Nyanyian merdu sembari menari, membuat burung ini seperti bidadari yang turun ke bumi.
JAKARTA - Suara khas burung bernama bidadari halmahera akan menyambut siapa saja yang datang ke Taman Nasional Aketajawe-Lolobata (TNAL), Halmahera, Maluku Utara. Tidak semua daerah memiliki keindahan yang berasal dari burung bidadari halmahera. Untuk menyaksikan keindahannya, sahabat tani harus menempuh perjalanan jauh ke Maluku Utara. Namun, semua itu akan terbayarkan dengan potensi alam yang berlimpah ruah, laut dan pantai yang memikat hati, terumbu karang nan indah, dan berbagai keajaiban fauna lainnya.
Burung bidadari sendiri memiliki keunikan tersendiri dalam bernyanyi baik itu di pagi hari maupun siang hari. Ia akan mengeluarkan suara melengking ketika menyambut matahari pagi dari pukul 06.30-08.30. Saat pagi tiba, suara mereka akan bersahut-sahutan. Setelah itu, mereka akan terbang ke udara. Begitu menjelang matahari terbenam, burung-burung ini akan kembali ke tempat mereka menyambut malam. Hingga saat ini, masih belum ada riset maupun pengamatan untuk mengetahui letak tempat tidur dan berkembang biak burung ini, termasuk sarang atau tempat bertelur.
Burung ini pertama kali ditemukan Alfred Russel Wallace di Pulau Bacan, Maluku Utara pada 1858. Wallace kala itu menyebutnya bird of paradise, karena kecantikannya. Penemuan itu pun ditulis dalam sebuah laporan yang dikirim ke Inggris. Setahun kemudian, laporan itu menjadi bahan kajian para ornitholog di Inggris.
Baca juga: Teror Harimau Sumatra Ancam Petani
Burung bidadari halmahera itu pun ditetapkan berada di dalam keluarga Paradisaeidae, dengan genus dan nama spesies Smioptera wallacii. Nama ini merupakan penghargaan terhadap Wallace yang hidup antara 1823-1913. Burung yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan nama Standarwin ini, bersaudara jauh dengan burung-burung asal Papua. Selain itu, burung bidadari halmahera ini juga merupakan jenis burung endemik yang hanya ada di Provinsi Maluku Utara yang meliputi, Pulau Halmahera, Pulau Bacan, dan Pulau Obi.
Sayangnya, populasi burung bidadari halmahera ini terancam punah akibat penebangan dan penjarahan hutan di Halmahera. Hingga kini, populasinya di alam bebas hanya sekitar 50 hingga 100 ekor. Untuk menikmati burung ini, hanya bisa ditemui di TNAL. Di taman nasional ini juga terdapat burung lain seperti Kakatua Putih (Cacatua alba), Kasturi Ternate (Lorius garrulus), Paok Halmahera (Pitta maxima), Perham (Durcala pp) dan Walik (Ptilinopus spp).
Di taman nasional, sahabat tani tidak perlu khawatir terhadap ketandusan hutan, karena alam liar Halmahera selalu terawat dengan alami. Kawasan ini sendiri ditetapkan sebagai Taman Nasional sejak 2004 dan enam tahun kemudian, pada 2010, TNAL menetapkan blok Lolobata seluas 90.200 hektare dan pada 2014 untuk blok Aketajewa seluas 77.100 hektare.
Untuk menikmati keindahan satwa di TNAL, sahabat tani harus siap menjalani perjalanan yang panjang. Sangat disarankan untuk menyiapkan beberapa perlengkapan standar seperti alat Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) saat menempuh ke alam bebas.
Dengan medan perjalanan yang terbilang berat, tak melulu jalan beraspal, tapi jalan yang licin dan melintasi beberapa arus sungai. Sahabat tani disarankan untuk membawa perlengkapan baju ganti untuk disarankan. Ternyata, TNAL tak hanya menyuguhkan keindahan satwa, di Taman Nasional ini juga terdapat kelompok-kelompok suku yang hidup berkelana dan bergaya hidup sederhana.
Terhipnotis Keindahannya
Tingkah pola dari burung yang sensitif dan pemalu ini sangat aktif dan dinamis. Burung ini tak pernah bertengger lama di batang pohon, mereka langsung menari-nari dan bernyanyi di udara. Setelah itu, burung bidadari halmahera akan kembali lagi ke batang pohon yang sama. Namun, untuk menikmati pemandangan ini sangat sulit, karena keberadaan burung yang selalu berada dibalik rimbunan dedaunan dan jarang tampil di ranting terbuka. Ditambah lagi, ukuran burung ini hanya setinggi 28 sentimeter.
