Si Pesut yang Hampir Punah
Hewan yang satu ini merupakan kerabat dari lumba-lumba, tapi ia tinggal di sungai atau air tawar dan keberadaannya juga terancam punah.
JAKARTA - Jika sahabat tani ke Sungai Mahakam di Kalimantan Timur atau Sungai Kapuas di Kalimantan Barat, mungkin sahabat tani akan terkejut, karena ada sekelompok hewan yang menyemburkan air di tengah sungai besar itu. Sosok itu menyerupai lumba-lumba yang biasanya hidup di laut. Tapi, lumba-lumba atau terkenal dengan nama pesut mahakam dan bernama latin Orcaella brevirostis ini hidup di air tawar serta berstatus terancam.
Dinamakan pesut mahakam sendiri karena mamalia ini banyak ditemukan di perairan Sungai Mahakam, namun para peneliti barat lebih mengenal hewan ini dengan nama Irrawaddy Dolphin. Berdasarkan data pada 2018, populasi hewan ini tinggal 80 ekor saja di perairan sungai-sungai di Kalimantan dan menempati urutan tertinggi di daftar satwa Indonesia yang terancam punah.
Namun, pupulasi hewan ini justru meningkat di Kamboja. Pesut mahakam berbeda dari sepupunya, pesut australia, karena bentuk tengkorak dan siripnya. Tidak seperti mama air lainnya seperti lumba-lumba dan paus yang hidup di laut, pesut mahakam justru hidup di sungai-sungai daerah tropis. Populasi terbesar pesut berada di tiga sungai besar di Asia Tenggara yaitu Sungai Mahakam, Kalimantan Timur; Sungai Mekong, Kamboja dan Laos; dan Sunga Irrawaddy, Myanmar.
Walau satu famili dan sekilas mirip dengan lumba-lumba, namun pesut memiliki struktur tubuh yang berbeda. Tubuh mereka tegap, lurus, dan bulat. Selain itu, umumnya mereka berwarna putih ditambah abu-abu muda hingga tua, kepala yang membulat seperti umbi dan tidak memiliki hidung, tidak seperti lumba-lumba yang bermoncong panjang. Sepasang mata kecil milik mereka merupakan adaptasi fisik dengan sungai yang berlumpur dan memiliki sirip punggung kecil berbentuk segitiga dan agak membuat.
Pesut juga memiliki gigi kecil (hanya satu sentimeter) sebanyak 17-20 buah di bagian atas dan 15-18 di bagian bawah. Seperti mamalia air lainnya, dia juga dapat menyemburkan air melalui lubangnya. Menurut Animal Diversity, pesut memiliki panjang 1,5-2,8 meter dan berat 114-135 kilogram. Berat pesut yang baru lahir sekitar 12,3 kilogram dan mampu bertahan hidup hingga umur 28-30 tahun, di mana organ reproduksinya sudah matang pada sekitar tahun ketiga.
Jika mereka mendapatkan jantan lalu hamil, sang pesut betina akan hamil selama 9-14 bulan dan melahirkan hanya satu pesut saja. Sang pesut betina memiliki periode natal selama tiga tahun yang artinya hanya bisa hamil dan melahirkan satu bayi pesut setiap tiga tahun. Ini membuat jumlah pesut tidak bisa terlalu banyak dalam satu komunitas.
Pesut juga disebut perenang yang lamban, karena hanya mampu berenang 25 kilometer per jam. Dia mampu menyelam selama 30-60 detik dan bisa mencapai 12 menit jika dalam keadaan terancam. Jika kondisi aman, mereka bersantai dengan muncul di permukaan sungai.
Jenis pesut yang juga mirip dengan pesut mahakam yaitu orcaella heinsohni yang hidup di Papua Nugini dan Australia. Perbedaan mendasar antara pesut australia dan pesut mahakam yaitu pesut australia biasanya memiliki tiga warna, sedangkan pesut mahakam hanya memiliki dua warna saja. Mereka juga memiliki tengkorak dan sirip yang berbeda.
Kematian sepanjang 2019
Berbagai pihak khawatir mengenai keberadaan pesut mahakam yang juga disebut pesut etam yang jumlahnya semakin menyusut dari waktu ke waktu. Jika dahulu pesut pernah terlihat di wilayah Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah, kini mereka hanya terlihat sesekali di Kalbar dan Kaltim.
Di Kalbar, mereka biasanya terlihat di sepanjang Sungai Kapuas yang mengalir di Kabupaten Kubu Raya dan Kabupaten Kayong Utara. Sedangkan di Kaltim selain di Sungai Mahakam, mereka juga kerap terlihat di Danau Jempang, Kutai Barat; Danau Semayang dan Danau Melintang, Kutai Kartanegara. Selain itu, ada juga di perairan Desa Mentawir, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kaltim. Sedangakn di kawasan Sungai Barito, Kalsel dan Sungai Kahayan dan Sungai Kumai (Tanjung Puting), Kalteng, pesut mahakam tidak ditemukan lagi.
