Melindungi Perdagangan Bebas Spesies Laut
"Kita harus bekerja sama untuk mengharapkan lautan yang produktif dan berkelanjutan di masa depan.”
JAKARTA - Sahabat Tani tentu sudah tidak asing lagi dengan nama terumbu karang bukan?
Ya, Terumbu karang merupakan salah satu keanekaragaman hayati yang dapat kita temui dengan mudah di dalam laut.
Harta karun yang tersimpan di dalam laut ini, selain terlihat cantik nan eksotis, juga menjadi salah satu penunjang kehidupan bagi sebagian ikan-ikan yang hidup didalam laut.
Keindahan terumbu karang tak luput dari perhatian kita.
Seringkali ia dijadikan sebagai penghias akuarium yang besar maupun akuarium kecil.
Baca juga: Dimulainya Konservasi Terumbu Karang, COREMAP-CTI
Selain sering dijadikan hiasan akuarium, terumbu karang juga di ekstrak untuk dijadikan sebagai bahan pembuatan obat-obatan.
Setiap tahunnya, jutaan ekstrak ini dijual di seluruh dunia.
Sahabat Tani mungkin menyangka jika terumbu karang merupakan tumbuhan, bukan?
Namun sebenarnya, mereka merupakan hewan.
Memiliki warna-warni yang beragam, mereka membentuk kelompok dan menggunakan sel penyengat pada tentakel kecil mereka untuk menangkap plankton dan ikan kecil.
Sayangnya, banyak sekali spesies terumbu karang di dunia yang mulai terancam.
Meningkatnya suhu laut dan polusi air telah menyebabkan pemutihan dan hilangnya terumbu karang di seluruh dunia.
Great Barrier Reef atau Karang Penghalang Raksasa di Australia merupakan salah satu contohnya.
Kalau Sahabat Tani belum tahu, Karang Penghalang Raksasa merupakan sistem terumbu karang terbesar di dunia, yang terdiri dari lebih dari 2.900 terumbu individu dan 900 pulau yang membentang.
Letak sistem terumbu karang ini berada di Laut Koral, lepas pantai Queensland, Australia.
“Terumbu karang, serta ikan yang menghuninya, merupakan blok bangunan fundamental dari sistem pesisir tropis, tetapi mereka berada di bawah tekanan dari polusi gas rumah kaca yang meningkatkan suhu air ke titik di mana karang mati,” kata Kim Friedman, Petugas Sumber Daya Perikanan Senior di Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization/FAO), Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
“Ini tidak hanya mengancam sistem yang luar biasa ini, tetapi juga makanan dan mata pencaharian banyak orang yang bergantung padanya,” tambah Friedman.
Perdagangan ikan dan kehidupan laut lainnya, termasuk karang, sangat penting untuk kelangsungan hidup dan mata pencaharian banyak komunitas.
Permintaan akan produk ini juga meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
Sayangnya, dengan permintaan yang semakin tinggi ini, banyak oknum yang melakukan eksploitasi berlebihan serta perdagangan ilegal yang berujung mengancam spesies biota laut.
Banyak spesies yang terancam punah akibat kenaikan suhu di laut, polusi, dan perdagangan secara bebas.
Dimulai sejak 1975 dan telah diikuti oleh 183 negara, Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) dikembangkan untuk memantau dan mengendalikan perdagangan spesies tumbuhan dan hewan yang berisiko punah.
Organisasi ini juga bertujuan untuk memastikan perdagangan flora dan fauna secara internasional, tidak akan membuat mereka punah.
Adanya aturan-aturan yang telah ditetapkan, nantinya untuk menjamin perdagangan secara teratur.
"CITES penting karena setiap orang harus mendukung dalam melindungi lingkungan laut alami kita dan sistem sosial yang bergantung padanya," kata Kim Friedman.
CITES tersebut merupakan hasil laporan bersama Pusat Pemantauan Konservasi Dunia dari Program Lingkungan PBB dan FAO untuk menunjukkan betapa fundamental peran perdagangan bagi kelangsungan hidup spesies.
Karena, bukan hanya terumbu karang saja yang berdampak, melainkan seluruh biota laut.
Bahkan hiu yang terkenal sebagai sang pembunuh yang tangguh sekali pun, nyawanya tetap terancam akibat eksploitasi yang berlebihan.
Menurut laporan CITES sekitar 44.637 hiu, diburu dan diperdagangkan untuk diambil sirip dan dagingnya antara 2007 dan 2016.
Selain hiu, biota laut lainnya yang juga terancam yaitu belut eropa, kuda laut, babi, trisula raksasa dan juga keong.
Kehadiran mereka dalam daftar CITES menggarisbawahi, perlunya negara-negara untuk mengelola mereka dengan lebih baik atau tindakan yang memungkinkan.
Untuk mengelola spesies laut secara efektif, kita perlu melihat seluruh ekosistem dan rantai nilai, mulai dari kondisi penangkapan, penanganan, dan pemrosesan ikan, hingga cara konsumen memperolehnya, produk perikanan.
Termasuk bagi Indonesia, untuk melihat pentingnya potensi kelestarian laut dan mengelolanya dengan baik dan bukan membuatnya punah.
Menurut FAO, potensi lestari sumberdaya perikanan tangkap laut Indonesia mencapai sekitar 6,5 juta ton per tahun dengan tingkat pemanfaatan mencapai 5,71 ton per tahun.
Berdasarkan data FAO, produksi ikan tangkap Indonesia menempati urutan ketiga di dunia setelah China dan Peru.
Sedangkan produksi ikan budidaya Indonesia menempati urutan keempat setelah China, India, dan Vietnam.
Baca juga: Kurang Sehatnya Ekosistem Perairan Indonesia
“Ekosistem secara keseluruhan harus berkelanjutan. Sedangkan bagi konsumen, mereka akan memiliki akses ke lebih banyak produk perikanan dalam jangka panjang,” jelas Friedman
CITES memungkinkan negara untuk berbagi data terkait perdagangan satwa liar laut. Hal ini untuk membantu pemerintah dan para nelayan memahami dengan betul dampak perdagangan terhadap spesies laut.
“Ini bukan hanya tentang mengumpulkan data, ini tentang memberi tahu masyarakat. Kami perlu memastikan bahwa nelayan di laut memahami kewajiban berdasarkan perjanjian internasional seperti CITES,” kata Friedman.
"Kita harus bekerja sama untuk mengharapkan lautan yang produktif dan berkelanjutan di masa depan,” tutupnya.