• 24 November 2024

Klaster Tambak Udang di Aceh Makin Berkembang

uploads/news/2023/06/klaster-tambak-udang-di-780046597004298.jpeg

Tren positif dengan peningkatan produksi mulai dirasakan melalui program budidaya tambak udang berkelanjutan sistem klaster di Provinsi Aceh yang dilaksanakan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Hasil panen udang Vaname setiap klaster tambak udang, rata-rata dapat menghasilkan 80 ton per tahun. 

Klaster tambak udang di Provinsi Aceh berada di Desa Paya Gajah dan Desa Matang Rayeuk, Aceh Timur dan Desa Dagang Setia, Aceh Tamiang, tambak udang tersebut telah berhasil memanen udang vaname dengan rata-rata sebanyak 3 siklus setiap tahunnya.

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Tb Haeru Rahayu mengatakan produktivitas tambak udang di Provinsi Aceh memang cukup baik. Hal itu terbukti dalam tiga siklus panen udang vaname yang berhasil dibudidayakan, hasil panennya memuaskan. Rata-rata hasil panen dari klaster tambak tersebut yaitu 80 ton per tahun.

Kluster tambak udang vaname hasil revitalisasi di Provinsi Aceh tersebut dilengkapi dengan kolam produksi, tandon dan kolam Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Menurut Tebe, bukan hanya kuantitas udang yang dihasilkan saja yang menjadi tolak ukur produktivitas budidaya udang vaname. Namun melalui klaster tambak yang sudah dibangun itu juga produksi udang diharapkan bisa berkelanjutan. Disisi lain, pemahaman masyarakat dalam mengelola budidaya udang dengan cara yang baik dan ramah lingkungan dapat meningkat.

Seperti diketahui, klaster tambak udang di Provinsi Aceh yang dikelola oleh Kelompok Pembudidaya Ikan (Pokdakan) itu sebelumnya merupakan tambak tradisional yang produktivitasnya rendah. Agar produktivitasnya bisa meningkat, tambak tradisional tersebut kemudian direvitalisasi menjadi tambak intensif pada kawasan yang dibangun berbentuk klaster percontohan.

Aktivitas klaster tambak udang tersebut, kata Tebe, tidak boleh mencemari lingkungan. Untuk itu masyarakat pengelola tambak terus meningkatkan pengelolaan IPAL yang sudah dibangun, sehingga limbah yang dialirkan kembali ke laut itu tidak membahayakan ekosistem yang ada.

Kelestarian ekosistem, lanjut Tebe, menjadi kunci dalam menjalankan usaha budidaya agar bisa tetap berkelanjutan. “Peningkatan produktivitas dan keterlibatan masyarakat dalam menjaga keberlanjutan usaha budidaya akan turut berdampak kepada penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan pembudidaya,” jelas Tebe.

Sementara itu, Manijo, Kepala Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Ujung Batee mengatakan adanya klaster tambak di Provinsi Aceh memberikan dampak positif kepada masyarakat sekitar. Menurutnya, warga mengaku sangat senang karena sudah diperhatikan oleh pemerintah. Dulunya perhatian yang diberikan ke para pembudidaya sangat minim, namun sekarang ini dampak baiknya dirasa luar biasa. Bahkan di kalangan masyarakat sekitar, klaster tambak ini sudah menjadi trending.

Menurut Manijo, keberadaan klaster tambak juga mampu meningkatkan ekonomi masyarakat baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung. Karena selain proses pembangunan maupun pengelolaan, disaat panen juga melibatkan masyarakat sekitar. Adanya klasterisasi juga menjadi pemicu pertumbuhan kawasan ekonomi lokal berbasis komoditas unggulan budidaya.

Untuk penjualannya, Manijo menyebut, udang yang berhasil dipanen tersebut kemudian dipasarkan di Medan Sumatera Utara. Agar kualitas udang tetap terjaga dengan baik, kata Manijo, BPBAP Ujung Batee terus melakukan pembinaan dengan menerjunkan petugas pendamping teknis yang terdiri dari pengawas dan analis akuakultur yang secara regular ke lokasi tambak klaster. Selain itu, kesehatan udang dan lingkungan juga selalu dipantau langsung oleh Laboratorium Kesehatan Ikan dan Lingkungan BPBAP Ujung Batee.