Bidadari halmahera yang merupakan pemakan serangga, antropoda, dan buah-buahan ini memiliki bulu berwarna coklat zaitun. Perbedaan antara si jantan dan betina yaitu, si jantan memiliki mahkota berwarna ungu atau ungu pucat mengkilap, sedangkan si betinda tidak memiliki.
Ciri khas burung ini juga memiliki dua pasang bulu yang panjang melengkung tidak lebar tapi lembut keluar dari pangkalan sayap dengan warna putih susu berukuran panjang sekitar 15 sentimeter. Keunikan lainnya, kedua pasang bulu yang menjulur ini hanya dalam waktu tertentu. Si jantan akan menjulur saat fajar tiba sekitar pukul 05.00 hingga 07.00 pagi sembari menari di puncak pohon untuk menarik perhatian para burung betina.
Baca juga: Teror Serangan Tawon Vespa
Burung ini juga memiliki keindahan yang terlihat dari leher dan dada yang berwarna hijau zamrud. Pada bulu di dadanya terlihat seperti perisai, semakin ke bawah seperti terpisah ke sayap kiri dan kanan. Pada burung betina, walau memiliki warna yang sama, namun lebih dominan cokelat zaitun, ekornya memiliki bulu lebih panjang, dan berpostur tubuh lebih kecil. Baik jantan dan betina, memiliki warna kuning kemerahan, di bagian paruhnya seperti tanduk dan bermata hijau seperti buah zaitun.
Burung ini memiliki sifat pemalu dan hanya mendiami sebagian besar kawasan hutan di Tanah Putih, Gunung Gamkonora, Hutan Damanto, Taman Nasional Aketajawe Lolobata, juga hutan Wasiley, Gunung Sibela, dan Pulau Bacan, juga Teluk Weda. Dengan perjalanan yang membutuhkan waktu lama dan melelahkan dalam memasuki kawasan hutan, akan terbayarkan ketika menyaksikan tarian dan nyanyian burung bidadari dengan latar belakang hutan Halmahera.
Terancam Punah
Sayangnya, burung ini terancam punah akibat semakin rusaknya kawasan hutan yang menjadi habitatnya. Selain itu, kawasan hutan habitat bidadari halmahera ini juga telah beralih fungsi menjadi lahan pertanian, lokasi transmigrasi, areal hak pengusahaan hutan (HPH), dan lahan tambang.
“Kawasan hutan yang merupakan habitat burung bidadari kini telah rusak, antara lain akibat adanya perambahan hutan dan pembalakan liar,” kata aktivis lingkungan hidup, Djafar, kepada ANTARA, di Ternate belum lama ini.
Dari seluruh faktor penyebabnya, menurutnya, yang paling berperan mengancam kepunahan burung endemik Provinsi Maluku Utara ini, yaitu pengalihfungsian hutan yang merupakan habitatnya menjadi HPH dan pertambangan.
“Dua kegiatan itu memberangus pepohonan dalam jumlah yang sangat banyak. Semua pohon besar yang menjadi tempat berkembang biak dan mencari makan bagi burung bidadari ditebang habis,” katanya seraya menyatakan luas area kawasan hutan yang menjadi sasaran bisa mencapai ratusan ribu hektare.
Baca juga: Ternak Biawak, Hobi yang Menguntungkan
Menurut Djafar, pemda dan instansi terkait yang seharusnya memiliki tanggung jawab untuk menjaga kelestarian kawasan hutan sebagai habitat burung bidadari, justru berbuat sebaliknya. Mempermudah perizinan kedua kegiatan itu. Hal itu terlihat di sejumlah kabupaten di Halmahera, seperti di Kabupaten Halmahera Utara dan Halmahera Tengah. Ratusan ribu hektare hutan yang sebagian merupakan habitat burung bidadari di kedua daerah itu telah menjadi areal pertambangan.
Ia pun berharap, Pemprov Maluku Utara dan semua pihak terkait memiliki kesadaran dan keseriusan menjaga burung bidadari dari ancaman kepunahan, mengingat burung itu hanya ada di Halmahera. Selain itu, sosialisasi mengenai pentingnya menjaga kelestarian burung bidadari perlu diintensifkan kepada seluruh lapisan masyarakat, bahkan kalau perlu dimasukkan dalam mata pelajaran muatan lokal di sekolah. Sejauh ini, belum ada penelitian khusus mengenai kondisi populasi burung bidadari di halmahera, namun jumlah spesies langka itu dipastikan telah berkurang banyak dibandingkan pada 1980-an.