• 28 March 2024

Tiga Satwa Liar Terancam Punah

uploads/news/2020/01/tiga-satwa-liar-terancam-404138a894a1d72.jpg

Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu (BBTNLS) Sulawesi Tengah mencatat, anoa, babirusa, dan monyet hitam terancam punah
PALU - Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu (BBTNLL) Sulawesi Tengah melakukan monitoring terhadap sejumlah jenis satwa yang terancam punah beberapa tahun terakhir. Seperti anoa, babirusa dan monyet hitam yang tercatat mengalami penurunan populasi. Bayangkan saja, jika dibandingkan data baseline pada 2013, dengan hasil monitoring yang dilakukan terakhir kali pada 2018 ,menunjukkan penurunan populasi yang cukup signifikan untuk jenis anoa, babirusa dan monyet hitam.

Dari hasil monitoring tim BBTNLL menunjukkan, anoa mengalami penurunan populasi mencapai 87%. Satwa yang bernama latin Bubalus spp itu tercatat tinggal berjumlah 10 ekor pada 2018. Penurunannya cukup signifikan, jika dibandingkan dengan baseline data awal di 2013 berjumlah 77 ekor. Begitu juga yang dialami satwa babirusa yang mengalami penurunan 44%. Satwa bernama latin Babyrousa babyrussa itu populasinya menurun cukup tinggi. Pada 2013, tercatat sebanyak 74 ekor. Namun pada 2018 kemarin, tinggal 41 ekor.

Begitu juga dengan monyet hitam sulawesi atau Macaca Tonkeana. Satwa yang dikenal oleh masyarakat lokal bernama “monyet boti”. Mereka dianggap rentan punah karena diperkirakan mengalami penurunan populasi lebih dari 30% selama tiga generasi. Namun, pihak balai belum bisa menyebutkan jumlah terakhir satwa tersebut.

"Namun hingga saat ini data jumlah populasi tersebut belum 100% valid. Sebab, pengujiannya tidak dilakukan dengan satu metodologi, kemungkinan bisa berubah," terang Kepala BBTNLL, Ir. Jusman, belum lama ini.

Baca juga: Dampak Memberi Makan Satwa Liar

Katanya, penurunan populasi satwa liar ini dipengaruhi oleh perubahan karakter lingkungan di kawasan habitat satwa tersebut. Apa lagi, open area di kawasan taman nasional saat ini hanya sekitar 6%. Meski angka tersebut terbilang kecil, namun menurut Jusman secara ekologis bisa berdampak luas.

"Karena itu (open area) bisa menyentuh daerah jelajah satwa liar. Sebagai contoh di daerah lain, soal lintasan gajah misalnya, masyarakat setempat bikin kebun, meski tidak begitu luas, namun memotong area perlintasannya, tentu itu sangat memengaruhi dinamika aktivitas satwa liar," jelasnya.

Belum lagi, respon masyarakat terhadap keberadaan dan keberlangsungan hidup satwa liar tersebut juga masih kurang. Masih banyak yang melakukan aktivitas perburuan baik itu untuk dikonsumsi atau untuk dijual. Dari hasil monitoring BBTNLL, sebut Jusman, ancaman kepunahan ini kemungkinan besar terjadi akibat perburuan tersebut. Sebab, pihak BBTNLL menemukan banyak jerat di kawasan perlintasan satwa liar tersebut. Bahkan, petugas kerap menemukan satwa yang mati terjerat saat melakukan monitoring di lapangan.

"Bisa kami katakan bahwa perburuan masih sangat tinggi dan ini menjadi salah satu penyebab menurutnya populasi satwa tersebut," tuturnya.

Baca juga: Asa Nelayan Ikan Teri

Jusman menegaskan, kondisi ini perlu evaluasi bersama beberapa pihak. Sebab, setelah dilakukan evaluasi, perburuan bukan hanya karena masyarakat setempat tidak taat hukum, namun perburuan juga dilakukan sebagai alternatif bagi masyarakat untuk bertahan hidup. Jusman menganggap hal tersebut merupakan tantangan. Untuk itu, pihaknya pun gencar untuk melakukan kegiatan keamanan (smart patrol) kawasan di 12 resort yang tersebar di kawasan TNLL.

