• 22 November 2024

Pembangunan Tambang Korbankan Burung Endemi

uploads/news/2021/06/demi-pembangunan-tambang-korbankan-4329851b96f4a65.jpg

Adanya rencana pembangunan tambang emas ini tidak hanya mengancam kehidupan penduduk Sangihe, tetapi juga mengancam kepunahan burung endemik

Jakarta – Pulau Sangihe, merupakan pulau kecil di utara wilayah Indonesia. Kepulauan Sangihe merupakan bagian dari provinsi Sulawesi Utara yang mana letaknya berbatasan antara Pulau Sulawesi dengan Pulau Mindanao (Filipina). Baru-baru ini masyarakat ramai membincangkan tindakan pemerintah berencana melakukan pengolahan pertambangan emas di Pulau kecil, Sangihe. Rencana pengolahan dengan skala besar tersebut, kini menjadi perhatian, sebab dampak besar pun akan terjadi dan mempengaruhi lingkungan sekitar pulau tersebut.

Baca juga: Momen Langka Gajah Tidur Siang

Adanya rencana pembangunan tambang emas ini tidak hanya mengancam kehidupan penduduk Sangihe, tetapi juga mengancam kepunahan burung endemik. Seriwang sangihe (Eutrichomyias rowleyi) yang biasa dikenal dengan sebutan manu’niu ini merupakan burung yang hanya dapat bertahan hidup di Pulau Sangihe.

Burung kecil ini sempat diklaim “punah” selama ratusan tahun, sampai pada akhirnya 20 tahun lalu burung tersebut terlihat kembali di Gunung Sahendaruman, yang terletak di sebelah selatan Pulau Sangihe. Dimana gunung tersebut juga masuk dalam wilayah izin tambang emas.

Baca juga: Jepang Melarang Ekspor Bibit

Burung niu yang ukurannya 18 sentimeter tersebut, memiliki ciri tubuh berwarna khas kebiruan dan penyuka serangga. Tak disangka, kini hidupnya kritis dan terancam punah populasinya.

Survei Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia membuktikan di tahun 2014 terdapat 34 sampai 119 individu spesies burung tersebut di dunia. Menurut data Burung Indonesia, spesimen pertama seriwang sangihe pada tahun 1873 dikoleksi oleh Adolf B. Meyer. Kemudian, setelah ratusan tahun berlalu, tepatnya pada 1978, peneliti burung Murray D. Bruce mengumumkan telah menemukan burung nui di Gunung Awu, bagian utara Pulau Sangihe.

Baca juga: KKP Tangkap Kapal Illegal Vietnam

Burung tersebut kemudian ditemukan kembali di Gunung Sahendaruman, bagian selatan pulau Sangihe pada tahun 1998. Burung sariwang ini dapat hidup di lembah-lembah curam hutan primer dengan ketinggian sekitar 450- 750 meter diatas permukaan laut. Hal ini, menjadikannya sangat sensitif terhadap perubahan habitat.

Rencana eksploitasi emas tersebut berpotensi dapat menjadi penghancur hutan sebagai tempat tinggalnya. Bahkan, jika rencana itu terlaksana tak hanya manu’nui yang akan punah, tetapi juga sembilan burung endemik lainnya bestatus kritis dan rentan yang menggantungkan nasib kehidupannya di wilayah hutan lindung gunung tersebut.

Melansir dari berbagai sumber, Perusahaan Tambang Mas Sangihe (TMS) telah mendapatkan izin lingkungan dan izin usaha produksi pertambangan emas di gunung purba dengan luas lebih dari 3.500 hektare, dari total 42.000 hektare izin wilayah yang meliputi setengah bagian selatan Pulau Sangihe.

Baca juga: Misteri Kematian Antelop Di Kazakhstan

Kendati demikian, seluruh ekosistem di Sangihe pun akan berada dalam bahaya. Baik itu spesies flora dan fauna langka, masyarakat Sangihe juga terancam kehidupannya dan salah satu sumber mata pencaharian mereka pun akan hilang.

Related News