• 25 November 2024

Kemilau Pohon Natal yang Kekal

uploads/news/2019/12/kemilau-pohon-natal-yang-89257fce0889ddb.jpg

Sebentar lagi, umat Nasrani akan merayakan Hari Natal dan pohon Natal sudah berdiri di mana-mana, tapi bagaimana sejarah pohon Natal?

JAKARTA - Pohon Natal mulai terlihat berdiri kokoh di beberapa lokasi, terutama di pusat perbelanjaan, menandakan hari Natal segera tiba. Sebagian besar umat Nasrani juga mulai memasang pohon Natal di rumahnya. Apa lagi, hari raya yang memperingati kelahiran Yesus Kristus ini juga menjadi momen spesial bagi umat Nasrani untuk berkumpul bersama keluarga. Bagi anak-anak, pohon Natal juga menjadi simbol spesial yang sulit dilewatkan. Ada hadiah yang selalu diletakkan di pohon Natal yang dibungkus kaos kaki atau sepatu.

Biasanya, pohon Natal selalu identik dengan pohon cemara. Tapi kenapa pohon cemara yang dipilih sebagai pohon Natal? Konon, di zaman dahulu kala, ada seorang rohaniawan Inggris bernama Santo Bonifacius yang memimpin beberapa gereja di Jerman dan Prancis. Saat tengah dalam perjalanan, Santo Bonifacius melihat sekelompok orang yang hendak mempersembahkan seorang anak kepada Dewa Thor di pohon oak.

Merasa kasihan dengan anak tersebut, ia pun langsung beraksi dengan merobohkan pohon tersebut dengan sekali pukulan. Nah, dari pohon oak yang runtuh itu, kemudian tumbuh pohon cemara. Namun sebelum itu, cerita pohon Natal juga datang sebelum masa Kekristenan, saat itu masyarakat Romawi selalu merayakan perayaan Saturnalia, yaitu hari kelahiran Dewa Matahari yang juga bertepatan dengan tanggal 25 Desember.

Baca juga: Ackee, Buah Mematikan Kebanggaan Jamaika

Saturnalia merupakan hari peringatan saat matahari yang telah lama “menghilang” di tengah musim dingin akhirnya muncul kembali sekitar tanggal 25 Desember. Karena itu, masyarakat Romawi kuno menyambut datangnya sang matahari dengan memasang dahan-dahan berdaun hijau. Pemasangan dahan itu itu merupakan petunjuk mengenai adanya kehidupan di musim dingin, yang kelak dalam perkembangannya masyarakat Eropa mengganti dahan-dahan tersebut menjadi pohon cemara.

Artikel pendek di Haagsche Courant - koran yang berbasis di The Hague, Belanda - edisi 24 Desember 1938 sempat membahas sejarah pohon Natal. Di dalam artikel tersebut dijelaskan, seorang peneliti asal Swiss, Arnold Meyer, menemukan informasi tua mengenai penggunaan pohon cemara sebagai pohon Natal pada 1605. Saat itu, pohon Natal mulai digunakan di Strasbourg, Jerman.

“Mereka mencoba merayakan pesta Natal dengan cara menghias pohon cemara memakai mawar, apel, dan berbagai manisan berwarna,” tulis artikel tersebut melansir Alinea.

Lalu, tradisi menghadirkan pohon Natal mulai menyebar ke seluruh Jerman. Di Berlin, pohon Natal menjadi identitas perayaan Natal pada 1810. Setelah itu, pohon Natal mulai menyebar ke negara Eropa lainnya seperti Prancis. Awalnya masyarakat Prancis mengenal pohon Natal saat terjadi perang antara Prancis dan Prusia (Jerman) pada 1870. Saat itu, tentara Jerman merayakan Natal di Prancis.

Baca juga: Legenda Durian "Si Gundul"

Vebertina Manihuruk pernah menulis dalam artikel “Awalnya Pohon Natal Pernah Ditentang” di Pikiran Rakyat edisi 24 Desember 2006 menulis, orang Jerman yang pindah ke Pennsylvania, Amerika Serikat, memajang pohon Natal pertama kalinya pada 1830-an. Namun, terjadi pertentangan. Sejumlah warga AS kala itu menganggap pemasangan pohon Natal merupakan bentuk penyembahan berhala.

