• 22 November 2024

Ironi Wangi Minyak Atsiri

uploads/news/2020/01/ironi-wangi-minyak-atsiri-338924b5e934fbc.jpg

“Selama ini yang menjadi kendala petani dalam pengembangan tanaman berbasis atsiri terletak pada pemeliharaan hingga kualitas minyak yang akhirnya berpengaruh pada harga jual.”

JAKARTA - Komunitas Kampung Atsiri di Kelurahan Bukuan, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, berkeinginan mengembangkan 20 hektare tanaman nilam, karena sudah ada pihak yang menawarkan bibit, pendampingan budidaya, hingga menjadi pembeli minyak atsiri.

“Selama ini yang menjadi kendala petani dalam pengembangan tanaman berbasis atsiri terletak pada pemeliharaan hingga kualitas minyak yang akhirnya berpengaruh pada harga jual,” kata Ketua Komunitas Kampung Atsiri Samarinda, Rahman Nur Hakim, di Samarinda, seperti melansir ANTARA, Sabtu (11/1).

Dengan adanya tawaran dari salah satu perusahaan pemasok atsiri yang membantu pembibitan, pendampingan dalam pemeliharaan tanaman hingga pembelian produk ini, katanya, tentu menjadi peluang besar dalam pengembangannya karena pasar juga selama ini menjadi kendala. Saat ini, harga atsiri dari nilam ada dikisaran Rp600.000 hingga Rp670.000 per kilogram, sehingga ia berkeinginan mencari petani yang memiliki lahan sekaligus tenaga, berikut lokasi yang dekat dengan penyulingan, sehingga begitu panen langsung disuling.

Baca juga: Waspada Hama Ulat Grayak

Karena harganya yang tinggi tersebut, Rahman pun ingin mengajak siapapun yang berkeinginan mengembangkan atsiri bisa bergabung. Dirinya mengaku, selama ini sebagai pegiat atsiri dari berbagai jenis tanaman, terkadang bingung mencari pemasok ketika ada perusahaan yang ingin membeli dalam jumlah besar. Saat ini, lanjutnya, sudah ada lahan 15 hektare di Bukuan yang siap menjadi lahan budidaya nilam. Namun, ia tidak ingin semuanya terkonsentrasi di kawasan itu, karena di Bukuan dan sekitarnya belum ada mesin penyulingan yang berkapasitas besar.

Untuk itu, ia ingin memecah pengembangan nilam tersebut ke beberapa daerah yang telah memiliki ketel atau mesin suling, seperti Kecamatan Tenggarong Seberang, Kecamatan Marangkayu, Kabupaten Kutai Kartanegara, dan di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU). Meski demikian, ia juga menyarankan di lahan tersebut tidak ditanami nilam semua. Menurutnya, perlu juga tanaman pendamping seperti palawija dan hortikultura agar petani tidak terlalu lama menunggu masa panen nilam, yang mencapai enam bulan untuk tahap awal.

“Umur nilam rata-rata empat tahun. Saat penanaman pertama, enam bulan kemudian baru bisa dipanen, bisa juga untuk bibit. Setelah enam bulan pertama, maka untuk selanjutnya bisa dipanen per tiga bulan,” tutup Nanang.

Baca juga: Ketika Jokowi Terkesima dengan Vertiver

 Minyak atsiri diartikan sebagai minyak terbang (volatile) dalam tumbuhan yang dapat ditemukan di akar, kulit batang, daun, bunga, dan biji. Minyak atsiri dihasilkan oleh 160-200 aneka ragam tanaman aromatik yang sebagian ada di Indonesia. Menurut Dewan Atsiri Indonesia, minyak atsiri yang disebut juga minyak eteris, minyak terbang atau “essential oil”, dipergunakan sebagai bahan baku untuk industri parfum, bahan pewangi (fragrances), aroma (flavor), farmasi, kosmetika, dan aromaterapi.

Dalam pembuatan parfum dan wangi-wangian, minyak atsiri tersebut berfungsi sebagai zat pewangi, terutama minyak atsiri yang berasal dari bunga dan yang berasal dari jenis hewan tertentu. Beberapa jenis minyak atsiri dapat digunakan sebagai zat pengikat bau (fixative) dalam parfum, misalnya minyak nilam, minyak akar wangi, dan minyak cendana. Minyak atsiri yang berasal dari rempah-rempah misalnya minyak lada, minyak kayu manis, minyak pala, minyak cengkeh, minyak ketumbar, dan minyak jahe, umumnya digunakan sebagai bahan penyedap (flavoring agent) dalam bahan pangan dan minuman.

Penghasil Terbesar Kedua

Seperti melansir Kumparan, minyak atsiri merupakan salah satu komoditas ekspor tradisional Indonesia yang sudah diusahakan sejak sebelum Perang Dunia II. Indonesia merupakan negara penghasil minyak atsiri nomor dua terbesar dengan sekitar 40 jenis minyak atisiri yang sudah dikenal. Diperkirakan terdapat 12 jenis minyak atsiri Indonesia yang diekspor ke pasar internasional dari 80 minyak atsiri di dunia.

