• 22 November 2024

Serangga Hutan dan Strategi Pengelolaannya

JAGADTANI - Serangga merupakan golongan binatang yang dominan di muka bumi ini dan telah hidup di bumi ini kira-kira 350 juta tahun yang lalu. Selama kurun waktu tersebut, serangga telah mengalami perubahan evolusi dalam beberapa hal dan menyesuaikan kehidupan pada hampir setiap tipe habitat. 

 

Serangga juga merupakan organisme kosmopolitan, dan keberadaannya selalu ada di semua relung di bumi ini. Kelimpahan dan keanekaragamannya kurang lebih mencapai 50 persen dari kelimpahan dan keanekaragaman organisme di muka bumi.

 

Hal tersebut dipaparkan Guru Besar Tetap Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, Prof. Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda, MSi saat penyampaian pra orasi ilmiah secara virtual melalui zoom meeting, pada Kamis (20/10). 

 

Prof Noor Farikhah melanjutkan, serangga ini mempunyai peranan yang sangat beragam. Peranan serangga ini lebih banyak ditentukan oleh manusia dalam pembagiannya (antropocentris). Keberadaan serangga dalam suatu ekosistem saling terhubung dalam siklus rantai makanan, dan berperan dalam keberlangsungan fungsi ekologi hutan.

 

"Serangga memiliki hubungan keterikatan rantai makanan terhadap individu pohon yang berada di hutan. Sebagai bagian dari ekosistem hutan, serangga memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem hutan melalui perannya sebagai produsen, konsumen, dan dekomposer," paparnya.

 

Seperti serangga parasitoid dan predator merupakan serangga yang memiliki peranan penting dalam pengendalian hama secara biologis yang aman bagi lingkungan. Segala organisme yang mati akan diurai kembali oleh dekomposer menjadi nutrisi yang bermanfaat bagi makhluk hidup. Pun aktivitas penyerbukan tanaman dan industri sutera serta madu memberikan pendapatan yang mencengangkan.

 

Serangga juga merupakan organisme yang baik untuk digunakan sebagai indeks perubahan lingkungan. Potensi serangga dalam penerapan indikator untuk memantau perubahan kualitas lingkungan sangat luas (tidak terbatas).

 

"Serangga dapat berfungsi sebagai indeks perubahan parameter tertentu seperti kandungan oksigen, pH, salinitas, kandungan kelembaban tanah, pemadatan tanah, dan konsentrasi kontaminan yang terakumulasi dalam jaringan, serta perubahan yang lebih luas dalam kualitas lingkungan atau struktur komunitas, dengan melakukan pengkajian daya toleransi suatu jenis serangga terhadap kondisi lingkungan tertentu," tandasnya.

 

Istilah hama, dijelaskan olehnya, sepenuhnya bersifat antroposentris dan subjektif. Hama merupakan label yang diberikan kepada organisme yang aktivitasekologisnya menyebabkan kerugian bagi manusia, tanaman yang ditanam maupun ternak yang dipelihara.

 

Secara ekologis, lanjut Prof Noor Farikhah, serangga hama hanyalah pesaing manusia untuk sumberdaya lain yang terbatas, seperti tanaman. Hanya dikarenakan manusia menanam tanaman tersebut untuk keperluan sendiri, sehingga memberikan label hama kepada herbivora yang memakan tanaman. 

 

Pada tahun 1980-an, Pemerintah memprakarsai program Hutan Tanaman Industri (HTI) untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri berbasis hutan. Namun perubahan hutan alam menjadi hutan tanaman, ternyata juga berdampak pada hilangnya keanekaragaman hayati dan memunculkan permasalahan hama.

 

"Adanya inang yang melimpah akibat dari penanaman jenis yang monokultur menyebabkan hama memiliki sumber makanan yang melimpah. Sudah banyak kasus serangan hama di beberapa hutan yang dikelola secara monokultur," imbuhnya.

 

Serangan Hyblaea puera yang menyebabkan kerusakan serius pada tegakan jati di Jawa. Neotermes tectonae yang menyerang batang dan cabang Jati sehingga menyebabkan kerugian ekonomi. Tegakan Mahoni yang menderita akibat serangan penggerek pucuk Hypsipyla robusta, dan juga Xystrocera festiva serangga penggerek batang sengon yang mampu menyebabkan kematian pada tegakan sengon.

 

Menurut Prof Noor Farikhah, serangan hama sampai saat ini tetap menjadi masalah krusial dalam setiap pengusahaan 

hutan. Masalah hama tanaman berorientasi pada kepentingan manusia, sehingga pengembangan ilmu pengetahuan tentang aspek pengelolaan hama masih terus dikembangkan. 

 

Dalam penjabaranya, Prof Noor Farjkhah mengatakan ada tiga mekanisme resistensi tanaman terhadap serangan hama, yaitu antixenosis (ketidaksukaan), toleran dan antibiosis. Berkenaan mekanisme antibiosis merupakan mekanisme resistensi tanaman yang penting dan mulai diteliti untuk mendapatkan klon baru yang tahan (resisten) terhadap hama. 

 

Rangkaian penelitian tersebut telah dilakukan untuk mendapatkan klon sengon unggul tahan hama boktor. Tanaman sengon yang resisten, memiliki nilai rata-rata pertumbuhan awal tanaman yang lebih tinggi daripada tanaman sengon yang rentan.

 

"Hasil penelitian ini memberikan harapan baru, bahwa penggunaan spesies tanaman yang resisten terhadap serangan hama dapat terus dikembangkan untuk jenis lain. Rekayasa klon sengon resisten terhadap hama boktor telah mendapat penghargaan 104 Inovatif Paling Prospektif 2012," katanya. 

 

Prof Noor Farikhah menyimpulkan, adanya pengelolaan hama secara terpadu dapat menjaga keseimbangan ekosistem hutan dengan terus menjaga keseimbangan serangga, baik yang berperan sebagai serangga fitofag (hama), maupun serangga-serangga bermanfaat yang lain di dalam suatu ekosistem.

Related News