“Reaksi penolakan itu bahkan sempat diwarnai keputusan pemerintah untuk mendenda siapa pun yang memasang pohon cemara sebagai pohon Natal,” tulis Vebertina.

Seiring waktu, pandangan masyarakat AS mulai berubah. Mereka mulai mengikuti jejak Inggris yang mulai menggunakan pohon cemara untuk dijadikan pohon Natal. Sejak itu, industri hiasan pohon Natal makin berkembang dan menular ke berbagai negara.

“Indonesia dan Filipina menjadi negara yang sangat terpengaruh tradisi Eropa, sampai akhirnya para umat Kristen membeli pohon buatan, tapi yang penting berbentuk cemara,” lanjutnya.

Hngnews pernah memuat cerita yang mengisahkan Martin Luther, tokoh reformasi gereja, tengah berjalan-jalan di malam hari di tengah hutan di Jerman. Ia terkesan dengan keindahan gemerlapnya jutaan bintang di angkasa yang sinarnya menembus cabang-cabang pohon cemara di hutan. Martin Luther memutuskan untuk menebang pohon cemara yang ukurannya kecil dan membawa pulang ke rumahnya. Untuk menciptakan gemerlap bintang seperti di hutan, ia pun memasang lilin-lilin di cabang pohon cemara tersebut. Sejak itu, pohon cemara mulai terkenal sebagai hiasan Natal di Jerman.

Baca juga: Manisnya Kelapa Kopyor Kultur Jaringan

Namun pemasangan pohon Natal juga sempat mendapat pertentangan dari berbagai pihak seperti aliran-aliran Gereja tertentu yang menolak tradisi pohon Natal. Ini karena, mereka menganggap kegiatan memasang pohon Natal merupakan bentuk penyembahan berhala. Bahkan, pemerintah Jerman sempat memutuskan mendenda siapa pun yang memasang pohon cemara sebagai pohon Natal, sebagai bentuk dukungan terhadap penolakan dari aliran-aliran Gereja tertentu.

Namun, hal ini mulai berubah sejak munculnya foto Ratu Victoria dari Inggris dengan Pangeran Albert dari Jerman beserta anak -anak mereka dengan latar belakang pohon Natal. Foto ini dipublikasikan oleh salah satu surat kabar terkemuka di Britania Raya. Foto Ratu Victoria itu pun memutuskan pandangan negatif terhadap pohon Natal dan berkat kepopuleran sang ratu, pada masa itu penggunaan pohon cemara sebagai pohon Natal mulai hidup kembali.

Pohon Natal juga diyakini melambangkan ‘hidup kekal’, karena pada musim dingin biasanya daun pohon mengalami layu dan rontok karena kekurangan nutrisi. Namun, pohon cemara justru tetap hidup dan selalu berwarna hijau seperti pada musim-musim lainnya.

Dampaknya bagi Lingkungan

Meski kini penggunaan pohon cemara sebagai pohon Natal mulai menjadi budaya. Namun, jenis pohon yang digunakan juga berbeda-beda, ada yang menggunakan pohon asli dan sintesis. Tapi banyak orang yang percaya jika pohon cemara asli berasal dari hutan liar dan terlibat dalam proses penebangan hutan. Namun, beberapa orang juga lebih memilih untuk membudidayakan pohon cemara mereka.

Melansir Popular Science yang dikutip Tirto, untuk memperkirakan dampak dari penggunaan pohon cemara asli, para peneliti menggunakan metode yang disebut penilaian siklus hidup untuk mengembangkan perhitungan input dan output “cradle to grave” yang diperlukan untuk memproduksi, menggunakan, dan membuangnya. Sedangkan pada pohon cemara asli, penelitian mencakup segalanya, mulai dari menanam bibit, hingga memanen pohon dan membuangnya. Termasuk penggunaan peralatan, pupuk dan pestisida, serta konsumsi air untuk irigasi.

