"Terdapat hutan alam seluas 10 hektare di beranda belakang pulau dengan koleksi tanaman liar tropis yang mulai jarang ditemui di lokasi lain"
Jakarta - bagi sahabat tani yang pernah menonton film Laskar Pelangi pasti tidak asing dengan pulau indah yang satu ini. Ya, Belitung pulau ini dianugerahi Sang Pencipta keindahan alam pesisir pantai yang begitu menakjubkan. Birunya air laut berpadu dengan kemilau pasir putih di pantai-pantainya yang menawan. Belum lagi ratusan bongkahan besar batu hingga sebesar kapal ikut menambah pesona wisata pantai dan laut di Negeri Laskar Pelangi tersebut. Selain wisata pantai, terdapat pula wisata mengunjungi pulau-pulau cantik, salah satunya Pulau Leebong.
Baca Juga: Sensasi Rumah Pohon Pulau Leebong
Dari pusat kota, diperlukan waktu berkendara selama 45 menit arah barat daya menuju pelabuhan penyeberangan Tanjung Ru, salah satu terminal transportasi laut utama di Belitung yang berlokasi di Pegantungan. Nyaris tidak ada angkutan umum yang dapat mengantarkan ke lokasi pelabuhan ini. Menyewa mobil adalah satu-satunya cara.
Setibanya salah satu titik penyeberangan, berderet belasan perahu berbahan kayu dan serat (fiber) bersanding dengan sejumlah kapal feri besar rute Pulau Bangka, Palembang, dan bahkan Tanjung Priok. Perahu bermesin menjadi moda satu-satunya yang mampu mengantarkan kita ke pulau cantik nan alami.
Kapal-kapal berkapasitas paling banyak sembilan penumpang itu sudah siap beroperasi sejak pukul 10.00 dan akan mengantarkan kita kembali ke lokasi pemberangkatan ini pada sekitar pukul 17.00. Di tiap perahu terdapat jaket keselamatan (safety vest) yang harus dikenakan oleh para penumpang selama perjalanan.
Baca Juga: Jenis-Jenis Hutan di Indonesia
Lama perjalanan menuju Pulau Leebong dari Pelabuhan Tanjung Ru sekitar 20 menit untuk menempuh jarak sekitar 5 km. Ombak laut dalam perjalanan menuju pulau cantik ini cukup bersahabat karena di sekelilingnya terdapat banyak pulau seperti Pulau Rengit, Mentarak, Ruk, Baguk, Betangan, dan Mengkokong yang ditumbuhi hutan mangrove sebagai pemecah gelombang alami.
Oh iya, untuk bisa masuk ke Pulau Leebong sebaiknya terlebih dulu melakukan pemesanan melalui jasa biro perjalanan setempat. Soalnya, pulau tersebut ternyata milik pribadi yang kemudian pada April 2016 dibuka untuk umum meski dengan jumlah pengunjung yang terbatas. Menurut pemiliknya, Tellie Gozelie yang juga seorang politisi, ia ingin agar kelestarian alam yang masih begitu terjaga di pulau ini dapat terus dinikmati oleh siapa pun yang mengunjunginya.
Maklum saja, keanekaragaman hayati dan vegetasi alam dari pulau ini cukup lengkap. Terdapat hutan alam seluas 10 hektare di beranda belakang pulau dengan koleksi tanaman liar tropis yang mulai jarang ditemui di lokasi lain. Di hutan ini pohon kayu putih (Melaleuca leucadendra) dan simpur (Dillenia beccariana) yang tumbuh menjulang saling bersanding melindungi flora lebih kecil seperti sikas, karamunting yang merupakan famili Melastomataceae.
Baca Juga: Kebiasaan Penting untuk Melestarikan Hutan
Keasrian Hutan Mangrove
Bukan itu saja, karena sekitar 100 meter dari pulau yang dipisahkan oleh semacam selat berair bening sedalam 8 meter dengan koleksi terumbu karang perawan dan ikan-ikan hias menawan, terdapat hutan mangrove yang masih terjaga kelestariannya. Ada kanal alami selebar sekitar tiga meter membelah hutan mangrove seluas 17 ha tersebut.
Saat air mulai pasang, sekira pukul 14.00, kita dapat menyusuri kanal alami tersebut menggunakan perahu bermesin. Kanal ini membagi dua kawasan mangrove dan semakin ke ujung, celah kanal akan makin menyempit.
Kanal itu menjadi lintasan paling mudah untuk melihat ratusan ribu pohon mangrove jenis bakau (Rhizophora). Para pengemudi kapal sudah hapal, bahwa aktivitas susur hutan mangrove seakan menjadi agenda wajib ketika berada di Leebong.
Baca Juga: Mengenal Pohon Langka Hutan Indonesia
Biasanya, mereka akan melambatkan laju perahu di sepanjang pesisir hutan mangrove dan membiarkan tamu-tamu mereka memuaskan diri menikmati kejernihan air dan biota laut di dalamnya. Tentu saja ditemani semilir angin dan kicauan burung-burung khas perairan, seperti camar kepala cokelat (Larus brunnicephalus), dara laut jambon (Sterna dougalii), dan trinil (Tringa) terbang yang setia mengiringi perjalanan perahu.
Hijau rimbunnya mangrove di kiri-kanan kanal berpadu kontras dengan biru terang dan jernihnya air laut. Ketika air surut dan menyisakan permukaan air setinggi 1--3 meter saja, kita dapat melihat dengan jelas akar-akar mangrove bermunculan hingga ke dasarnya.
Air jernih dengan dasar berpasir putih pun bisa leluasa kita pandangi, begitu juga ratusan ikan aneka warna berenang sesuka hati dan kepiting-kepiting bakau (Scylla) aneka ukuran berlarian. Di tepian akar bakau sesekali tampak beberapa ekor udang mengendap keluar dari persembunyian. Di tengah hutan mangrove terdapat titian kayu selebar 1,5 meter sepanjang sekitar 300 meter yang dapat dimanfaatkan pengunjung untuk melihat lebih dekat pohon-pohon mangrove. Di ujung titian, dibangun sebuah menara pandang berbentuk segi enam setinggi sekira tigameter yang ditopang oleh enam tonggak kayu sebesar paha orang dewasa.
Baca Juga: Pembaharuan Hutan untuk Kesejahteraan Manusia
Jika sedang beruntung, kita dapat menyaksikan belasan ekor burung kuntul kecil (Egretta garzetta), camar kepala cokelat dan kepala hitam (Larus ridibundus), dara laut jambon dan dara laut tengkuk hitam (Sterna sumatrana) bertengger di pucuk pohon bakau. Sebagian beristirahat dari teriknya mentari, sebagian lainnya tetap bersiaga menatap ke air jernih menanti mangsa, ikan-ikan yang sedang berenang.