Pembuktian Diri lewat Pertanian Mandiri
“Ya, malu lah. Masak bertahun-tahun dapat bantuan terus. Apalagi, juga enggak sedikit orang yang ngatain, masih muda kok dapat bantuan.”
Sebagian masyarakat menilai labelisasi Keluarga Miskin lewat penempelan stiker di dinding rumah milik penerima bantuan sosial (bansos) cukup diskriminatif. Namun, sebagian lainnya, menganggap cara itu merupakan hal yang lumrah. Bahkan, tak sedikit keluarga penerima manfaat (KPM) yang sadar lalu menyatakan mundur dari penerimaan bansos.
Salah satu yang mundur dari kepesertaan penerima bansos PKH (program keluarga harapan) Kementerian Sosial (Kemensos), yaitu Siti Muasaroh, warga Dusun Bulak Kunci, Desa Nogosari, Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur, cukup semangat saat menceritakan alasan dirinya mundur dari kepesertaan penerima bansos PKH Kemensos.
Baca juga: Modernisasi Tingkatkan Produksi Pertanian Jateng
Saking semangatnya, Saroh sapaan akrabnya, sangat detail menceritakan tekanan mental yang ia rasakan selama 11 tahun mendapat bantuan atau sejak 2007 silam. Di mana, sindiran selalu ia terima dari tetangga sekitar kala mendapat bantuan setiap bulannya. Hal itulah yang membuatnya mundur dari daftar KPM.
“Ya, malu lah. Masak bertahun-tahun dapat bantuan terus. Apalagi, juga enggak sedikit orang yang ngatain, masih muda kok dapat bantuan,” tuturnya, seperti melansir Jawapos, Selasa (3/11).
Keputusan mundur itu baru ia sampaikan kepada pendamping periode Agustus lalu. Saat itu, ia sadar betapa dirinya sudah sangat mampu dalam membiayai kebutuhan hidup keluarganya. Termasuk, memenuhi kebutuhan pendidikan tiga buah hatinya yang kini mulai beranjak dewasa.
Baca juga: Sukses Mengolah Jerami menjadi Kertas
Ditambah, Firman, anak pertamanya telah lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) dan tengah melanjutkan studi ke jenjang perguruan tinggi. Disusul Mayang, yang kini masih duduk di kelas VIII Sekolah Menengah Pertama (SMP). Serta, Alinda yang masih berusia tujuh tahun atau duduk di kelas I Madrasah Ibtidaiyah (MI).
Sejak dua bulan terakhir, ketiga buah hatinya sudah tak lagi mengandalkan operaional dari PKH. Saat ini, Saroh bersama sang suami, Paiman (45), cukup mampu memenuhi kehidupan sehari-hari dari hasil usaha pertanian yang mereka tekuni selama setahun terakhir. Usaha itu berupa pembibitan tanaman palawija di sekitar rumahnya.
“Usahanya mulai bulan sembilan tahun 2018. Modalnya cuma Rp4 juta untuk bikin green house dan sewa lahan Rp1,3 juta untuk empat tahun,” tuturnya.
Meski baru merintis, Saroh mengaku usahanya sudah cukup menghasilkan untung yang lumayan. Setiap bulannya, ia bisa meraup untung bersih senilai Rp1,5 juta dari hasil kerja dengan perusahaan produksi pertanian di Malang. Nominal tersebut belum ditambah komisi bagi hasil saat musim panen tiba yang keuntungannya bisa mencapai jutaan rupiah. Yang lebih membanggakan lagi, usahanya itu juga bisa membantu KPM lain dalam memenuhi kebutuhan keluarganya. Dengan mempekerjakan sebagai petani di lahan pertanian miliknya dengan upah Rp35.000 per harinya.
“Saya dibantu empat orang dan semuanya juga penerima PKH. Ya sedikit-sedikit, yang penting hasil kerja sendiri dan tidak tergantung dari bantuan,” tambah perempuan 35 tahun ini.
Tidak hanya dari hasil pertanian, Saroh yang dibantu Paiman dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka juga bekerja sebagai pemotong kayu. Setiap bulannya, ia bisa meraup upah senilai Rp2,4 juta.
“Kalau ditotal sebulan hasil pertanian saya dan upah dari bapaknya (Paiman, Red), ya sekitar Rp4 juta. Meskipun masih kurang sedikit, tapi saya tetap bangga bisa dapat uang mandiri,” tandasnya.
Selain Muasaroh, setidaknya terdapat 554 kepala keluarga (KK) lain yang menyatakan mundur di pencairan PKH tahap keempat tahun ini. Jumlah itu berpotensi bertambah seiring labelisasi Keluarga Miskin yang digenjot Pemkab Mojokerto seminggu belakangan. Di mana, beban mental dipertaruhkan 35.000 KPM penerima bansos PKH, Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), dan bantuan sosial lainnya.