Hari Tani di Tengah Pandemi
Setiap orang bisa menjadi petani, baik itu mengolah lahan milik pribadi atau mempekerjakan pekerja tani untuk mengolah lahan pemilik. Artinya, seseorang disebut petani berdasarkan bidang pekerjaannya, bukan kepemilikan lahannya.
Petani adalah seseorang yang bergerak di bidang pertanian, utamanya dengan cara melakukan pengelolaan tanah dengan tujuan untuk menumbuhkan dan memelihara tanaman (seperti padi, bunga, buah dan lain lain), dengan harapan untuk memperoleh hasil dari tanaman tersebut untuk digunakan sendiri ataupun menjualnya kepada orang lain.
Baca juga: Hutan Indonesia Menuju Harapan Dunia
24 September 1960 merupakan hari bersejarah dimana Undang-Undang Republik Indoensia No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) Lahir. Sejak itu lah 24 September ditetapkan menjadi Hari Tani Nasional.
Sementara itu, petani milenial asal Desa Gunungguruh, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Michael Raffy Sujono membagikan ceritanya terkait para petani muda yang harus bertahan di tengah pandemi yang tak kunjung usai. “Hari tani lahir dari disahkan undang-undang pokok agraria, sebuah produk hukum yang membawa visi perubahan akan masa depan pertanian lebih baik. Aku kira kita semua selaku petani, konsumen, siapapun yang terlibat dalam sistem pangan mesti punya visi dan cita-cita akan hari esok yang lebih baik akan dunia pertanian,” ujar pria yang akrab disapa Dipa itu.
Baca juga: Sulap Tempat Sampah Menjadi Kebun
Dipa mengaku, menjadi petani adalah pilihan yang ia jalani sampai detik ini. Meskipun pandemi menerpa ia dan kawan-kawan petani milenial lainnya terus berjuang untuk mendapatkan hasil yang baik. “Pandemi buat kita disini sangat amat berpengaruh, Apalagi di gairah pasar ya. Gara-gara pandemi aktivitas ekonomi berkurang. Jadi banyak demand turun dan harga sayuran juga cenderung turun,” ungkapnya.
Baca juga: Hari Buruh Di Mata Petani Milenial
Ia juga mengatakan semenjak adanya PPKM Darurat keamrin penjualan sangat menurun dikarenakan banyak pasar dan toko-toko tepaksa ditutup. “Banyak pasar dan resto ditutup akhirnya permintaan sayur berkurang apalagi ketika PPKM diberlakukan Dan lalu lintas antar kota dibatasin Banyak sayur dari Sukabumi nggak bisa masuk Jakarta Makanya turun banget harganya sampe beberapa ratus rupiah per kg. Kayak timun waktu itu sekarung cuma Rp 20rb,” jelas pria yang hobi mendaki gunung itu.
Meski begitu, Dipa dan teman-temannya tak menyerah begitu saja, banyak petani milenial di Sukabumi yang bahkan membuat aksi menolong petani misalnya seperti berjualan melalui sosial media.