Jenis-jenis minyak atsiri yang diekspror antara lain minyak kayu manis, akar wangi, cendana, kemukus, nilam, kenanga, pala, cengkeh, dan kayu putih. Sekitar 20 diantaranya merupakan minyak potensial yang telah berkembang di pasar serta bernilai ekonomi tinggi. Sementara untuk ekspor minyak daun cengkeh dan turunannya, Indonesia telah menyuplai lebih dari 70% dari kebutuhan dunia. Indonesia juga memasok lebih dari 90% kebutuhan minyak pala dunia.

Total kapasitas produksi minyak atsiri Indonesia bisa mencapai 5.000 hingga 6.000 ton per tahun dengan jumlah pelaku usaha mencapai 3.000 usaha. Oleh karena itu tidak heran jika bagi sejumlah daerah di Indonesia seperti Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur; Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta; dan Provinsi Aceh, bisnis minyak atsiri membawa dampak yang sangat positif terhadap perekonomian setempat.

Baca juga: Kota Bogor Tanam Padi Anti-Stunting

Misalnya, pada awal Januari 2017, saat angka ekspor di Yogyakarta cenderung menurun, komoditas minyak atsiri, kosmetik, wangi-wangian justru meningkat sebesar 177,12%. Tak hanya itu, Indonesia yang masih memiliki banyak lahan, maka ada banyak sumber-sumber minyak atsiri baru yang dapat terus digali. Maka, dapat dipahami jika potensi ekonomi minyak atsiri tidak main-main bagi Indonesia.

Nilai ekspor minyak atsiri merupakan salah satu sumber devisa utama bagi Indonesia. Dalam daftar 10 komoditas potensial dari Kementerian Perdagangan, nilai ekspor minyak atsiri dan kosmetik wewangian berada di sekitar USD580 juta hinga USD637 juta selama periode 2011 hingga 2015. Negara tujuan ekspor utama Indonesia antara lain Amerika Serikat, Eropa, Australia, Afrika, dan ASEAN. Menurut survei yang dilakukan oleh Leffingwell & Associates, Asia Tenggara menyumbang 10% pangsa pasar perasa dan wewangian global yang bernilai USD24,1 miliar pada 2015.

Meski begitu, sayangnya Indonesia tidak memiliki kemampuan untuk menentukan harga. Industri domestik masih sebatas mengekspor minyak atsiri yang belum diolah sebagai produk jadi. Beberapa kendala yang dihadapi antara lain, masih rendahnya pemahaman petani dan koperasi dalam menerapkan agricultural process dan manufacturing process yang bagus. Karena itulah, tidak mengherankan jika layaknya petani lahan garapan, Indonesia tidak lagi berperan sebagai pemilik. Harga minyak atsiri dunia ditentukan oleh broker di negara tetangga.

Pemasok Utama

Parfum sendiri berasal dari bahasa latin “per fume” yang artinya “melalui asap”. Parfum merupakan salah satu kebutuhan perawatan tubuh terutama di zaman modern. Meski demikian, tak banyak orang yang mengetahui hubungan antara minyak atsiri dengan parfum. Minyak atsiri atau essential oil atau juga sering disebut aromatic oil memang tak sepopuler produk jadinya meskipun merupakan zat pengikat yang penting sebagai bahan pembuatan parfum.

Minyak nilam (Patchouli oil) merupakan salah satu bintang ekspor minyak atsiri Indonesia. Sekitar 85-90% pangsa pasar minyak nilam global (2.000 ton per tahun) dipasok dari Indonesia atau sekitar 35-40% dari total nilai ekspor minyak atsiri. Sayangnya, sebagian minyak nilam yang diekspor masih dalam bentuk minyak yang belum diolah jadi produk hilir. Bahkan, tidak ada satupun produsen kosmetik wewangian Indonesia yang masuk dalam 10 besar daftar perusahaan dunia yang bergerak di bidang perasa dan wewangian.

Baca juga: Menanti Bangkitnya Sang Raja Rempah

Di samping itu, industri hilir di dalam negeri belum mampu memaksimalkan potensi yang besar ini. Sebagai gambaran, nilai impor minyak atsiri dan kosmetik wewangian domestik selalu lebih besar dari nilai ekspor minyak atsiri. Pada periode 2011 hingga 2015, nilai impor bernilai di kisaran USD750 juta hingga USD1,1 miliar. Kemudian pada 2015, Indonesia harus mengimpor USD962 juta, tapi nilai ekspor komoditas ini hanya USD637 juta.

Melihat potensi besar produk turunan minyak atsiri di tingkat global, rasanya sangat ironis jika Indonesia hanya bisa menjadi penonton. Maka dari itu, untuk dapat meningkatkan nilai tambah dari bisnis minyak atsiri, Indonesia harus terus berinovasi. Pemerintah juga perlu menerapkan kebijakan seperti pendampingan terhadap petani, penerapan teknologi terkini yang dapat mendukung produksi minyak atsiri berkualitas tinggi, dan visi bersama untuk mencapai mutu produk yang sesuai dengan permintaan pasar.

 

Related News