Merajut Rumput Liar jadi Uang
“Dari purun yang dianggap sebagai tumbuhan liar inilah uang bisa didapat.”
SUMATERA SELATAN - Jubaidah, warga Kecamatan Pedamaran, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Provinsi Sumatera Selatan, sudah puluhan tahun bergantung hidup dari rumput. Tumbuhan rumput atau yang lebih dikenal purun ini tumbuh secara liar di atas lahan gambut di Pedamaran. Di tangan wanita berusia 52 tahun ini, rumput yang tidak bernilai apa-apa, malah bisa menghasilkan uang. Ternyata, purun ini dijadikan sebagai bahan baku pembuatan tikar.
"Sudah turun temurun dari nenek, kerajinan tikar yang kami jual bahannya cuma dari purun saja," ujar dia.
Baca juga: Rumput Odot Penghasil Uang
Dia menjelaskan, kerajinan tikar purun yang sudah ada sejak puluhan tahun lalu ini memang banyak dikerjakan oleh kaum wanita. Diakui Jubaidah, hampir setiap rumah di Pedamaran mencari uang dari membuat tikar yang berbahan baku purun.
"Dari purun yang dianggap sebagai tumbuhan liar inilah uang bisa didapat," kata wanita yang memulai menjadi pengrajin tikar purun sejak umur enam tahun ini.
Membuat tikar dari purun merupakan penghasilan utama dari seorang wanita di Pedamaran. Dijelaskan Jubaidah, proses pembuatan tikar cukup panjang mulai dari mengambil purun dari lahan gambut, dengan cara dicabut kemudian dibidas atau diikat.
"Purun biasanya didapatkan dari Kecamatan Tulung Selapan, setelah diambil lalu diikat menjadi ikatan bidas (bulat) dan dikirim melalui sungai kecil ke desa-desa di Pedamaran, dengan menggunakan perahu ketek yang menarik bidas-bidas itu dengan cara dihanyutkan," jelasnya.
Baca juga: Rumput Resam, Musuh jadi Teman
Proses selanjutnya, purun dikeringkan selama dua hari dan kemudian dipipihkan dengan cara ditumbuk dengan kayu antan (alat penumbuk) sampai purun menjadi halus agar mudah dianyam.
"Purun yang saat pertama membeli dalam keadaan basah, harus dikeringkan terlebih dahulu dibawah terik matahari selama dua hari, kemudian di tumbuk hingga bentuk purun menjadi datar supaya mudah dianyam, untuk proses penumbukan sekitar tiga jam," ujarnya.
Kini, ada kendala penjualan purun sudah mulai dirasakan sejak dua tahun terakhir, dimana tikar yang biasanya dimiliki oleh setiap rumah lambat laun menghilang.
"Kalau dulu masih dalam proses penganyaman saja pengepul sudah datang ke rumah dan memberi uang panjer, besoknya setelah selesai barulah diambil. Kalau sekarang penjualan macet, walau sudah banyak selesai, jarang ada pembeli. Seperti contohnya, di sini sekitar lima gulungan atau 125 lembar tikar sudah hampir sebulan belum ada yang membeli," jelasnya sembari mengatakan jika tikar modern berbahan plastik yang saat ini lebih diminati.
Jubaidah menuturkan jika harga beli satu ikat purun yang menjadi bahan utama pembuatan tikar berkisar Rp10.000, yang nantinya dapat dibuat menjadi tiga lembar tikar. Sehingga keuntungan yang didapatkan hanya sedikit.
"Harga jualnya, satu tikar yang sudah jadi Rp6.000 untuk tikar motif ukuran kecil, dan Rp7.000 tikar putih (polos) memiliki ukuran lebih panjang," tuturnya.
Tikar purun yang memiliki motif, sesuai warna dan teknik anyaman. Dibuat dengan perwarna alami menggunakan sumbo, yakni pewarna yang diambil dari getah-getahan atau kulit buah.
"Purun direbus ke dalam panci berisi air yang sudah dicampur dengan sumbo (pewarna) alami yang terbuat dari kulit manggis, kunyit dan pandan. Direbus kemudian diwarnai dengan variasi warna seperti hijau, merah atau kuning, kemudian dijemur," tutupnya.