lahan dengan tingkat keasaman dengan pH 3.2.
Bukan itu saja, ketiga varietas baru dari padi gogo itu juga siap dipanen pada umur 110-113 hari setelah tanam.
Untuk padi varietas Inpago LIPIGo 1 tingkat produksinya mencapai 8,18 ton per hektar.
Lalu, Inpago LIPIGo 2 sebesar 8,15 ton per hektar.
Tidak sekadar dikembangkan dalam laboratorium penelitian Cibinong, padi gogo juga sudah melewati masa uji coba.
Dalam uji coba di Kabupaten Tabalong, Provinsi Kalimantan Selatan, varietas-varietas padi gogo hasil bioteknologi ini membuktikan kemampuannya.
Menurut peneliti LIPI, Enung Sri Mulyaningsih, hasil panen padi gogo lansiran LIPI mencapai 5,6-6,1 ton per hektar.
Ini jauh lebih tinggi dari varietas sejenis lainnya seperti padi gogo jenis lampung gajah, si buyung, dan maya.
Varietas-varietas lokal tersebut rata-rata hasil panennya hanya mencapai 4 ton per hektar di lahan yang sama.
Keperkasaan padi gogo milik LIPI juga dibuktikan di lahan kritis bekas kebun karet, ketika varietas unggul ini mampu menghasilkan 4,5 ton gabah kering panen (GKP).
Kondisi ini meningkat hingga 300% bila hanya memanfaatkan padi gogo varietas umum dengan hasil panen maksimal hanya 1,5 ton tiap hektar.
Padi nuklir Batan
Hal yang sama juga dilakukan Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) yang juga berhasil mengembangkan varietas tanaman pertanian unggulan lainnya pada akhir 2020.
Seperti halnya LIPI, Batan pun berhasil mengembangkan 25 varietas padi unggul dan produk tanaman pangan lain, seperti kacang hijau, kacang tanah, sorgum, dan gandum.
Selain itu, Batan juga mengembangkan risetnya untuk menghasilkan produk-produk unggulan berbasis radiasi nuklir, yaitu gamma Cobalt-60 dengan dosis 0,20 kilogray sebagai satuan radiasi yang aman untuk bahan makanan.
Radiasi mampu menembus biji tanaman sampai ke lapisan kromosom.
Struktur kromosom pada biji tanaman dapat dipengaruhi dengan sinar radiasi.
Perubahan struktur karena radiasi dapat menyebabkan terjadinya perubahan sifat tanaman dan keturunannya.
Fenomena ini untuk memperbaiki sifat tanaman agar mendapatkan biji tanaman dengan keunggulan tertentu, seperti tahan hama, tahan kekeringan, atau cepat panen.
Padi hasil radiasi nuklir ini aman sepenuhnya dan tidak ada unsur radioaktif yang tertinggal di dalam produk tersebut.
Kepala Batan, Anhar Riza Antariksawan meyakini, nuklir dapat bermanfaat bagi peningkatan produktivitas pertanian dan ekonomi masyarakat melalui penciptaan varietas-varietas tanaman unggulan.
Salah satu padi Batan ini yaitu jenis kahayan dan tropiko, berhasil dibudidayakan pada lahan seluas 200 hektar di Kecamatan Tugumulyo, Kabupaten Musi Rawas, Provinsi Sumatera Selatan, pada 2019.
Baca juga: Padi Organik dalam Keterbatasan Lahan
Waktu panen padi nuklir sendiri berkisar 110-115 hari atau lebih cepat dibandingkan padi pada umumnya.
Kepala Bidang Pertanian Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi Batan, Irawan Sugoro mengatakan, selain mampu bertahan tumbuh dan berkembang serta panen di lahan kering, padi-padi nuklir ini juga tahan terhadap hama wereng dan lebih tahan rebah.
Hal penting lainnya yaitu produksinya lebih tinggi, yaitu bisa menghasilkan 8,6 ton gabah kering giling (GKG) atau 7,38 ton GKG tiap hektarnya.
Apa yang telah dilakukan para peneliti dari lembaga-lembaga riset nasional itu, selain sejalan dengan program Prioritas Riset Nasional (PRN), juga untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional dan makin meningkatkan kesejahteraan para petani di seluruh Indonesia.