• 22 November 2024

Nasib Petani di Hari Buruh

uploads/news/2021/05/hari-buruh-dan-nasib-9155027a91f2c84.jpg

"May Day menjadi hari dimana persatuan, kebersamaan, dan kelahiran terlahir kembali. Hari dimana semua orang berkumpul dan merayakan kehidupan"

JAKARTA – May Day atau lebih dikenal dengan Hari Buruh Internasional dirayakan pada setiap tanggal 1 Mei. Hari ini dibuat untuk memperingati perjuangan bersejarah yang dilakukan oleh pekerja dan gerakan para buruh. Beberapa negara memperingati May Day pada tanggal 1 Mei, namun di Amerika Serikat dan Kanada, peringatan Hari Buruh (Labor Day), diperingati setiap hari Senin pertama bulan September.

Dahulu sebelum abad ke-19, para buruh mengadakan gerakan demonstrasi untuk memperoleh hak-hak pekerja. Karena pada masa revolusi industri saat itu, ribuan buruh meninggal akibat kondisi pekerjaan yang buruk dan jam kerja yang sangat panjang. Maka untuk mengakhiri kondisi yang tidak manusiawi tersebut, Federasi Buruh Amerika atau AFL mengadakan konvensi di Chicago pada tahun 1884.

Baca Juga : Petani Perempuan di Hari Kartini

Melalui konvensi tersebut, organisasi buruh terbesar di Amerika yang ikut mendukung gerakan tersebut, akhirnya menetapkan 1 Mei sebagai hari untuk mendukung para pekerja, yang kemudian disebut sebagai May Day. Pada awalnya, istilah May Day dirayakan oleh orang Yunani dan Romawi kuno sebagai ritual praktik pertanian. Perayaan tersebut dimaksudkan untuk menyambut pergantian musim.

Baca Juga : Demi Mengembalikan Produktivias Petani Sigi

Bagi para buruh, May Day menjadi hari dimana persatuan, kebersamaan, dan kelahiran terlahir kembali. Hari dimana semua orang berkumpul dan merayakan kehidupan. May Day lahir untuk merayakan hak-hak buruh atas delapan jam kerja sehari di Amerika Serikat. Untuk menghormati pekerja dan gerakan buruh di seluruh dunia.

Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menjelaskan bahwa jumlah buruh tani juga mengalami peningkatan di desa. Banyaknya perampasan tanah (land grabbing), dan dampak dari pasar bebas, mengakibatkan petani di Indonesia kehilangan tanah yang sebelumnya mereka kuasai.

Baca Juga : Inovasi Petani disaat Sulit Regenerasi

Menurut pria berumur 57 tahun itu, situasi semakin parah ketika tanah-tanah yang sebelumnya dikuasai petani, berubah menjadi industri perkebunan dan industri ekstraktif lainnya seperti pertambangan.

Merujuk pada data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik tahun 2018, jumlah petani gurem (petani kecil yang memiliki lahan kurang dari 0,25 ha) di Indonesia mencapai 16,2 juta jiwa. Dengan jumlah yang semakin meningkat itu, pemuda-pemudi di desa menjadi takut bahkan tak ada niatan untuk memulai bertani ketika selesai mengenyam pendidikan di bangku sekolahan. Pada akhirnya, jumlah pengangguran malah semakin meningkat di pedesaan.

Baca Juga : Ketangguhan Petani Perempuan Demi Kesejahteraan

Sebagaimana diketahui, pandemi COVID-19 telah berdampak sektor ketenagakerjaan di Indonesia. Ribuan pemutusan hubungan kerja melanda bagi buruh dan karyawan di Indonesia selama pandemi COVID-19.

Henry menambahkan Pemerintah harus fokus pada implementasi dari program-program seperti Reforma Agraria dan pembangunan pedesaan, kedaulatan pangan, serta penguatan koperasi sebagai lembaga ekonomi petani dan orang-orang di pedesaan. Hal ini dapat menjadikan perekonomian Indonesia kokoh dalam menghadapi krisis akibat pandemi.

Baca Juga : Jiwa Kartini Mengangkat Kopi Sinagar

Related News