• 22 November 2024

Kembali Munculnya Burung Pelanduk Kalimantan

uploads/news/2021/03/kembali-munculnya-burung-pelanduk-8449262df1202ee.jpeg

Masih banyak hal yang dapat kita temukan dan kita gali informasinya terkait dengan burung pelanduk kalimantan.

JAKARTA - Satwa endemik burung pelanduk kalimantan (Malacocincla perspicillata) yang diduga mengalami kepunahan sejak 1848 atau 172 tahun yang lalu, kembali ditemukan.

Burung ini kembali dijumpai di Pulau Kalimantan tepatnya di Provinsi Kalimantan Selatan.

Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Wiratno, menyampaikan apresiasi dan terima kasih kepada para citizen science, yaitu masyarakat yang bukan peneliti namun sukarela mengumpulkan dan menganalisis data ilmiah.

Wiratno menyebutkan, satwa liar akan sejahtera sepenuhnya apabila hidup di alam habitatnya.

Baca juga: Bowerbird, Sang Arsitek dari Papua

Hal ini juga menegaskan jika pihaknya sangat memerangi perburuan ilegal satwa liar yang dilindungi.

Sementara itu, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati, KSDAE, Indra Eksploitasia juga mengapresiasi masyarakat di lapangan yang telah menemukan burung pelanduk kalimantan dan telah memasukkannya ke jurnal ilmiah, serta mengharumkan nama Bangsa Indonesia.

Indra melanjutkan, sesuai arah kebijakan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang Kebijakan Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa yang menyebutkan, apabila ingin memasukkan spesies ini ke dalam spesies yang ingin dilindungi yaitu jika telah memenuhi kriteria antara lain mempunyai populasi yang kecil, dan ada penurunan dalam jumlah yang tajam pada jumlah individu di alam, serta memiliki daerah penyebaran yang terbatas.

Seperti diketahui, burung pelanduk kalimantan tersebar di daerah hutan tropis dataran rendah daerah wilayah Kalimantan.

Terhadap jenis tumbuhan dan satwa ini yang memenuhi kriteria wajib melakukan upaya pengawetan, dalam hal ini melakukan kebijakan konservasi dalam hal untuk melakukan "full protection" atau dilindungi.

"Masih banyak hal yang dapat kita temukan dan kita gali informasinya terkait dengan burung pelanduk kalimantan. Beberapa informasi dapat kita jadikan dasar rujukan dengan bantuan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk memberikan rekomendasi sebagai scientific authority kepada management authority untuk memasukkan burung pelanduk kalimantan sebagai spesies yang dilindungi," terangnya.

Sementara itu, pejabat fungsional Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) Pertama, Balai Taman Nasional (TN) Sebangau, Teguh Willy Nugrohomenyatakan, burung pelanduk kalimantan yang ditemukan, sesuai dengan yang digambarkan oleh ahli ornitologi Prancis, Charles Lucien Bonaparte pada 1850.

Hal itu juga sesuai berdasarkan spesimen yang dikumpulkan pada 1840-an oleh ahli geologi dan naturalis Jerman, Carl A.L.M. Schwaner selama ekspedisinya ke Kalimantan.

Sejak saat itu, tidak ada spesimen atau penampakan lain yang dilaporkan.

Selain itu, asal muasal spesimen juga masih menjadi misteri, bahkan pulau di mana spesimen tersebut diambil juga tidak jelas. 

Asumsi awal menyebut, spesimen tersebut diambil di Pulau Jawa pada 1895, jika ahli ornitologi Swiss Johann Büttikofer menunjukkan waktu itu Schwaner berada di Pulau Kalimantan.

Spesimen inilah kemudian menjadi spesimen satu-satunya di dunia sehingga semua rujukan dan deskripsi morfologi burung mengacu kepada satu spesimen ini.

Burung penyanyi yang tergolong dalam keluarga Pellorneidae ini, sebelumnya diklasifikasikan ‘rentan’ oleh IUCN.

Pada 2008, status burung ini berubah menjadi “kurang data” berdasarkan penelitian terbaru yang menunjukkan kurangnya informasi yang dapat dipercaya.

Dalam Peraturan Menteri LHK Nomor P.106 tahun 2018, burung ini belum masuk ke dalam satwa yang dilindungi.  

Awal mula burung ini ditemukan merupakan ketidaksengajaan oleh dua orang penduduk lokal di salah satu wilayah di Kalimantan Selatan.

Salah satu dari mereka merupakan anggota dari sebuah grup sosial media bernama Galeatus yang merupakan grup komunitas dan komunikasi mengenai seluk beluk burung.

Setelah berdiskusi dan ditelaah oleh tim admin, mereka kemudian menghubungi ahli burung dari Birdpacker untuk mencari informasi lebih lanjut terkait temuan tersebut.  

"Terdapat perbedaan mencolok pada anatomi burung yang ditemukan dengan literasi yang ada saat ini diantaranya pada warna iris mata, paruh dan warna kaki. Itulah yang membuat identifikasi mengalami kesulitan saat pertama kali melihat morfologi burung ini," ujar Teguh yang juga salah satu penulis makalah mengenai burung ini.

Teguh menegaskan, temuan ini juga membuktikan, keanekaragaman hayati Indonesia masih ada pada bagian-bagian terdalam hutan.

Baca juga: Mengenal Sang Petani Hutan Sejati

Menurutnya, pada kondisi pandemi COVID-19 seperti saat ini, sangat penting membangun jaringan antara masyarakat lokal, peneliti pemula, peneliti profesional, serta berbagai pihak untuk dapat mengumpulkan informasi tentang keanekaragaman hayati di Indonesia, terutama spesies penting yang memiliki sedikit data.

Jejaring ini dapat berdampak besar bagi kelestarian satwa di Indonesia,” ungkap Teguh.

Sementara itu, peneliti muda dari pusat Penelitian Biologi LIPI, Tri Haryoko menyebutkan, hal yang perlu ditindaklanjuti yaitu peranan citizen science yang merupakan masyarakat luas ikut terlibat dalam pengumpulan, pengarsip, analisis, dan berbagi data keanekaragaman hayati untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

"Meningkatkan kesadaran konservasi, kemudahan akses informasi, dan membangun basis data keanekaragaman hayati. Untuk tindakan selanjutnya perlindungan atau penelitian lebih lanjut," tutupnya.

Related News