Adapun untuk proses produksi udang vaname di klaster tambak udang ini menerapkan prinsip Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB). Benih yang digunakan juga yang bisa ditelusuri jejaknya, bebas dari penyakit dan bersertifikat. Sementara, pakan yang dikonsumsi juga yang sudah terdaftar. Hal tersebut dilakukan karena merupakan bagian dari persyaratan food safety, food security sebagai kualitas ekspor. Dengan begitu Manijo yakin udang yang dihasilkan kualitas dan traceability-nya terus terjamin.

“Singkatnya, teknologi budidaya di tambak klaster sudah sangat spesifik, dimulai dengan penggunaan benur udang yang Specific Pathogen Free (SPF), pemberian pakan udang yang bermutu dan tepat, serta penerapan biosecurity yang ketat juga ketersediaan IPAL yang efektif,” jelas Manijo.

Menurut Manijo, dibandingkan dengan tambak tradisional, tambak klaster ini mempunyai beberapa kelebihan, dari sisi jumlah tebar misalnya tambak klaster memiliki kepadatan yang sangat tinggi mencapai 420.000 ekor per kolam atau 120 ekor per meter persegi. Oleh karenanya, dibutuhkan peralatan untuk pemenuhan kebutuhan oksigen tambak.

Selain itu, budidaya udang dengan sistem klaster ini juga mempunyai keunggulan dalam menekan serangan hama dan penyakit. Karena dalam prakteknya mengimplementasikan biosecurity yang ketat dan terkontrol. Pengelolaanya dilakukan secara integratif dan kolektif, sehingga aspek traceability dan sustainability lebih terjamin.

“Karena tambak klaster ini menggunakan sistem IPAL, jadi Alhamdulillah sampai saat ini tidak ada kendala. Kondisi lingkungan yang ada di sekitar klaster juga masih sangat baik,” terang dia.

Lebih lanjut Manijo mengatakan, kedepan BPBAP Ujung Batee akan terus berupaya untuk mengembangkan klaster tambak di wilayah lain seperti di Pantai Barat Provinsi Aceh, agar masyarakat di pantai Barat Aceh juga mendapatkan pengalaman yang sama seperti masyarakat yang ada di pantai Aceh Timur.

Petambak udang vaname asal Aceh Timur, Rosyidin alias Cut Din mengaku sejak tambak udang diklasterisasi produksinya bisa naik berlipat-lipat. Siklus pertama di tambak dengan luasan 2 hektare, hasil panennya sebanyak 28 ton. Sementara untuk siklus kedua sebanyak 38 ton. Padahal sebelumnya tambak yang dia garap hanya mampu memproduksi 2 ton udang vaname. Dari hasil yang didapat itu, kemudian dibagikan ke anggota kelompok. Selebihnya untuk operasional dan tabungan kelompok.

Menurut Rosyid, selain produksinya meningkat keuntungan lain yang didapat dari sistem klaster tambak ini yaitu ia bisa lebih mudah mengontrol kualitas airnya. “Kalau udang di tambak tradisional itu sering terserang penyakit, mudah sekali mati. Apalagi banyak curah hujan,” tutur pria yang tergabung dalam Kelompok Pembudidaya Ikan Pinto Raseuki Phonna ini.

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan udang termasuk komoditas perikanan yang terus digenjot produktivitasnya untuk memenuhi target produksi udang nasional sebanyak 2 juta ton di tahun 2024. Untuk mencapai target tersebut, ada tiga strategi yang diusung KKP mulai dari revitalisasi salah satunya melalui program klaster tambak, hingga pembangunan tambak udang terintegrasi.

Menteri Trenggono juga menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara ekologi dan ekonomi dalam mengelola sektor kelautan dan perikanan, termasuk dalam mengelola tambak udang di Indonesia.

Related News