Temuan Fakta Hiu Martil Bergigi
“Hiu jenis ini merupakan salah satu dari hiu-hiu yang terancam punah lantaran perburuan siripnya.”
JAKARTA - Meskipun dikhawatirkan adanya ancaman terhadap populasi hiu martil bergigi (Sphyrna lewini) akibat peningkatan aktivitas penangkapan ikan, para peneliti IPB University justru berhasil mengungkap fakta sebaliknya.
Berdasarkan studi hubungan genetika yang dilakukan secara komparasi di perairan Indonesia dan kawasan barat Samudera Hindia, terungkap jika hiu martil bergigi di kawasan perairan Indonesia masih jauh dari ancaman tersebut.
Bisa dibilang, perairan Indonesia masih ramah terhadap populasi hiu martil bergigi.
“Hiu jenis ini merupakan salah satu dari hiu-hiu yang terancam punah lantaran perburuan siripnya. Sekitar tiga juta ekor hiu di seluruh dunia, setiap tahunnya dibunuh demi perdagangan sirip hiu,” ujar dosen sekaligus peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB) University dari Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Hawis Maduppa.
Baca juga: Ratusan Hiu menjadi Korban Vaksin
Pada 1999, katanya, spesies hiu martil dicurigai dalam kondisi terancam akibat aktivitas penangkapan yang berlebihan.
Lantas kemudian, pada 2009, lembaga konservasi dunia, International Union for Conservation of Nature (IUCN) memasukkan spesies ini ke dalam Daftar Merah Terancam (EN).
Lima tahun kemudian, Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) mendaftarkan hiu martil ini dalam status ‘Appendix II’.
Pada 2019 lalu, statusnya meningkat menjadi ‘Sangat Terancam’ (CR).
“Eksploitasi yang tinggi terhadap hiu martil bergigi berakibat pada struktur populasinya. Kesuburan mereka terganggu sehingga keragaman genetik mereka juga ikut berkurang,” tambahnya.
Akhirnya, lanjut Hawis, saat ini informasi mengenai struktur populasi hiu martil tidak jelas.
Padahal, informasi mengenai struktur populasi tersebut sangat dibutuhkan untuk sosialisasi mengenai penanganan mereka serta bagaimana status konservasinya.
Meski demikian, berdasarkan penelitian para ilmuwan IPB University, terungkap, keragaman genetik hiu martil bergigi di perairan Indonesia masih lebih baik dibandingkan dengan keragaman genetik di bagian barat Samudera Hindia.
Keragaman genetik ini membuat struktur populasinya juga lebih bagus.
Mengenai hal tersebut, para peneliti pun mengambil sampel di beberapa daerah tempat para hiu martil di Indonesia.
Lokasi sampel hiu yang diambil yaitu di Aceh sebanyak 41 ekor, Balikpapan sebanyak 30 ekor, dan Lombok sebanyak 29 ekor.
Sementara di kawasan Samudera Hindia, diambil sebanyak 65 ekor dan Papua Barat sebanyak 14 ekor.
Sampel tersebut lalu diambil Asam deoksiribonukleat (DNA)-nya dan diekstraksi di Laboratorium Biodiversitas dan Biosistematika IPB University.
Pengambilan DNA dilakukan sesuai dengan protokol g-SYNC DNA extraction kit product.
Dari DNA tersebut, para peneliti pun mengambil fragmen genetika yang dinamakan gen mitokondria sitokrom oksidase sub-unit 1 atau disingkat CO1.
“Ada lebih dari 179 sekuen DNA dari mitokondria CO1 yang rata-rata panjangnya 594 bp diambil dari sampel-sampel tersebut. Kemudian seluruhnya disunting menggunakan algoritma ClustalW. Dari situ terungkap pula adanya jaringan haplotype,” ujarnya.
Dalam meneliti hubungan genetika antara hiu-hiu martil bergigi di Indonesia dengan di kawasan perairan di belahan dunia lainnya, para peneliti juga mengacu pada jaringan haplotype yang ada.
Dengan diketahuinya distribusi haplotype di tiap-tiap lokasi, maka akan mudah pula terungkap peredaran hiu-hiu ini, serta hubungan genetika mereka di antara populasi dunia.
Di perairan Aceh, jenis haplotype (H) hiu martil bergigi yang paling banyak didapat yaitu H1.
Jenis ini serupa dengan yang didapat di India, Madagaskar, dan Uni Emirat Arab (UAE).
Namun hanya di UAE saja yang terdapat jenis H5, H6 hingga H11.
Sedangkan H3 dan H4 banyak terdapat di Papua Barat dan Balikpapan-Lombok.
Di Aceh pun juga banyak ditemui H3 dan H4.
Namun, karena paling banyak ditemui H1, maka Aceh disimpulkan sebagai kawasan perairan yang khas, karena haplotype jenis H1 paling banyak ditemui dibanding kawasan lainnya di dunia.
Setelah mendapat data keragaman genetik dari haplotype, penelitian pun dilanjutkan dengan pengolahan data struktur populasi.
Ini dilakukan dengan metode perbandingan antara populasi S. lewini di Indonesia, dengan yang di bagian barat Samudera Hindia.
Berdasarkan analisis, hiu martil bergigi di Balikpapan dan Lombok menunjukkan adanya homogenitas (kesamaan).
Hal tersebut, menurut Hawis, sejalan dengan studi yang pernah dilakukan sebelumnya di perairan Indo-Australia (Ovenden, et al), jika homogenitas di Balikpapan dan Lombok, sama dengan di utara perairan Australia.
Selain Lombok dan Balikpapan, hal yang sama juga terdapat di Papua Barat.
Meski homogen, namun Balipapan masih menunjukkan angka keragaman haplotype sebesar 0,646 atau di atas rata-rata keragaman di bagian barat Samudera Hindia yang hanya maksimal 0,467.
Sedangkan Papua Barat dan Lombok disimpulkan sangat rendah yaitu masing-masing memiliki angka keragaman sebesar 0,143 dan 0,362.
Baca juga: Kemunculan Hiu Paus saat Pandemi
Dengan demikian, pola populasi tunggal ini menunjukkan, kawasan perairan tersebut merupakan zona migrasi hiu martil bergigi.
Tidak hanya itu, kawasan pesisir di sekitarnya juga ditengarai menjadi tempat berkembang biak.
Hawis pun menyebut, hiu martil bergigi merupakan jenis hiu yang tinggi aktivitas migrasinya terutama di kawasan laut tropis dan perairan hangat.
Oleh karenanya, hiu jenis ini memiliki keragaman genetik yang tinggi dibanding hiu jenis lain.