Asa Nelayan Ikan Teri
“Sudah lama setelah tsunami, memang ikan (teri) tidak terlihat lagi, untuk menyambung hidup ya tetap menjual dengan mengambil dari tempat lain.”
PALU - Pagi itu, Kamis (9/1). Matahari mulai merangkak naik. Nampak seorang nelayan muda, tengah mempersiapkan puluhan penjemuran yang terbuat dari jaring yang direkatkan di kayu berbentuk persegi. Tak ada yang membantunya pagi itu. Satu persatu wadah penjemuran itu diletakkan ratusan ekor ikan teri untuk dikeringkan selama seharian penuh.
Pemuda itu bernama Ismail (29), nelayan ikan teri yang tinggal di Kompleks Perikanan Kelurahan Mamboro, Kecamatan Palu Utara, Kota Palu, Sulawesi Tengah. Sebagian besar warga di kawasan itu berprofesi nelayan dan dikenal sebagai penangkap ikan teri. Bagaimana tidak, setiap musim tangkap, tampak ribuan ikan teri yang terjemur bertumpuk di kawasan itu. Bahkan, warga juga menggunakan badan jalan untuk mengeringkan ikan teri.
Namun, alam berkata lain. Pascabencana gempa yang disusul gelombang tsunami pada 2018 lalu, bukan hanya merusak rumah-rumah warga, bahkan mata pencaharian mereka. Ikan teri seketika itu tidak terlihat lagi. Sebab, gelombang tsunami itu merusak 90% terumbu karang di kawasan itu. Berhentinya aktivitas penangkapan ikan teri ini, juga disebabkan bagan apung di wilayah itu hancur tersapu tsunami.
Bukan hanya ikan teri saja yang menghilang. Akibat rusaknya rumah ikan, nelayan juga kesulitan menangkap ikan dan harus mencari lokasi lain yang jaraknya cukup jauh daripada biasanya. Lantas, dari mana asal ikan teri yang lumayan banyak itu? Ismail menjelaskan, jika ikan yang bernama lokal “rono” itu diambil dari luar Kota Palu, seperti Pantai Barat Kabupaten Donggala dan Parigi Moutong.
"Ini (ikan teri) bukan yang kami tangkap. Dari daerah sebelah, ada yang dari Pantai Barat, ada Juga dari Parigi Moutong. Sudah lama setelah tsunami, memang ikan tidak terlihat lagi, untuk menyambung hidup ya tetap menjual dengan mengambil dari tempat lain," terang Ismail.
Baca juga: Bangkitkan Ekonomi Nelayan Donggala
Untuk ikan teri dalam bentuk basah, ia dibeli dengan harga Rp50.000 per kilogram, sedangkan ikan kering ia beli seharga Rp60.000 per kilogram. Kata Ismail, harga ikan teri tersebut sudah mengalami kenaikan setelah sempat turun beberapa waktu lalu.
"Kami beli basah, setelah dikeringkan baru kami jual ke pasar di Kota Palu," akunya.
Ia pun berharap, kondisi ini cepat berlalu agar nelayan yang menjadi korban tsunami bisa kembali melaut seperti sediakala. Khususnya sebagai nelayan tangkap ikan teri.
"Pembuatan bagan apung sangat perlu, hanya saja biayanya sangat mahal," keluhnya.
Di tempat terpisah, beberapa warga Kelurahan Mamboro sedang melakukan upaya pemulihan ekosistem laut dengan melakukan transplantasi terumbu karang. Hingga saat ini sekitar 3.500 bibit terumbu karang yang sudah ditanam di sepajang laut di Kelurahan Mamboro. Budidaya terumbu karang ini secara swadaya dilakukan masyarakat untuk memulihkan ekonomi, karena sebagian besar warga yang tinggal di wilayah itu hidup dari hasil laut.
"Semoga dari program kami ini, pemerintah juga ikut membantu dan memikirkan, solusi apa yang terbaik untuk mengambalikan hasil tangkapan kami," harap nelayan lainnya, Boby.
Baca juga: Nelayan Palu Perbaiki Ekosistem Laut
Bukan hanya itu saja, beberapa bulan terakhir usai terjadinya bencana, beberapa Non-Governmnet Organization (NGO) dan komunitas lingkungan juga tengah gencar-gencarnya melakukan aksi penanaman mangrove yang difokuskan di kawasan pantai Kelurahan Mamboro.
Sebab, selain sebagai penyimpanan karbon terbanyak, hutan mangrove juga sangat penting untuk menjaga ekosistem pesisir khususnya hewan laut seperti ikan, ubur-ubur, udang, kepiting , siput, dan lain-lain. Apa lagi, hewan laut menggunakan hutan mangrove sebagai tempat perlindungan dari predator terutama bagi hewan laut yang sedang beranjak dewasa.