Di balik cita rasa kopi Gayo yang nikmat, ada perjuangan para petani yang ingin menyelamatkan cita rasa kopi Gayo dari berbagai perubahan iklim dan lingkungan.
YOGYAKARTA - Sahabat tani pasti sudah tak asing dengan nama kopi Gayo. Ya, kopi yang satu ini merupakan nama salah satu suku yang ada di Aceh bernama Suku Gayo dan mereka sudah cukup lama memberdayakan kopi. Tepatnya sejak 1908, kopi benar-benar tumbuh subur di Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah dan sebagian kecil wilayah Gayo Lues. Ketiga daerah itu berada di ketinggian 1200 meter di atas permukaan laut dan memiliki perkebunan terluas di Indonesia yaitu 81.000 hektare.
Salah satu petani yang sukses membudidayakan kopi Gayo yaitu Hendra Maulizar. Hendra mengaku jika sejak kecil dirinya sudah diperkenalkan dengan kopi. Sejak itu, ia mulai mencintai kopi. Bahkan, ketika sang ayah yang sudah pensiun dari pegawai negeri sipil (PNS) membeli kebun pada 2008 di wilayah Gayo, Hendra yang merupakan alumnus Universitas Islam Indonesia (Yogyakarta) jurusan hukum lebih tertarik mengurus kebun
“Yaudah, karena ayah punya kebun dan saya tertarik dengan kopi pada akhirnya saya coba bantu ayah untuk mengurus kebun,” katanya saat ditemui di sela-sela Malioboro Cofee Night 2019, Selasa (1/10) kemarin.
Di tangan Hendra, kopi Gayo pernah di bawa ke kompetisi barista di Korea Selatan pada 2017. Menurutnya, saat itu pertamakalinya kopi asal Indonesia digunakan dalam kompetisi barista internasional. “Proses menuju ke situ sebenarnya cukup sulit, karena ada standar tumbuhnya arabika, ada standar cita rasa, jadi poin-poin itu harus kita penuhi kalau kita mau bersaing di dunia,” katanya.
Menjadi petani kopi juga membuat mata Hendra terbuka, dirinya mengaku jika saat ini ia bisa melihat lingkungan di sekitarnya sudah mulai kritis karena banyaknya penebangan hutan yang membuat kopi arabika khas Gayo sudah mulai kehilangan suhunya. “Suhu ideal (kopi) arabika itu tumbuh kan antara 16o hingga 25o celcius. Dari situ saya melihat ternyata banyak iklim-iklim mikro yang sudah tidak tepat ditanam kopi arabika lagi dan ini yang menjadi masalah di Indonesia.
Menurutnya, cita rasa kopi arabika dapat berkurang karena hilangnya iklim mikro di suatu daerah yang menanam kopi tersebut. Inilah yang menjadi pekerjaan rumah Hendra bersama kawan-kawan yang total berjumlah enam orang membentuk suatu konsep yang bersahabat dengan alam dan dekat dengan semua yang ada.
“Kebetulan saya baru membuat suatu komunitas dengan teman-teman di Gayo bernama Green Volunteer. Jadi Green Volunteer ini fokus ke lingkungan dan sudah berjalan kurang lebih satu tahun,” jelasnya.
Hendra menjelaskan jika ada satu produk kopi yang hasil penjualannya dilakukan untuk membiayai Green Volunteer. Selain itu, Green Volunteer ini akan membuat suatu konsep bernama “agroforestik”. “Jadi kopi itu kan perlu naungan, kalau orang sekarang kebanyakan pakai lamtoro atau petai cina, sementara kita punya banyak pohon endemik yang ada di hutan. Sebenarnya peran pohon endemik itu bisa mengontrol iklim tempat si arabika tumbuh, itu program yang sedang kami jalani,” tuturnya.
Oleh karena itu dirinya ingin menyampaikan pesan ke masyarakat jika keberadaan arabika tak akan bisa lepas dari iklimnya. Suhu ideal di mana arabika itu bisa tumbuh dan berproduksi bagus. Jadi, lanjutnya, kalau alamnya sudah tidak bagus kopi arabika akan kehilangan cita rasa, karakter dan identitas tempat ia ditanam.
“Karena kopi ini merupakan bagian dari budaya kita. Jadi, kita harus mempertahankan budaya kita ini dengan terus adanya kopi di Indonesia,” tutupnya.