Kasus terakhir, seekor pesut mahakam ditemukan mati di perairan Sungai Mahakam, tepatnya di perairan hulu Kota Bangun pada 25 Oktober lalu. Penyebab kematian pesut bernama Pepi itu belum teridentifikasi pasti. Namun, tim dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kaltim dan Yayasan Konservasi Rare Aquatic Species of Indonesia (RASI) menemukan gumpalan nilon, seperti bekas jaring, tersangkut di tenggorokannya.
Kepala BKSDA Kaltim, Sunandar mengatakan, kematian Pepi merupakan kabar duka. Padahal, selama ini pihaknya selalu berusaha menjaga pesut dan habitatnya. Selain itu, BKSDA juga menggandeng sejumlah yayasan konservasi perlindungan pesut, untuk bahu-membahu melestarikan mamalia yang dianggap keramat oleh Suku Kutai itu.
“Kematian pesut adalah kabar yang tidak enak didengar. Jumlahnya yang terus menurun membuat kita khawatir. BKSDA tidak bekerja sendiri, banyak bantuan dari yayasan konservasi guna melestariakan pesut dan habitatnya,” katanya belum lama ini.
Penyebab kematian Pepi, katanya, masih diteliti secara mendalam. Pihaknya harus memeriksa bangkai pesut secara insentif. Sehingga, nantinya perlu ada antisipasi untuk kehidupan pesut.
“Penting mencari sebab kematian. Tugas kita adalah melestarikan dan menjaga jumlahnya bertambah, bukan berkurang,” jelasnya.
Menurut peneliti pesut dari RASI, Danielle Kreb, Pepi merupakan pesut keempat yang mati sepanjang 2019 di hulu Sungai Mahakam. Pepi sempat diperiksa oleh tim BKSDA dan jaringan RASI lokal, Darwis Jaya Putra. Berdasarkan tanda sirip punggung bangkai, dapat dikenali jika pesut tersebut merupakan Pepi.
“Masing-masing pesut memiliki ciri khas, berdasarkan foto dan ciri-ciri tubuhnya, dipastikan adalah Pepi,” kata Danielle.
Dari catatan RASI, Pepi merupakan jantan dewasa dan selama hidup hingga mati, Pepi lebih banyak ditemukan dalam kelompok besar, bersama pesut betina untuk berkembang biak. Danielle pun memastikan, Pepi memiliki banyak keturunan.
“Area favoritnya belakangan ini di Belayan dan Sungai Kedang Rantau,” imbuhnya.
Populasi Terus Berkurang
Danielle juga menegaskan, populasi pesut di Sungai Mahakam hingga ke pedalaman terus berkurang. Penelitian yang dilakukan RASI pada 2018 hingga Mei 2019 menunjukkan masih ada 81 ekor yang masih hidup. Kematian yang belakangan terjadi, diduga berkaitan dengan habitat yang tidak aman lagi.
“Kondisi yang sangat mempengaruhi jumlah dan berakibat terancam punah,” katanya.
Menurut Danielle, faktor utama rusaknya kondisi habitat disebabkan karena pencemaran sungai dengan limbah dan sambah di anak sungai. Tidak hanya itu, kendaraan logam berat seperti ponton dan kapal penarik batubara juga ikut mempengaruhi kualitas air. Danielle menyebut, para pesut kesulitan mencari makanan dengan kondisi tersebut. Apalagi, kapal-kapal tersebut juga melintasi sisi-sisi sungai, padahal lokasi tersebut habitat pesut mahakam.
“Tiga bulan sekali RASI mengambil sampel air di habitat pesut. Kulitasnya semakin buruk. Hal ini mengkhawatirkan, karena menyulitkan pesut mencari makan dan bermain. Ruang jelajah menyempit karena kapal-kapal melintas,” ungkapnya.
Ia juga menyinggung sampah rumah tangga yang juga menyebabkan pencemaran. Dirinya mengatakan, pihaknya telah menggalakkan program buang sampah pada tempatnya. Setidaknya, sebanyak 500 tong sampah besi diberikan untuk warga di hulu Mahakam, terutama yang rumahnya di atas air atau rakit.
“Sosialisasi dan pembagian tong sampah terus dilakukan. Kita berharap warga tidak lagi buang sampah ke sungai. Jangan sampai ada pesut mati akibat makan sampah plastik, harus dihindari,” tutupnya.