"Kami melakukan patroli sekali dalam satu bulan. Kami juga melibatkan masyarakat dalam smart patrol ini karena petugas kita terbatas," jelasnya.

Selain berpatroli, untuk menekan laju penurunan populasi ini, pihak BTNLL juga berupaya mengembalikan kondisi khas satwa liar tersebut. Ini karena satwa-satwa yang hidup di kawasan TNLL juga sangat membutuhkan lokasi yang sesuai. Begitu juga soal ketersediaan pakan yang harus teridentifikasi. Jika ketersediaan pakan berkurang di lapangan, pihaknya juga akan membantu menyediakan dengan menambah tumbuhan yang menjadi pakan bagi satwa tersebut.

"Seperti kemiri misalnya, tumbuhan tersebut rupanya menjadi makanan burung maleo, jadi otomatis kami sediakan dengan menanam kemiri di kawasan burung maleo ini," jelas Jusman.

Baca juga: Polisi Lepasliarkan Puluhan Penyu Sisik

Selain itu, dalam upaya menekan angka penurunan populasi satwa liar ini, pihak BBTNLL juga tengah mensosialisasikan batas kawasan taman nasional ke masyarakat dengan menanam tanaman kehutanan. Pihaknya juga tengah mendorong kawasan wisata berbasis masyarakat. Dengan mengembangkan wisata minat khusus, seperti melihat tarsius lebih dekat demi menumbuhkan kecintaan masyarakat terhadap satwa.

"Tapi yang paling penting, saya kira bagaimana kita lebih memikirkan bagaimana ekonomi masyarakat setempat. Sehingga minat berburu mereka berkurang," tandasnya.

Untuk diketahui, taman nasional dengan luas kurang dari 215.733,70 hektare itu hidup ratusan jenis satwa. Baik dari kelas mamalia, reptilia, ampibi dan insecta. Keberadaan mamalia di TNLL yang telah berhasil didokumentasikan antara lain anoa (Bubalus spp), babirusa (Babyrousa babyrussa) dan tiga jenis tarsius seperti pumilus, lariensis dan dentatus. Untuk jenis lain yang juga diketahui keberadaannya yaitu babi hutan sulawesi (Sus celebensis), monyet hitam sulawesi (Macaca tonkeana), Kuskus Beruang (Ailurops ursinus) dan Musang coklat Sulawesi (Macrogalida musschenbroekii).

Dari beberapa survei yang dilakukan, diperoleh informasi mengenai mamalia kecil di TNLL, antara lain kelompok tupai dan kelelawar pemakan serangga. Penelitian tentang reptil juga telah mengidentifikasi 24 spesies dari 13 famili. Untuk amfibi, 21 spesies juga telah ditemukan di TNLL, termasuk empat bentuk yang mungkin mewakili spesies baru. Sedangkan untuk invertebrata, satu-satunya kelompok yang telah dipelajari secara umum yaitu Lepidoptera. Sebuah studi tentang kupu-kupu di sekitar Kamarora, Kabupaten Sigi, terungkap adanya 31 spesies dari empat famili.

Baca juga: Bangkitkan Ekonomi Nelayan Donggala

Selain itu, hingga saat ini, tercatat sebanyak 225 jenis burung di TNLL, termasuk 78 jenis endemik Sulawesi dan 46 jenis yang
penyebarannya terbatas. Dari ratusan jenis itu sudah termasuk maleo (Macrocephalon maleo) dan burung enggang red-knobbed (Rhyticeros cassidix) yakni jenis yang digunakan di dalam logo TNLL. Ada juga jenis woodcock sulawesi (Scolopax celebesis), anis geomalia (Geomalia heinrichi), dan nightjar satanic(Eurostopodus diabolicus), elang sulawesi (Spizaetus lanceolatus), serta beberapa jenis burung yang menjadi target pengamatan untuk kegiatan bird watching (pengamatan burung) seperti malia sulawesi (Malia grata), sikatan bubik (Muascicapa griseisticta) dan anis punggung merah (Zoothera erythronota).

Related News