• 11 December 2024

Kisah Laron di Musim Hujan

uploads/news/2019/12/kisah-laron-di-musim-82740692b5ffb42.jpg

Laron dianggap sebagai sebagai pengganggu pada saat muncul kepermukaan, tapi laron atau yang sebelumnya rayap ini tidak selamanya mengganggu.

JAKARTA - Musim hujan menjadi momen munculnya hewan-hewan tertentu, salah satunya laron. Gerombolan laron biasanya mulai bermunculan saat sore dan malam hari. Laron merupakan rayap tanah yang bermetamorfosis, ditandai dengan tumbuhnya dua pasang sayap dengan ukuran sama yang lebih panjang dari ukuran tubuhnya. Karena itu, rayap diklasifikasikan dalam ordo Isoptera yang berasal dari kata “iso” bermakna sama dan “ptera” yang berarti sayap.

Musim hujan memaksa laron keluar dari sarangnya di bawah tanah. Ini karena kondisi sarang menjadi lembab dan dingin, mereka akan bergerak untuk mencari tempat yang lebih hangat. Karena itu, koloni laron kerap mengerubungi sumber cahaya yang hangat, seperti bohlam lampu, bahkan televisi yang sedang menyala.

“Terbangnya koloni (laron) dilakukan untuk mengambil keuntungan dari suhu yang hangat,” kata Gary Chocrane, pakar pengendalian hama di Amalgamated Pest Control kepada News Australia yang dikutip Kumparan.

Baca juga: Ular Kobra Hantui Warga Jakarta

Dalam tesis berjudul “Pemaknaan Koleksi Serangga Museum Zoologicum Bogoriense dari Sudut Pandang Ethno-Entomologi” yang ditulis M. Rofik Sofyan, mahasiswa pascasarjana Universitas Indonesia, disebutkan, laron kerap terbang dalam jumlah banyak di malam hari saat hari-hari pertama musim hujan. Saat itu, laron akan terbang mencari lampu untuk mengeringkan diri.

Selain mencari tempat hangat, keluarnya laron menuju sumber cahaya yaitu melakukan ritual mencari pasangan untuk membentuk koloni baru. Mereka akan terbang melambat dengan menggantungkan badan di bawah sayapnya. Ironisnya, jika mereka gagal mendapatkan pasangan, laron akan hidup hanya satu malam saja dan kemudian mati ketika fajar datang. Bagi laron yang berhasil menggaet pasangan, mereka akan meninggalkan sayap dan berjalan mencari lubang di bawah tanah untuk kawin dan bertelur.

“Laron atau alate hidup antara 1-2 hari setelah keluar dari koloninya tergantung jenisnya. Setelah mendapat pasangan berita (calon ratu), maka terus hidup sebagai koloni baru dan ketika tidak berhasil, segera mati,” kata peneliti serangga dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Prof. Rosichon Ubaidillah, belum lama ini.

Baca juga: Nyanyian Bidadari Halmahera

Laron juga memiliki nama latin yaitu Macrotermes gilvus. Ia juga masuk ke dalam jenis rayap dari kasta reproduktif atau dikenal juga dengan sebutan Alate. Koloni rayap mengenal dua kasta lainnya, yaitu kasta pekerja dan kasta prajurit. Pembagian kasta-kasta ini menjadi hal biasa di dalam serangga yang hidup berkoloni dan saling bergantung satu sama lain, seperti semut dan lebah.

Kaya Manfaat

Walau laron bagi sebagian kerap mengganggu, karena harus membersihkan sayap dan tubuh laron yang berserakan ketika pagi tiba. Bahkan, saat laron masih menjadi rayap, hewan ini juga sering merusak kayu dan dianggap sebagai serangga yang merugikan. Tapi, keberadaan rayap tak sepenuhnya merugikan. Karena, rayap dalam bentuk laron atau rayap dari kasta reproduktif, sering dimanfaatkan sebagai bahan makanan, terutama dijadikan peyek atau sangrai laron.

Ini karena laron atau rayap disebut sebagai sumber protein hewani. S. Boyd Eaton dan Dorothy A. Nelson dalam bukunya, ‘Edible’, menyoroti kandungan kalsium dalam perspektif evolusi serangga. Menurutnya, mengkonsumsi serangga bisa memenuhi kebutuhan nutrisi manusia masa kini.

“Sama seperti hewan lain, serangga juga salah satu sumber makanan. Nutrisi dalam serangga mencakup protein, zat besi, kalsium terbaik dari semua rantai panjang asam lemak esensial tak jenuh (EFA),” tulisnya seperti mengutip Liputan6, belum lama ini.

