Budidaya Kepiting demi Kelestarian Mangrove
Namun, budidaya kepiting bakau yang memasuki tahun kedua percobaan ini tak mudah.
BADUNG - Kepiting bakau merupakan salah satu primadona dari hutan mangrove. Kelompok nelayan Wanasari di Kelurahan Tuban, Kabupaten Badung, Provinsi Bali sedang membudidayakan kepiting tersebut untuk mendorong perlindungan dan reahabilitasi. Caranya, dengan memfungsikan salah satu gudang di desanya, Kampung Kepiting sebagai area pembibitan yang hanya bisa dimasuki pengelola.
Gudang yang berjarak sekitar lima menit berkendara dari bandara Ngurah Rai itu, di dalamnya terdapat beberapa bak beton dan fiber. Biasanya beberapa indukan kepiting diletakkan di bak kotak, pengelola akan mereka kawin atau pembuahan dengan waktu yang tak tentu, hal itu tergantung mood dan salinitas air. Setelah kawin, memasuki masa pembuahan sekitar 4-7 hari. Setelah itu, mereka dipisahkan ke bak lain khusus pemijahan, seperti ruang bersalin.
Jika nasib baik, 2-3 juta telur yang dihasilkan akan menetas menjadi larva kepiting atau zoea, hingga menjadi kepiting muda. Namun, budidaya kepiting bakau yang memasuki tahun kedua percobaan ini tak mudah. Pembibitan Kelompok Wanasari ini sempat berhasil membudidayakan hingga menjadi larva, kemudian mati.
“Ada kesalahan pemberian pakan, tak ada takarannya,” kata Sekretaris Kelompok Wanasari, Agus Diana, seperti melansir Mongabay belum lama ini.
Namun Kelompok Wanasari tak menyerah, bak pembuahan kepiting masih diisi indukan untuk memulai proses berikutnya. Kegagalan terus berlanjut hingga 20 kali pembuahan. Memasuki tahun keenam, kelompok ini menyadari ada kesalahan dalam pemberian pakan. Tapi, tahapan pertumbuhan dalam satu siklus kawin, memijah, dan larva, pakannya berbeda jenis, takaran dan waktu. Misalnya plankton, pelet buatan, hingga cacahan daging.
Pada Juli 2019, para peneliti dari Balai Besar Riset Budidaya Laut dan Penyuluhan Perikanan (BBRBLPP) mendampingi Kelompok Wanasari, lalu dimulailah percobaan satu siklus lagi yang kini membuahkan hasil. Lebih dari satu juta kepiting muda berhasil dibesarkan. Di kawasan hutan mangrove tersebut, terlihat ada tiga cara pembesarannya. Pertama, sekitar 400.000 ribu bibit disebar alami ke kawasan mangrove, sekitar 300.000 di jaring tancap area mangrove, dan sekitar 700.000 dalam bak-bak penampungan.
“Biasanya kalau terdengar suara orang, mereka tak mau menampakkan diri ke permukaan, sekarang bisa difoto,” ujar Agus di area bak-bak fiber dan besi yang dilapisi plastik tebal.
Sekitar 3-4 bulan lagi, kepiting kecil ini diperkirakan akan berukuran 300-400 gram. Lalu, tiap bak diisi kepiting muda dengan ukuran yang sama, setelah proses grading. Selain pengaturan pakan, agar kepiting tidak kanibalisme atau memakan sesama, di bak lain terdapat pembuatan plankton, pakan larva yang sudah bisa dibuat mandiri. Sebelumnya, kelompok tersebut melakukan pembesaran kepiting di area mangrova.
Manajemen kawin tersebut berhasil. Namun, beberapa kali kawasan itu didera limbah karena berada di hilir Teluk Benoa, kandang pembesaran juga sempat ditutup. Padahal, kelompok tersebut memiliki mimpi mampu memproduksi kepiting bakau dari hasil budidaya. Ikon kepiting pun diperkuat dengan berdirinya restoran bernama Kampung Kepiting. Ketika kepiting bakau makin sulit ditemukan di alam dan niatan budidaya masih terkendala, para kelompok ini mendatangkan kepiting dari luar Bali seperti Jawa Timur, Kalimantan, dan Papua.
“Populasi kepiting bakau di area ini belum ada secara ilmiah. Karena kami cinta kepiting dan kepiting makin habis, kita ingin budidaya,” tutur Agus.
Setelah melalui pengalaman dalam mengawinkan kepiting selama dua tahun, pemijahan selama dua tahun, dan larva selama tiga tahun, kelompok ini mulai melihat secercah harapan. Agus mengaku bangga, Bali memiliki kelompok nelayan yang berhasil membibitkan dan berharap pemerintah daerah mendukung dengan bantuan sarana, peralatan seperti mikroskop, bak, dan lainnya.
Agus juga berharap, pembibitan bakau menjadi edukasi tambahan selain pembibitan mangrove. Apa lagi, sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pernah memberikan bantuan Corporate Social Responsibility (CSR) seperti PT Pertamina (Persero) dan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) (Persero). Selain itu, kawasan ini cukup ramai dengan kegiatan penanaman bakau seperti mahasiswa, perusahaan, dan pemerintah.
BBRBLPP Gondol, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Kabupaten Buleleng mendampingi kelompok nelayan Wanasari yang ingin mengembangkan Kampung Kepiting di kawasan Taman Hutan Rakyat (Tahuta) Ngurah Rai, Kelurahan Tuban, Kecamatan Badung, Bali. Kelompok ini ingin membibitkan kepiting bakau (Scylla sp.) yang makin sulit ditemukan di kawasan mangrove terluas di Bali ini.
Niat pada 2012 itu akhirnya berbuah manis pada tahun ini, hingga tahap kepiting muda ukuran 2-3 sentimeter yang siap dibesarkan. Bibit tahap pertama ini ditebarkan ke kawasan Tahuta Mangrove pada 16 November 2019. Ketua tim program percontohan pembibitan dari BBRBLPP Gondol, Ibnu Rusdi menjelaskan, lembaganya pernah melakukan pembibitan kepiting bakau pada 2004-2005, kemudian berhenti, karena fokus pada ikan laut seperti kerapu. Pembibitan kepiting bakau dialihkan ke Balai Riset Air Payau di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.
“Ini adalah kerjasama dan keberhasilan pembibitan pertama dengan komunitas warga,” ujarnya.
Dirinya melihat ada antusiasme dari kelompok Wanasari dan peneliti mencoba transfer teknologi di tengah tantangan keterbatasan sarana di lokasi dan perbedaan kualitas lingkungan seperti plankton dan air. Meski begitu, ia bersyukur, kerja sama ini berbuah manis dengan keberhasilan dalam satu siklus proses pembibitan mulai dari indukan kepiting, larva, zoea, megalopa, dan kepiting muda.
Kini mereka menunggu pembesaran kepiting untuk menambah populasi. Ibnu berharap keberhasilan pembibitan ini mendorong konservasi kawasan Tahura.
“Mengembangkan tanpa merusak, apalagi jika menambah nilai ekonomi dari pangan dan ekowisata, tambahnya.