Strategi Mendorong Pertumbuhan Industri Ingredien Fungsional
Jagadtani - Indonesia memiliki sumber pangan yang melimpah baik nabati, hewani, ikan atau hasil laut, metabolit mikroorganisme, dan bahan anorganik. Sumber pangan tersebut telah tersedia di alam atau hasil kegiatan budidaya, yang kemudian dimanfaatkan atau diolah di rumah tangga, atau diolah menjadi produk pangan oleh industri sebelum digunakan.
Guru Besar Tetap Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian IPB University, Prof. Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc memaparkan, setiap sumber bahan pangan memiliki tingkat keawetan serta karakteristik fisik, komposisi kimia dan sensori yang khas, yang menentukan karakteristik atau mutu produk hasil olahannya.
Dilanjutkan, pengolahan bahan pangan dapat dilakukan oleh industri untuk menghasilkan produk pangan yang siap dikonsumsi (finished product) oleh masyarakat atau dalam bentuk ingredien sebagai produk setengah jadi (intermediet product) yang kemudian dipasok ke industri pengolahan pangan sebagai bahan baku industri, atau sebagian diolah kembali di rumah tangga.
"Industri pengolahan pangan menggunakan berbagai bahan pangan dalam bentuk racikan (formulasi) dari bahan segar (olahan primer) dan atau ingredien," kata Prof Feri saat menyampaikan pra orasi ilmiah secara virtual melalui zoom meeting, Kamis (20/10).
Prof Feri menjelaskan, ingredien dalam proses pengolahan pangan berfungsi untuk meningkatkan mutu fisik dan sensori. Misalnya sebagai pengental, pembentuk gel, penstabil emulsi, pembentuk aroma atau flavor atau rasa, dan memperpanjang umur simpan, misalkan sebagai antioksidan dan antimikroba.
Ingredien juga dapat memberikan efek fungsional terhadap kesehatan di luar zat gizi atau non-gizi dasar atau konvensional, yaitu dengan adanya kandungan komponen bioaktif yang secara ilmiah terbukti bermanfaat bagi kesehatan. Dengan kata lain, ingredien fungsional sangat berperan dalam menghasilkan produk pangan yang bermutu dan aman, meningkatkan kandungan zat gizi dan atau memberikan efek positif terhadap kesehatan atau kebugaran tubuh.
Menurut Prof Feri, industri ingredien fungsional memegang peranan yang penting untuk memasok kebutuhan ingredien secara berkelanjutan di industri pengolahan pangan. Industri ingredien fungsional mengolah sumber pangan pada berbagai tingkatan teknologi dengan melibatkan beberapa tahapan proses, mulai dari yang sederhana hingga kompleks, baik proses fisik, kimia atau biokimia, enzimatis, dan atau yang melibatkan aktivitas mikroorganisme.
Ia menambahkan, kompleksitas teknologi untuk memproduksi ingredien dapat dikelompokkan menjadi empat generasi atau tingkatan (G). Yaitu, G1 (melibatkan proses fisik dan menghasilkan ingredien yang masih menunjukkan bahan asalnya), G2 (melibatkan proses fisik dan mikroorganisme, dan ingredien yang dihasilkan juga masih diketahui bahan asalnya).
Kemudian, G3 (melibatkan tambahan proses kimia atau biokimia dan atau enzimatis, dan ingredien yang dihasilkan sudah berubah bentuk atau dimodifikasi namun masih diketahui bahan asalnya) dan G4 (dapat melibatkan proses yang sama dengan G3, namun menghasilkan ingredien yang independent terhadap sumber bahan baku).
"Level generasi atau tingkatan teknologi memberikan nilai tambah yang semakin tinggi terhadap ingredien yang dihasilkan," katanya.
Industri pangan di Indonesia sendiri masih didominasi oleh industri pengolahan pangan, sedangkan industri ingredien masih sedikit jumlahnya. Hal ini menyebabkan industri pangan di Indonesia masih sangat bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan ingrediennya.
Adapun, lanjut Prof Feri, strategi yang dapat ditempuh untuk mendorong pertumbuhan industri ingredien fungsional di Indonesia adalah memfokuskan pada pemanfaatan dan pengembangan sumber pangan lokal yang tersedia banyak atau yang memiliki prospek untuk dibudidayakan secara luas sebagai bahan baku industri, seperti cassava, ubi jalar, sagu, sorgum, jagung, kelapa sawit, kelapa, ikan laut, rumput laut, porang dan sebagainya.
Selanjutnya, memperkuat riset dasar, teknologi proses dan terapan pada berbagai tingkatan teknologi (G1, G2, G3, atau G4), mulai dari riset pada skala laboratorium, hingga skala yang diperbesar (scale up) agar inovasi yang dihasilkan dapat siap untuk diadopsi pada skala komersial.
Kemudian, penguatan kurikulum pendidikan ilmu dan teknologi pangan dengan muatan teknologi ingredien, memperkuat sumber daya manusia melalui pendidikan multidisiplin pada jenjang pasca sarjana yang mampu melakukan riset dan menerapkan ilmu dan teknik atau teknologi (karakterisasi dasar bahan baku, rekayasa proses kimia atau biokimia atau bioproses), pengembangan mesin pengolahan untuk memproduksi ingredien, kajian kelayakan bisnis dan sebagainya.
Terakhir adalah dukungan kebijakan pemerintah yang kuat dalam pengembangan industri ingredien fungsional, baik kepada inovator maupun pelaku usaha. Masih kata Prof Feri, pengembangan industri ingredien fungsional yang bernilai tambah tinggi dan berdaya saing harus digaungkan.
"Keberadaan industri ingredien di Indonesia dengan memanfaatkan sumber pangan lokal akan menurunkan ketergantungan industri pangan di Indonesia terhadap produk impor, di samping juga meningkatkan nilai tambah tinggi. Hal ini sejalan dengan harapan yang disampaikan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia dalam Kongres Halal Internasional pada tahun 2022, yaitu mewujudkan Indonesia sebagai Pusat Produsen Halal Dunia," pungkasnya.