Pasokan kroto yang ada di pasaran semakin lama semakin sedikit, sedangkan permintaan terhadap kroto semakin tinggi.
BOGOR - Siapa sangka semut rangrang yang kerap membuat kesal banyak orang lantaran gigitan nya, ternyata bisa menghasilkan uang jika dikembangbiakkan dengan cara dibudidayakan. Semut bernama latin Oecophylla ini memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan semut lainnya. Selain itu, semut yang juga serangga sosial ini merupakan penghasil kroto yang banyak dimanfaatkan untuk pakan burung kicau.
Peluang itu kemudian dilirik Krotobon Indonesia. Mereka memproduksi kroto dengan membudidayakan koloni semut rangrang di atas sebidang lahan yang berada di Cikaret, Bogor Selatan, Kota Bogor. Banyaknya permintaan kroto membuat Krotobon juga mengembangkan usahanya dengan menggandeng masyarakat sebagai mitra produksi budidaya kroto skala rumahan.
Pengelola Krotobon Indonesia, Agam Andriyansyah mengatakan, usaha budidaya semut rangrang nya itu mulai digelutinya pada 2013. Sebelum memulai budidaya itu, ia melakukan riset terlebih dulu selama satu tahun untuk melihat potensi bisnis dari kroto yang ada di pasaran.
Dari hasil riset tersebut, ia melihat jika pasokan kroto yang ada di pasaran semakin lama semakin sedikit. Sedangkan permintaan terhadap kroto semakin tinggi. Sayangnya, suplai kroto dari alam sudah mengalami pergeseran sering bertambahnya jumlah penduduk dan tumbuhnya pemukiman, sehingga menyebabkan pasokan kroto dari alam terbatas.
"Nah, kesempatan itulah yang kita optimalkan untuk bisa menghadirkan kroto dalam sistem budidaya. Bulan demi bulan, tahun demi tahun kita coba dalami itu walaupun sebenarnya beberapa sifat yang konstruktif dari sisi SOP masih belum ada makanya kerap kali ada orang ketika memulai mengalami kegagalan teknis,” jelasnya.
Tapi itu kita sikapi untuk pendalaman teknis itu kembali. Dari gagal kita rapihkan, kita tingkatkan lagi dan lambat laun mengerucut menjadi standarisasi yang bermanfaat secara sistematis. Itu dari sisi riset mengenai budidaya," tambahnya.
Di sisi lain, Krotobon terus mencoba mengemas menjadi sebuah satu produk kroto yang bermanfaat dan bagus secara hilirisasi dengan dipertajam dari sisi kualitasnya. Sebab, kualitas ini bagaimana pun akan menjadi jantung atau alat ukur dari produk laik untuk diperdagangkan atau bermanfaat untuk orang banyak.
"Salah satu komunitas yang paling dominan menyerap ataupun membeli seluruh produksi kita adalah Kicau Mania yang terdiri dari para pecinta burung pelihara hingga burung kontes. Untuk burung-burung kontes memang harus memiliki asupan-asupan nutrisi yang bermanfaat salah satunya adalah kroto," katanya.
Produk kroto yang dibudidayakan Krotobon sendiri memiliki 12 kandungan nutrisi yang berbeda, sehingga cocok untuk burung-burung kontes. Di antaranya, extract ether, crude protein, gross energy, kalsium, crude fiber, natrium klorida, nitrogen free extract, dan fosfor.
"Kaitan dengan budidaya semut rangrang juga, Krotobon memiliki konsep tidak membuat industrialisasi sendiri tapi memberdayakan komponen masyarakat menjadi mitra produksi skala rumahan dengan memanfaatkan lahan tak terpakai, seperti kamar kosong atau gudang, juga pekarangan," imbuh Agam.
Dalam hal ini, lanjutnya, mitra produksi diarahkan untuk melakukan uji coba dahulu di media sarang berukuran 2x1 meter. Selanjutnya, memproses semut hingga panen menjadi telur pasir sekitar 10 sampai 14 hari. Sedangkan Krotobon menyiapkan pembibitan saja.
Sepanjang Januari hingga Oktober 2019, setidaknya sudah 1.000 toples sarang semut yang sudah didistribusikan Krotobon kepada mitra produksi yang tersebar di beberapa daerah Indonesia, khususnya Jabodetabek.
"Hasilnya nanti kita evaluasi mengenai perbandingan bobot produksi dengan jumlah toples sarang termasuk biaya pakan semut. Ini kerap kali kita lakukan secara terus menerus kepada mitra kita untuk bisa membantu mereka sehingga budidaya ini akan memiliki income yang cukup diperhitungkan juga dan tidak menyita waktu," ungkapnya.
Menurut Agam, budidaya semut rangrang tidaklah terlalu sulit. Sebab, semut memiliki kecenderungan apabila sudah bertemu dengan suhu yang ideal, kestabilan pakan, dan infrastruktur rak-rak yang sudah seusai literatur mereka hidup. Setelah itu otomatis semut akan melakukan kegiatannya secara normal seperti di alam bebas.
"Suhunya harus sesuai yang ada di alam, idealnya hidup di tempat panas. Pakan yang menjadi syarat utama adalah glukosa dan protein. Glukosa bisa gula pasir, gula aren dan tebu. Protein bisa dari hewan, misalnya ulat hongkong, jangkrik, cacing tanah, maggot juga,” terangnya.
“Tapi terkadang sifat dari makanan itu sendiri berpengaruh pada semut. Kebiasaan diberikan ulat hong kong belum tentu mau cacing tanah. Jadi faktor kebiasaan dalam pemberian makanan menjadi proses adaptasi bagi mereka," tambahnya.
Agam juga menjelaskan, jika produksi kroto yang dihasilkan di lokasi pembibitannya biasanya digabungkan dengan mitra produksi rata-rata menghasilkan tiga sampai enam kilogram per hari. Kroto yang hasil produksi tersebut sebisa mungkin setiap paginya didistribusikan kepada konsumen yang berada di Bogor.
"Iya, kita baru memenuhi lokal saja, wilayah Bogor. Kalau bicara kebutuhan estimasi yang tergambarkan dari tahun 2016 bisa mencapai 20-an kilogram kroto per hari. Artinya baru 25-30% saja. Nah, menyikapi ini, siapa memang tergerak silahkan menjadi mitra kita, hanya serap dulu ilmunya semaksimal mungkin dan uji coba dulu di rumah," tuturnya.
Selain itu, pihaknya sering menyerap produksi kroto dari mitra produksi dikisaran Rp400 ribu per kilogram. "Kroto yang diterima dari mitra oleh kita diproses QC (Quality Control) lagi. Setelah itu barulah laik untuk dijual dalam bentuk kemasan. Harga kroto per kilogram senilai Rp1 juta," tandasnya. (HAB)