Kisah Nelayan Selamatkan Ekonomi Keluarga
“Anak pertama jadi tulang punggung keluarga. Karena ingin membantu orang tua dan menolong keadaan, saya harus berkorban untuk adik-adik saya memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga”
Pagi itu selepas shalat subuh, saat langit masih gelap, Suhendra, 39 tahun, berjalan menuju dermaga pantai Kamal Muara, Penjaringan, Jakarta Utara. Di pinggir dermaga pantai, ayah dua anak itu melompat ke salah satu perahu kayu miliknya. Ia bergegas menyiapkan alat kompresor, alat pengepul, jaring, karung dan ember.
Meski udara pagi itu terasa sangat dingin, Suhendra tetap semangat berlayar demi mencari nafkah. Ia menyalakan mesin tua di perahunya, menarik tali mesin tiga sampai empat kali tarikan. Kemudian, suara mesin perahu mulai terdengar. Perahu bergetar, lalu perlahan mulai berjalan meski keseimbangannya sedikit bergoyang ke kanan dan ke kiri. Kemudian perahu pergi meninggalkan dermaga, membawa Suhendra ke tengah perairan. Dari atas perahu, pandangan bisa leluasa menyapu keadaan di sekitar laut.
Nelayan kerang yang telah menghabiskan seluruh hidupnya di lautan ini, hendak pergi menuju peternakan apung miliknya. Ia akan mengambil hasil panen kerang hijau yang telah dibudidayakan selama berbulan-bulan sebelumnya.
“Kalau budidaya kerang itu seperti nabung, hasilnya bisa kita ambil beberapa bulan kemudian. Semakin lama waktu budidaya, semakin besar ukuran kerang yang akan dihasilkan,” ujar Suhendra, saat ditemui oleh reporter Jagadtani.Id di dermaga Kampung Muara Kamal.
Baca juga: Dampak Reklamasi Bagi Nelayan Kerang
Setelah sampai di ternak apung, Suhendra merapatkan perahunya, kemudian mengikatnya dengan tali. Ia bersiap menyelam ke laut sedalam 4-7 meter tersebut. Kemampuan menyelamnya tak bisa diremehkan, sejak kecil ia telah terbiasa dengan panas dinginnya cuaca air laut.
Dalam balutan baju berwarna hitam dan celana olahraga berwarna biru, Suhendra menyelam dengan dibantu oleh selang pernapasan dan kacamata selam. Ia menyelam selama 15 menit, kemudian muncul di permukaan. Nafasnya terengah-engah, matanya memerah akibat tekanan air laut yang cukup kuat meski telah ditutup oleh kacamata selam. Saat naik ke atas perahu, dengan sekuat tenaga, ia menarik jaring hasil tangkapannya, kemudian menumpahkan ratusan kerang diatas permukaan perahu. Suhendra perkirakan, dalam satu kali menyelam, ia mampu mengangkut 40 kilogram kerang. Setiap hari, ia mampu menyelam 4-6 kali selam, tergantung kondisi cuaca dan ombak.
Tak ada waktu bermalas-malasan. Sebab, setelah mengambil kerang hijau, ia harus segera membawa hasil kerangnya kepada para tengkulak yang telah menunggu di pinggir dermaga.
Sekitar pukul 09.00 WIB, ia kembali ke daratan, bersiap untuk melanjutkan proses pembersihan kerang hasil tangkapannya. Suhendra dibantu oleh istrinya, dengan sigap mencuci tumpukan kerang yang akan disetor hari itu. Bukan hanya mereka berdua yang sibuk bekerja di sepanjang pinggir dermaga, puluhan nelayan kerang juga menggelar terpal sebagai alas kerang. Mereka tengah sibuk memotong kerang, mencucinya, kemudian memasukannya kedalam karung dan memberikannya kepada para tengkulak yang sudah menunggu mereka sejak subuh. Para tengkulak akan menampung ribuan kerang untuk di distribusikan ke beberapa wilayah. Depok, Bogor, Ciputat, bahkan ke luar kota seperti Lampung, Kalimantan dan masih banyak lagi.
“Kerang dicuci sampai bersih. Proses pembersihan kurang lebih dua jam. Kemudian saya kasih ke tengkulak dengan harga Rp 35.000 - Rp 40.000 per ember,” jelasnya.
Baca juga: Rahasia Agar Kerang Tetap Segar
Suhendra mengaku, terkadang perubahan cuaca yang tidak menentu, membuat nelayan kesulitan mencari nafkah. Alhasil penghasilan mereka untuk keluarga ikut tak menentu. Mirisnya, Suhendra dengan tegas menjelaskan, saat ini hambatan terbesar yang dirasakan oleh para nelayan bukan lagi hanya perihal cuaca, melainkan adanya limbah pabrik dan terjadinya pergurusuran lahan akibat adanya pembangunan reklamasi. Nasib nelayan kerang hijau di Kampung Muara Kamal, RT 04 RW 04, Kamal Muara, Kecamatan Penjaringan, Kota Jakarta Utara, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta seringkali berada di ujung tombak.
“Suka dukanya, kalau lagi musim panen, senang sekali semua keramba atau ternak apung kami terisi penuh dengan kerang. Dukanya adalah, banyak limbah pabrik rumah tangga yang mulai mengganggu keramba kami. Sehingga semua kerang mati terkena limbah tersebut. Semoga tidak ada gusuran lagi akibat adanya reklamasi yang mengambil alih keramba-keramba budidaya kerang hijau. Kalau lahan nelayan kerang digusur, kita akan usaha dimana lagi untuk bisa mencari nafkah,” ungkapnya.
Harga serta hasil tangkapan kerang dan ikan yang tak menentu karena faktor-faktor tersebut, menyebabkan semakin berkurangnya para nelayan. Padahal, jika menilik dari kisah Suhendra, dirinya mengaku harus menanggung perekonomian keluarganya dengan menggantungkan penghasilan dari tangkapan kerang dan ikan.
“Anak pertama jadi tulang punggung keluarga. Karena ingin membantu orang tua dan menolong keadaan, saya harus berkorban untuk adik-adik saya memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga,” cerita Suhendra.
Suhendra lahir dari generasi keluarga yang telah melaut selama puluhan tahun. Dari hasil budidaya kerang, ia berharap mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya. Terutama untuk bisa menyekolahkan adik-adiknya hingga mencapai jenjang pendidikan yang tinggi.
“Saya ingin adik-adik saya menempuh pendidikan yang layak tanpa harus kerja keras di laut. Dari pekerjaan ini, untuk saya pribadi, intinya cukup untuk memenuhi keluarga kemudian bisa memenuhi pendidikan anak dan adik-adik saya,” tegasnya.
Hingga kini, ia berhasil menyekolahkan adik-adiknya menjadi sarjana. Adik pertamanya berhasil menjadi lulusan sarjana manajemen, sementara adik keduanya menjadi lulusan pelayaran dengan harapan mampu mensejahterakan para nelayan dengan inovasi-inovasi segar melalui ilmu-ilmu yang telah didapatkan.
“Tekuni, jalani dengan ikhlas. Kalau ada kesempatan untuk merubah jalan hidup, ambil kesempatan tersebut,” tutupnya.
Baca juga: Keramba Ciawi, Terkenal Sampai Jepang