Baca juga: Teror Harimau Sumatra Ancam Petani

Mereka juga mengatakan, nutrisi tersebut tidak dapat ditemukan di tanaman lain. Pernyataan S. Boyd Eaton dan Dorothy A. Nelson tak membuat heran ahli paleontologi, Lucinda Backwell yang menyebut, rayap memiliki kandungan nutrisi lebih tinggi dibandingkan steak daging sapi.

“Rayap merupakan sumber protein, lemak, dan asam amino esensial, dalam paleo diet. Sementara steak hanya menghasilkan 322 kalori per 100 gram, ikan 74 gram, rayap menyediakan 560 kalori per 100 gram,” katanya seperti mengutip The Week, belum lama ini.

Selain memiliki protein yang tinggi, rayap juga memiliki manfaat lain. Beberapa spesies rayap mampu membangun sarang yang menjulang tinggi seperti menara di ata permukaan tanah. Ratusan struktur sarang itu bisa ditemukan di sabana Afrika, Amerika Selatan, padang rumput Australia, dan sabana di Papua. Rupanya, bangunan sarang itu bukan hanya menjadi rumah dan benteng bagi koloni rayap, tapi juga membantu ekosistem di sekitarnya untuk bertahan pada saat masa kekeringan.

Para peneliti dari Universitas Princeton, Amerika Serikat menyatakan, sarang rayap ibarat oasis di padang gurun. Dalam laporan riset yang dimuat dalam jurnal Science, para peneliti menyebutkan, tanaman yang tumbuh di sekitar sarang rayap dapat bertahan hidup lebih lama pada musim panas yang panjang dan kering. Menurut mereka, sarang rayap menjadi indikator kesuburan tanah dan cadangan air di daerah kering.

Selain itu, gundukan sarang rayap menjadi pertahanan alami untuk menghadapi perubahan iklim dan mencegah tanah menjadi lebih tandus. Peneliti serta asisten profesor ekologi dan biologi evolusi di Princeton University, Corina Tarnita mengatakan, proses penggurunan tidak terlalu mempengaruhi habitat di sekitar sarang rayap.

"Ketika proses penggurunan mulai terjadi, vegetasi di atas atau sekitar sarang tetap hidup dan menyebarkan benihnya di lingkungan sekitar," ucap Tarnita seperti melansir Tempo belum lama ini.

Baca juga: Teror Serangan Tawon Vespa

Keberadaan sarang rayap nyatanya berperan penting bagi kesehatan dan ketahanan berbagai ekosistem. Sarang yang tingginya bisa mencapai lebih dari lima meter ini menjadi petunjuk adanya cadangan air dan lingkungan nyaman yang dibutuhkan organisme lain. Sarang-sarang yang bisa berisi puluhan juta rayap ini sering muncul di gurun, hutan hujan tropis dan sub-tropis, dataran hangat, hingga taman-taman lokal.

Walau begitu, masih banyak orang yang menganggap rayap merupakan hama perusak yang dapat menghancurkan rumah atau perabot kayu. Padahal, hanya sedikit dari sekitar 3.000 spesies rayap yang menjadi hama bagi manusia. Sedangkan sebagian besar spesies rayap justru masuk kategori penjaga ekosistem. Rayap sering menghabiskan hidupnya dengan bekerja di bawah tanah, membangun sarang yang tinggi untuk kolinya.

"Mereka ibarat insinyur struktur tanah yang sangat ahli," kata ahli rayap dan zoologi, Queen Mary University di London, David Bignell.

Rayap biasanya membangun sarang dengan menggali lubang seperti pori-pori kecil di tanah. Akibatnya, air bisa meresap lebih jauh ke tanah, sehingga tidak menguap. Di dalam sarang, rayap mencampur partikel pasir, batu, dan tanah liat dengan material organik, seperti sampah daun dan serpihan eksoskeleton atau sisa organisme lain. Campuran itu membuat tanah lebih subur dan resisten terhadap erosi.

Kotoran dan caurab ekskresi sayap juga mampu memperkuat struktur bangunan tanah, sehingga mencegah erosi. Mereka juga membiakan sejenis jamur untuk dikonsumsi. Bakteri dalam sistem pencernaan rayap bisa mengubah nitrogen, mengekstrasi elemen vital dari udara, lalu mengubahnya menjadi sejenis pupuk. Hal tersebut dianggap menguntungkan bagi koloni rayap.

"Rayap sangat baik untuk kesuburan tanah," kata Bignell.

Saat membangun dan merawat sarang, rayap bisa memindahkan sejumlah besar tanah. Berdirinya sarang rayap membuat struktur tanah di sekitarnya bisa menahan air dan menyediakan nutrisi untuk tanaman.

"Mereka meningkatkan produktivitas sistem, sekaligus menjaganya tetap stabil dan tahan lama," kata ahli ekologi dan peneliti rayap dari Princeton, Robert Pringle.

Related News