Baca juga: Mengenal "Bunga dari Surga"

Pada penelitian yang berjudul “Life Cycle Assessment to Study the Carbon Footprint of System Components for Colorado Blue Spruce Field Production and Use” mengatakan, penilaian siklus hidup juga dapat memperkirakan jejak karbon suatu sistem. Apa lagi penggunaan bahan bakar merupakan sumber emisi gas rumah kaca terbesar dalam memproduksi pohon cemara. Menggunakan satu galon gas atau solar untuk menyalakan traktor atau truk pengiriman sama artinya dengan melepaskan 20 hingga 22 pon (9 hingga 10 kilogram) karbon dioksida ke atmosfer.

“Sisi positifnya, pohon Natal dapat menyerap dan menyimpan karbon dari atmosfer saat mereka tumbuh, yang membantu mengimbangi emisi dari alat operasional. Karbon mewakili sekitar 50% berat kering kayu di pohon saat panen. Juga 20 pon karbon dioksida yang mampu disimpan di akar mereka,” kata Dewayne L. Ingram, penulis penelitian tersebut.

Namun, menggunakan satu galon bensin juga menghasilkan sekitar jumlah karbon dioksida yang sama. Jadi, jika sahabat tani mengendarai kendaraan 10 mil (16 kilometer) setiap jalan untuk mendapatkan pohon cemara asli, sama saja telah mengeluarkan jumlah karbon yang sama seperti yang terserap oleh pohon. Jadi, belilah pohon yang di tempat terdekat dari rumah untuk mengurangi atau menghilangkan dampak tersebut.

Penggunaan Pohon Sintetis

Pohon-pohon buatan juga memiliki dampak yang berbeda. Walaupun banyak orang yang berpikir jika pengiriman pohon dari pabrik di Cina akan mengeluarkan banyak energi, tapi setidaknya pengiriman lewat laut sebenarnya bisa sangat efisien. Apalagi, penggunaan energi terbesar dalam pembuatan pohon sintetis ada di bidang manufaktur-nya. Dalam memproduksi pohon sintetis, akan menggunakan bahan polivinil klorida dan logam yang akan menghasilkan emisi gas rumah kaca dan polutan lainnya. Sebenarnya, para produsen pohon Natal di Cina bisa saja mengurangi polusi dari industri kimianya, tapi hal ini justru dapat menaikkan harga bahan-bahan dan barang-barang dari pohon Natal.

American Christmas Tree Association, yang mewakili para produsen pohon Natal sintetis pernah membandingkan dampak lingkungan dari pohon Natal asli dan sintetis atau buatan. Analisis itu mempertimbangkan aspek lingkungan keberlanjutan, namun tidak memeriksa dampak sosial atau ekonomi-nya. Laporan itu menyimpulkan jika “titik impas” antara pohon Natal asli dengan pohon sintetis yaitu 4,7 tahun. Artinya, konsumen dapat menyimpan pohon sintetis selama lima tahun untuk mengimbangi dampak lingkungan dari pembelian pohon asli setiap tahunnya.

Baca juga: Demi Mencegah Kebakaran Hutan

Selain penggunaan pohon natal sintetis yang dapat digunakan berkali-kali, pohon natal asli juga bisa didaur ulang. Hal ini tentunya lebih baik ketimbang membakarnya atau menyimpannya di tempat sampah. Apalagi, metana merupakan gas rumah kaca yang 21 kali lipat kuat dibanding karbon dioksida. Jadi, membuang pohon bekas merupakan hal yang berbahaya bagi lingkungan. Selain itu, cara lain yang lebih alami yaitu menaruh pohon natal asli di halaman belakang atau di dekat kolam untuk dijadikan habitat burung dan ikan. Walau banyak faktor yang dapat mempengaruhi antara pohon asli dan sintetis, intinya sama, antara pohon Natal asli dan sintetis sama-sama memiliki dampak lingkungan.

Related News