Kota Bogor Lahirkan Perda Pertanian Organik
Jagadtani - Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kota Bogor tentang Sistem Pertanian Organik telah ditetapkan menjadi Peraturan Daerah (Perda). Wali Kota Bogor, Bima Arya saat penyampaian pendapat akhir dalam rapat Paripurna di Gedung DPRD Kota Bogor, Kamis 22 Desember 2022, mengatakan, Pemerintah Kota Bogor telah melaksanakan pertanian organik di lahan persawahan Lemah Duhur Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan.
"Kami optimis bahwa sistem pertanian organik sebagai gaya hidup sehat yang ramah lingkungan dapat meningkatkan daya tampung dan daya dukung lingkungan, mengurangi dampak kesehatan dan ekologis dari residu pestisida kimiawi, sehingga dapat mendukung visi Kota Bogor yang Ramah Keluarga dengan mewujudkan masyarakat yang sehat, cerdas dan sejahtera," paparnya.
Bima Arya berharap dengan adanya perda ini, pertanian organik yang juga bagian dari mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dapat menghasilkan pangan yang sehat dan aman bagi masyarakat serta kesejahteraan untuk petani.
Disamping itu, lahan pertanian di Kota Bogor terbatas yang sudah dilindungi dan diproteksi sejak tahun 2019. Untuk menjaganya tidak cukup hanya dilindungi, akan tetapi perlu dibangun sistem pertaniannya agar tetap dan terus terpelihara.
Di sisi lain, sambung Bima Arya, hal itu juga sebagai bagian dari mitigasi iklim, ketahanan pangan dan sebagainya, yang pada intinya memaksimalkan lahan pertanian yang tersisa di wilayahnya.
"Jadi penetapan lebih kepada lahan yang kepemilikannya bukan milik pemerintah daerah tetapi milik warga, lebih diproteksi dan tidak boleh alih lahan, tetapi bergantung kepada kesediaan warga selaku pemilik," tambahnya.
Kedepannya, Bima Arya juga berharap adanya penambahan lahan pertanian yang dimuat dalam Perda 16/2019 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) seluas 58 hektare.
"Jadi luasnya bisa bertambah dari luas lahan saat ini yang ada di perda kurang lebih seluas 58 hektare, yang pasti kita akan komunikasi dengan warga, itu yang utama," ujar Bima Arya.
Melalui perda tersebut, ia juga berharap ada kepastian usaha bagi para petani dalam upaya permodalan, pembinaan, dan pemasaran, sehingga bisa meminimalisir kemungkinan terjadinya konversi lahan pertanian.
"Selain itu akan lebih memberikan prospek bagi para petani untuk lebih menekuni sistem organik, khusus untuk lahan yang sudah diproteksi tidak bisa dijual karena hal tersebut melanggar perda," tandasnya.
Sebelumnya, Panitia Khusus Raperda tentang Sistem Pertanian Organik, Adityawarman Adil mengatakan, raperda yang diprakarsai DPRD Kota Bogor ini ditujukan salah satunya untuk mengatur pengawasan dan menjamin penyelenggaraan pertanian organik.
Pertanian organik, lanjut Adit sapaan akrabnya, sebenarnya pertanian masa depan yang lebih berorientasi pada kesehatan, pelestarian lingkungan dan tentunya ingin meningkatkan nilai pertanian itu sendiri sehingga petani bisa sejahtera.
Ia mengakui jika dilihat lahan pertanian di Kota Bogor sendiri memang semakin tergerus. Namun di tengah keterbatasan lahan pertanian tentunya akan ada jalan keluar untuk mengembangkan pertanian organik. Seperti salah satunya penerapan konsep urban farming.
“Iya sesungguhnya dalam setiap kendala pasti ada peluang. Kami melihat mungkin yang bisa dikembangkan bisa jadi banyak ke holtikultura atau budidaya sayur-sayuran dan buah-buahan, kalau memang tanaman pangan agak sulit. Seperti tadi ada peserta dengan urban farming juga mengembangkan produk pertanian organik bisa disuplai ke masyarakat,” ungkapnya, waktu itu.
Pihaknya juga ingin dari lahirnya raperda ini ada semacam rangsangan buat petani untuk beralih kepada pertanian organik dengan pertani yang terlibat diberikan intensif. Sebab seperti mengemuka dalam rapat, dikatakan Adit, salah satu kompenen biaya mahal dalam pertanian organik adalah sertifikasi dan pelabelan produk pertanian organik.
“Mudah-mudahan kita bisa alokasikan untuk petani atau kelompok tani yang ingin bergerak dalam pertanian organik diberikan anggaran untuk biaya sertifikasi. Dan kalau saya pribadi berpendapat Bogor ini sektor jasa kuliner tinggi penyumbang PAD ketiga setelah PBB dan BPHTB. Ini bisa jadi nanti, misalnya 10 persen dari produk yang dijual harus ada organiknya. Tapi ini masih pembahasan,” katanya.