Purwanto (65), warga Dusun Banaran, mendapat julukan “Profesor Lebah,” karena telah puluhan tahun menggeluti madu, sekaligus penggagas budidaya madu.
GUNUNGKIDUL - Di balik sejuknya hutan Wanagama di Desa Banaran, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, ternyata menyimpan potensi madu yang cukup besar. Terbukti, potensi madu itulah yang membawa Purwanto (65), warga Dusun Banaran, mendapat julukan “Profesor Lebah,” karena telah puluhan tahun menggeluti madu, sekaligus penggagas budidaya madu.
Purwanto menceritakan, sebagai petani kecil, ia bersama warga lainnya sering bertani tadah hujan, khas warga Gunungkidul, seperti palawija saat musim kemarau dan padi saat musim hujan. Pada 1980-an, ia memutuskan untuk memelihara lebah madu untuk menambah penghasilan keluarganya.
Pada medio 1983, Purwanto melihat lebah mengelilingi pohon akasia jenis mangium dan eukaliptus. Ia pun penasaran karena melihat banyaknya lebah yang berada di sekitar pohon setinggi 10-15 meter itu. Di lain waktu, ia melihat daun akasia yang masih basah terkena embun dan menjilatnya, ternyata di daun itu muncul rasa manis. Setelah dipelajari, ternyata lebah mengambil sari makanan dari nektar atau cairan manis yang muncul dari bunga atau daun.
“Lain hari mengecek. Sebenarnya makan apa tho lebah ini. Saya lalu mengecek, keluarnya nektar ini dari mana. Daun muda diambil dari ujung daun dan kelopaknya,” tanya Purwanto, seperti melansir Kompas.com, Senin (2/12).
Rasa penasaran inilah yang membuat ia lantas menanyakan ke pengelola hutan Wanagama. Wanagama sendiri merupakan hutan penelitian milik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Hal itu mudah baginya, karena ia juga diangkat sebagai karyawan bagian pengukur tanaman hutan Wanagama. Selain itu, warga di sekitar biasa memanfaatkan lahan di sekitar hutan untuk berkebun.
Ia pun meminta izin untuk memelihara lebah di sekitar hutan. Sebab, tumbuhan akasia waktu itu belum diketahui menjadi makanan lebah. Setelah mendapatkan izin, dirinya mulai membuat sangkar lebah madu di sekitar hutan yang dekat dengan sumber makanan. Lama-kelamaan penanaman pohon akasia mangium dan eukaliptus juga diperbanyak. Dua jenis pohon itu sudah ada di hampir seluruh kawasan hutan yaitu, petak 19, 18, 17, 16, dan 5.
Purwanto kini memiliki 300 kotak rumah lebah di kawasan hutan Wanagama. Warga Desa Banaran juga ikut memelihara lebah. Ia memperkirakan, saat ini ada sekitar 3.000 kotak rumah lebah yang dipelihara di hutan Wanagama. Ia pun menceritakan, temuan pohon akasia jenis mangium dan eukalipsus, sebagai sumber makanan kemudian direspon serius oleh UGM, dan ketika itu informasinya mulai tersebar ke berbagai negara di Asia hingga Eropa. Bahkan, Cina saat itu menganggap madu yang dihasilkan dari hutan Wanagama merupakan madu yang terbaik di Asia.
Atas kegigihannya itu, ia pun dijuluki “profesor” walaupun hanya lulusan Sekolah Dasar (SD). Seiring perkembangan madu hutan Wanagama, ia pun memutuskan keluar dari kepengurusan hutan, namun tetap diminta membantu pengelola hutan setiap saat ada yang ingin belajar pengelolaan lebah. Saat ini, perkembangan madu sudah menujukkan tren positif.
Setiap panen pada Juni, Juli, Agustus, September, dan Oktober, ia dan warga tak perlu takut menjual karena pembeli dari berbagai kota sudah siap menampung. Saat panen, setiap kotak bisa menghasilkan 3-5 kilogram madu dalam sebulan. Per kilogramnya dijual seharga Rp600.000. Penghasilan yang menggiurkan ini bisa meningkatkan perekonomian warga dan mengurangi potensi keinginan warga menebang pohon di hutan.
“Madu di hutan Wanagama tak perlu ditawar. Dari orang mana-mana itu yang beli. Mereka sudah tahu kualitas, rasa, dan keasliannya. (Penghasilannya) istilahnya untuk menanggulangi kerusakan hutan juga,” tutupnya.