“Banyak yang datang mau beli, tapi saya tidak mau. Apalagi mau bikin perumahan, saya tidak mau, lingkungan rusak.”
SAMARINDA - Suhendri (78), bisa dibilang begitu jasa bagi masyarakat Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, yang masih bisa menghirup udara segar. Di balik kesederhanaannya, suami dari Juarsa (80) ini rajin menanam pohon yang kini menjadi hutan di tengah Kota Tenggarong, ibu kota Kabupaten Kukar dan masih bertahan hingga kini.
Suhendri mengaku kepada Kompas.com jika ia pernah mendapat Rp10 miliar dari seseorang yang ingin membeli lahan tersebut. Namun, dirinya berikeras tidak ingin menjualnya. Komitmen itu tetap ia pegang hingga saat ini, walaupun banyak investor yang menawarkan lahannya itu untuk dijadikan perumahan.
“Banyak yang datang mau beli, tapi saya tidak mau. Apalagi mau bikin perumahan, saya tidak mau, lingkungan rusak,” ungkap Suhendri saat berbincang di kediamannya, Kamis (31/10) lalu.
Lahan seluas 1,5 hektare itu awalnya ia beli dengan harga Rp100.000 pada 1979. Saat itu, dirinya membeli untuk bertani. Ia pun menerapkan pertanian dengan konsep agroforestri, yaitu menggabungkan pepohonan dengan tanaman pertanian. Kini, pohon yang ia tanam sejak 1986 silam sudah tumbuh tinggi menjulang membentuk hutan di dalam kota.
Padahal, awalnya ia ingin menanam komoditas pertanian seperti lombok, sayuran dan buah-buahan. Pada 1986, ia pun memulai menanam (pohon) kayu setelah mendapat bibit dari Bogor, Jawa Barat. Setidaknya saat itu ada 1.000 bibit kayu damar, meranti, pinus, kayuputih, ulin, dan sengon. Kakek dua anak ini menginjak tanah Kalimantan Timur pertama kali pada 1971.
Saat itu, ia juga ikut membangun asrama milik salah satu perusahaan kayu dan juga ketika itu sedang maraknya berbisnis kayu. Ketika itu ia menyaksikan bagaimana kayu ditebang dan hutan dengan luas berhektare-hektare, gundul tanpa sisa. Dari pengalamannya sebagai petani saat itu, ia juga sempat diusir oleh pemilik lahan. Dirinya diminta tak lagi menggarap lahan karena kesuksesannya membangun pertanian.
“Saya sempat diusir karena hasil tanaman saya banyak. Ibu menjual hasil pertanian di pasar, saya dikeluh orang sekitar minta pemilik lahan usir. Zaman dulu banyak yang masih kebun berpindah-pindah, saya sendiri yang bertani tetap,” kata Suhendri.
Akhirnya ia memilih membeli lahan sendiri dengan cara menyicil hingga lunas. Setelah lunas, ia kembali mencicil lahan seluas satu hektare terpisah dengan lokasi yang berdekatan. Kini, ia memiliki dua lahan, dua-duanya dijadikan hutan. Saat ini, hutan tengah kota ini menjadi menjadi tempat penelitian mahasiswa.
Banyak dikunjungi orang-orang, bahkan hutan tengah kota ini pernah menjadi lokasi penelitian skripsi mahasiswa asal Jepang. Suhendri juga sering mendapat penghargaan dari berbagai pihak karena hutannya. Tak hanya mengelola, Suhendri bersama istrinya juga bermukim di tepi hutan miliknya demi menjaga hutan yang telah ia kelilingi dengan pagar dari kayu.
“Saya tidak jual. Saya harap ada orang yang bisa melanjutkan merawat hutan ini meski pun bukan keluarga saya. Saya menyiapkan oksigen bagi masyarakat di kota , ini,” ujarnya.