Tajuk dan SS Sakato, Varietas Bawang Merah Unggul
Bawang merah (Allium ascalonicum) merupakan komoditi hortikultura strategis di Indonesia. Sebagai komoditas hortikultura, bawang merah memiliki arti penting bagi Indonesia karena merupakan bahan baku pangan dan industri. Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, maka kebutuhan bawang merah akan terus meningkat.
Tim peneliti bawang merah dari IPB University telah mengembangkan varietas bawang merah untuk mengatasi tantangan penyediaan bawang merah di Indonesia. Mereka berhasil mengembangkan varietas bawang merah Tajuk dan SS Sakato.
Tim peneliti tersebut terdiri dari Dr Awang Maharijaya, Prof Sobir, Prof MA Chozin dan Dr Heri Harti. Tim peneliti tersebut berasal dari Pusat Kajian Hortikultura Tropika, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB University.
Menurut Dr Awang Maharijaya, titik kritis yang mempengaruhi kegiatan agribisnis bawang merah adalah penyediaan varietas unggul dan benih bermutu dari varietas unggul tersebut. Diperlukan teknik produksi yang lebih ramah lingkungan melalui pembenah tanah, irigasi dan pengendalian hama dan penyakit, serta penanganan pasca panen yang sesuai.
“Saat ini produktivitas bawang merah nasional hanya sekitar 9.8 ton per hektar. Kondisi tersebut menyebabkan bisnis bawang tidak lagi terlalu menggiurkan bagi petani dikarenakan hasil yang tidak tinggi, padahal risiko kegagalan sangat tinggi,” ujar Dr Awang saat peluncuran hasil penelitian unggulan yang digelar Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB University di Science and Techno Park (STP), Kampus Taman Kencana, Kota Bogor, Jawa Barat, baru-baru ini.
Selain dari produktivitas, lanjutnya, masalah utamanya adalah terlalu bergantungnya pasokan bawang merah nasional dari Jawa Tengah (Brebes dan sekitarnya). Hal ini mengakibatkan sering terjadi kelangkaan bawang pada periode tertentu yang menyebabkan fluktuasi harga bawang merah. Oleh karena itu perlu diperkuat sentra-sentra baru yang mampu berproduksi, terutama di luar musim panen di daerah Brebes dan sekitarnya untuk meningkatkan stabilitas produksi.
Dr Awang yang juga Kepala Pusat Kajian Hortikultura Tropika (PKHT) menyebutkan bahwa pengembangan varietas bawang merah dilaksanakan berdasarkan roadmap pengembangan bawang merah. Termasuk roadmap pemuliaan yang telah didesain sebelumnya.
“Kebetulan kami (PKHT) juga diminta membantu Kementerian Pertanian untuk menyusun roadmap pengembangan bawang merah di Indonesia. Salah satu program pengembangan bawang merah di Indonesia pada waktu itu adalah menyebar sentra produksi termasuk di luar pulau Jawa untuk mengurangi ketergantungan yang terlalu tinggi (sekitar 89 persen) dari wilayah Pantai Utara (Pantura)," jelasnya.
Pada saat pengembangan ini terlihat banyak daerah yang sangat strategis untuk mengembangkan bawang merah, namun sayangnya belum ada varietas terdaftar yang cocok dikembangkan di daerah-daerah baru tersebut, imbuhnya.
Oleh karena itu, Tim Peneliti PKHT melakukan kerjasama dengan Direktorat Jenderal Hortikultura, pemerintah daerah dan para petani, untuk melakukan eksplorasi. Tim kemudian melakukan seleksi terhadap koleksi-koleksi hasil eksplorasi yang berpotensi untuk dapat dikembangkan di wilayah tertentu, yang tentunya juga disesuaikan dengan potensi pasar setempat.
“Sejak tahun 2015, kegiatan tersebut intensif dikerjakan setiap tahunnya dengan berbagai pendanaan riset dari yang sifatnya riset dasar, sampai kepada riset pengembangan,” jelasnya. Hasilnya, adalah tim berhasil mengembangkan dua varietas bawang merah. Yaitu Tajuk dan SS Sakato.
Varietas bawang merah Tajuk memiliki keunggulan berdaptasi dengan baik pada musim kemarau dan tahan terhadap musim hujan, memiliki aroma yang sangat tajam, cocok untuk bahan baku bawang goreng. Sedangkan varietas SS Sakato memiliki keunggulan berupa produktivitas yang tinggi.
Lebih lanjut, Dr Awang menyampaikan bahwa patut disyukuri diseminasi hasil riset kepada masyarakat sangat baik. Indikasinya, sebagai contoh, kedua varietas bawang merah tersebut saat ini ditanam pada 14.000 hektar lahan per tahun per varietas.
“Bisa dibayangkan jika 1 hektar saja membutuhkan benih sekitar 1 ton, nilai ekonomi dari hasil riset tersebut di masyarakat jauh di atas nilai investasi riset yang telah digelontorkan oleh sumber pendanaan, dalam hal ini adalah dari pemerintah. Konsistensi pendanaan riset dan keyakinan semacam ini, sangat dirindukan oleh peneliti-peneliti di Indonesia agar peneliti dapat tuntas dalam menghasilkan dan menghilirkan produk inovasinya,” tuturnya.
Ia dan tim peneliti lainnya merasa bersyukur pemerintah dan IPB University telah banyak mendukung riset bawang merah ini melalui berbagai skema sesuai dengan roadmap. Menurutnya, penelitian bawang merah ini berkembang sangat cepat.
“Kami mendapatkan pendanaan top-down dari institusi (IPB University). Support dari lembaga lain terkait seperti Bank Indonesia juga sangat membantu dalam mengakselerasi diseminasi hasil riset bawang merah ini ke petani. Terbaru adalah program Prioritas Riset Nasional yang sangat membantu dalam penyediaan benih varietas unggul ini kepada petani. Kami sangat bersyukur dan bangga bahwasannya amanah dan titipan investasi pendanaan riset yang diberikan mampu berbuah manis bagi masyarakat,” tandasnya.