KKP-FAO Produksi Formula Pakan Ikan
KKP dan FAO bekerja sama untuk menghasilkan produksi pakan ikan patin dengan formula yang diklaim berkualitas.
JAKARTA - Kerja sama yang dilakukan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Food and Agriculture Organization (FAO) sepanjang 2019 berhasil menghasilkan produksi pakan ikan patin dengan formula yang diklaim berkualitas.
Sebelumnya KKP dan FAO juga pernah bekerja sama dalam proyek “Supporting Local Feed Self-Sufficiency for Inland Aquaculture in Indonesia”. Proyek tersebut bertujuan untuk meningkatkan produksi pakan ikan, khususnya ikan air tawar yang berkualitas tinggi dengan biaya murah oleh para produsen pakan skala kecil di Sumatera Selatan.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto mengatakan, sangat mengapresiasi keberhasilan proyek kerja sama ini. Menurutnya, FAO memiliki andil besar dalam mendukung pengembangan akuakultur di Indonesia. Ia juga menilai berbagai dukungan yang dikeluarkan FAO, karena memandang Indonesia merupakan negara yang sangat diperhitungkan dalam kinerja akuakultur global, khususnya untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat dunia.
Ia juga membeberkan, proyek kolaborasi dengan FAO melalui percontohan produksi pakan mandiri di Provinsi Sumatera Selatan berjalan dengan memuaskan. Hal itu ditandai dengan dihasilkannya paket formula pakan mandiri yang berkualitas dan biaya murah.
“Ini saya rasa hasil yang memuaskan, bahwa formula pakan FAO memberikan respon yang baik terhadap pertumbuhan dan efisiensi produksi. Saya yakin dengan menggunakan formula ini usaha budidaya ikan patin, khususnya di Sumatera Selatan akan semakin berkembang. Komoditas patin akan terus kita dorong, bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri saja, namun kita akan dorong untuk ekspor. Terlebih pasar sudah mulai terbuka misalnya ke Timur Tengah, Uni Eropa, Amerika dan negara Asia,” katanya saat membuka terminal workshop proyek KKP-FAO di Jakarta, Kamis (19/12) dalam siaran pers-nya.
Slamet juga menyampaikan, pakan mandiri saat ini memiliki kualitas yang tidak jauh dengan pabrikan. Menurutnya, inovasi formula sudah banyak berkembang, misalnya dengan penggunaan silase, enzym, dan bahan baku lokal seperti Palm Karnel Milk (PKM) dan upaya tersebut berhasil meningkatkan efisiensi pakan.
“Khusus untuk PKM ini, Indonesia sebagai produsen terbesar kedua setelah Malaysia dan 80% nya untuk ekspor. Kendalanya saat ini, kelompok gerpari (Gerakan pakan Ikan Mandiri) sulit mendapatkannya karena harga mulai tinggi seiring permintaan untuk pakan awalnya tinggi. Nah, ini yang saya himbau kepada pemerintah daerah untuk memfasilitasi agar 10% nya bisa dialokasikan untuk bahan baku pakan ikan, tentunya dengan biaya yang murah. Saya sudah berkirim surat ke Gubernur Riau terkait hal ini, nanti jika belum ada tindaklanjut akan kami susulkan lagi surat himbauan berikutnya,” jelasnya.
Ia juga mengklaim, program gerpari tebukti mampu memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat. Hal itu terlihat dari meningkatnya daya beli pembudidaya ikan yang terus membaik. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan pada November angka nilai tukar pembudidaya ikan (NTPi) senilai 102,37 atau naik jika dibandingkan pada bulan yang sama di 2014 senilai 101,64. Begitu juga dengan pendapatan pembudidaya yang naik dari semula di 2016 sebesar Rp3,2 juta per bulan menjadi Rp3,6 juta per bulan. Menurutnya, kenaikan itu dikarenakan meningkatnya nilai tambah margin pendapatan pembudidaya.
“Kami tentu akan menindaklanjuti dengan melakukan sosialisasi hasil formula ini ke pelaku pakan mandiri di daerah lain. Kami juga berharap FAO terus mendukung upaya upaya Indonesia dalam memajukan sub sektor akuakultur, khususnya dalam memberikan solusi dalam menghadapi tantangan ke depan,” pungkasnya.
Berkualitas dan Murah
Selain itu, hingga November 2019, total produksi pakan mandiri secara nasional mencapai 32.557 ton. KKP sendiri menargetkan, nantinya kontribusi pakan mandiri terhadap kebutuhan pakan nasional akan lebih besar lagi, ditambah saat ini diperkirakan kontribusinya baru sekitar 17%. Sementara itu, asisten FAO Representatif Indonesia, Ageng Herianto mengatakan, proyek kerja sama ini dapat membantu para pembudidaya ikan untuk mendapatkan akses pakan yang berkualitas dan murah.
Ageng sendiri mengklaim, formula yang dihasilkan dapat menjadi solusi untuk menekan biaya produksinya yang 70%-nya dipicu dari harga pakan yang tinggi. Ia juga memastikan, produk pakan formula FAO telah memenuhi standar mutu sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI) dengan kisaran protein sebesar 20-25%. Di sisi lain, produk ini juga diklaim aman dari bahan kimia dan bahan biologis yang berbahaya.
“Formula FAO ini memiliki performa yang baik. Kami telah uji lapang pada enam kelompok di Kota Palembang dan Kabupaten Banyuasin dan hasilnya memuaskan dibanding pakan mandiri yang selama ini diproduksi kelompok. FCR (Feed Confersion Ratio) rata-rata?2 dan harga terjangkau yakni rata-rata Rp4.750 per kilogram. Kami berharap ini jadi solusi permasalahan dalam budidaya, khususnya dalam mempercepat pengembangan usaha budidaya patin di Sumatera Selatan,” tuturnya.
Sebagai informasi, formula pakan FAO terdiri dari silase ikan, kepala udang, ikan asin, poles (dedak), bungkil sawit, kanji, premix, multi-enzym, dan phytase. Dalam kesempatan yang sama, FAO International Consultant, Thomas Shipton, menilai Indonesia merupakan negara yang sangat diperhitungkan dalam pengembangan akuakultur global saat ini. Untuk itu, FAO memiliki kepentingan dalam memberikan dukungan bagi pengembangan akuakultur di Indonesia. FAO juga menaruh harapan besar pada Indonesia dalam kontribusi nya terhadap ketahanan pangan global.