Memahami Masalah Petani Indonesia
"Petani di Indonesia umumnya tak memiliki kemampuan berinovasi yang baik, bahkan Indonesia dinilai indeks inovasi globalnya pun masih sangat rendah.."
JAKARTA - Sampai saat ini di Indonesia, millenial dan generasi setelahnya lebih tertarik menjadi youtuber ketimbang petani yang memproduksi pangan.
Praktisi dan pengamat pertanian Wayan Supadno mengatakan dua persoalan yang membuat petani Indonesia sulit maju dan berkembang yakni para petani belum memiliki jiwa wirausaha yang kuat dan profesi petani belum menjanjikan kehidupan yang makmur dan sejahtera.
Petani di Indonesia umumnya tak memiliki kemampuan berinovasi yang baik, bahkan Indonesia dinilai indeks inovasi globalnya pun masih sangat rendah, yaitu di peringkat 85 dari 131 negara. Padahal jumlah sarjana pertanian di Indonesia terbanyak di dunia. Jaminan kehidupan yang makmur dan sejahtera dari profesi petani pun sayangnya masih jauh panggang dari api di tanah air. Padahal ini sumber kesetiaan agar tetap bertani.
Tercatat NTP (Nilai Tukar Petani) yang dilaporkan BPS sejak reformasi turun terus atau tinggal mendekati nonprofit hanya 102. Angka ini mencatatkan angka yang terendah dibandingkan profesi lain. Maka kemudian wajar jika kemudian profesi petani menjadi anak tiri di negeri sendiri, dampaknya penyediaan dan produksi pangan di Indonesia tidak beranjak mandiri.
Baca juga: Milenial Tembus Omzet Ratusan Juta
Faktor penyebab
Memetakan masalah petani Indonesia ibarat menegakkan benang kusut. Berbagai faktor penyebab belum sejahteranya petani di Indonesia terbentur pada sejumlah persoalan kunci.
Terutama karena faktor politik di negara ini yang belum sepenuhnya belum berpihak kepada kepentingan petani. Pejabat teknis dari banyak kabinet berganti pun rupanya masih belum mampu menjabarkan kebijakan dengan baik di lapangan. Imbasnya kehormatan petani tidak setinggi di luar negeri.
Wayan Supadno menilai hal inilah yang menjadi salah satu sumber dis-motivasi bertani lalu banyak yang kemudian beralih profesi, di mana tercatat dalam data BPS sebanyak 0,5 juta KK/tahun beralih dari petani ke profesi lain yang dianggap lebih menjanjikan.
Di sisi lain persentase petani muda di Indonesia hanya 12 persen dari total petani berdasarkan Sensus Pertanian terakhir pada 2013, termasuk sarjana pertanian yang enggan bertani dan ini pemborosan yang luar biasa ekstrim besarnya ke APBN yang berakar dari kumpulan pajak termasuk pajak petani juga.
Baca juga: Bangkitkan Generasi Petani Milenial Papua
Kata kunci, petani juga tidak ingin harga pangan mahal hingga saat ini dinilai Bank Dunia pangan di Indonesia termahal. Karena pangan mahal maka inflasi naik dan upah naik 8 persen per tahun. Biaya produksi naik menjadikan Indonesia di mata investor sebagai negeri yang semakin tidak kompetitif.
Maka satu hal yang perlu dilakukan agar petani betah dan anak muda mau bertani yakni kehidupan petani harus sejahtera. Hal itu menjadi mutlak karena tidak ada satu orang pun mau miskin. Maka NTP harus kembali naik seperti pada 1984-an. Caranya, politik harus total berpihak pada petani dan pejabat teknis mampu menjabarkan kebijakan untuk mencaritemukan dan memenuhi apa maunya petani.
Mereka harus diajari dan dilatih cara menekan biaya produksi (HPP) bertani yang baik dan benar agar laba besar, sejahtera sehingga indeks inovasi global naik dan saatnya ahli pertanian kini turun gunung. Iklim usaha pertanian utamanya pangan harus dibenahi, misal bunga bank maksimal 3 persen per tahun dan upayakan agar mudah diakses. Infrastruktur pun dibenahi. Tata niaga utamanya barang impor dikendalikan bersamaan dengan inovasi yang dihilirisasikan.
Program replikasi petani sukses karena inovasi harus terus diintensifkan. Karena nyawanya pertanian atau pangan adalah pelaku utamanya yaitu petani. Tanpa itu semua tiada lagi pangan. Sebagaimana disampaikan Bung Karno di IPB pada 1952 bahwa hidup matinya sebuah bangsa ada pada pangan.
Baca juga: Pertanian Unik dari Seluruh Dunia
Penguasaan lahan
Pertanyaan mengapa petani di Indonesia masih miskin juga faktanya tak lepas dari jawaban terkait penguasaan dan kepemilikan sumber agraria. Dewan Pembina INAgri (Institut Agroekologi Indonesia) Achmad Yakub menilai ketidaksejahteraan petani Indonesia disebabkan kepemilikan tanah yang sempit atau di bawah 0,5 hektare, persoalan redistribusi tanah, yang berkelebihan seperti HGU, konsesi dikurangi.
Masalah berlanjut pada rendahnya pengetahuan dan penguasaan teknologi on farm, di mana petani semestinya terkonsolidasi dalam usaha tani hingga rantai pasok pascapanen berada, karena nilai tambah terbesar usaha tani justru berada di dalamnya.
Idealnya petani tak sekadar mengolah lahan, menanam, merawat, hingga panen tapi juga mengelola usaha tani atau lembaga ekonomi petani. Usaha itu kemudian menyerap hasil panen/GKP, diolah menjadi GKG dan giling menjadi beras, plus hasil sampingan sekam, bekatul, dan menir.
Kemudian untuk pemasaran petani bisa menjual produk jadi seperti beras hingga produk turunan yang beragam termasuk tepung beras. Keseluruhan proses dibentuk dalam satu ekosistem usaha tani melalui lembaga usaha tani/ ekonomi petani yang oleh Presiden Jokowi disebut sebagai korporatisasi petani.
Baca juga: Petani Hijrah, Sukses Bertani Hidroponik
Di Korea Selatan, misalnya, petani lazim menguasai usaha pertaniannya dari hulu ke hilir. Mereka mengusahakan pertanaman buah plum, kemudian diolah lalu dipasarkan tak sekadar dalam bentuk buah tapi juga olahan seperti buah kering dan jus. Pendiri dan Perintis Startup produk petani dan desa Sensa.id, Syahroni, mengatakan bisnis di bidang pertanian menjanjikan masa depan yang sangat baik dan cerah.
Oleh karena itu ia bersama beberapa temannya bertekad mengambil peluang dengan memasarkan produk petani melalui platform marketplace online Sensa.id. Menurut dia, rantai pasar yang terlalu panjang untuk produk pertanian menjadi persoalan klasik yang membuat kesejahteraan petani tak beranjak membaik di Indonesia.
Platform daring yang dikembangkannya pun diharapkan menjadi solusi bagi upaya meningkatkan kesejahteraan petani sekaligus mempermudah konsumen mendapatkan bahan pangan langsung dari petani di kebunnya lalu dikirim langsung ke rumah. Indonesia memang memerlukan lebih banyak orang yang memahami persoalan petani kemudian memberikan jalan keluarnya secara pasti bukan sekadar bicara dan berpangku tangan. Dunia ini ada bagi mereka yang punya solusi.
Baca juga: Hak Lahan Petani yang Terabaikan